Sekitar 4 tahun dari sekarang Maggot Black Soldier Fly (BSF) atau lalat tentara hitam jadi idola. Digadang-gadang dan diandalkan bisa mengatasi masalah sampah organik yang komposisinya mencapai 60-70% dari total volume sampah. Maka orang ramai-ramai membudidayakan maggot BSF itu.
Bahkan beberapa pemerintah kabupaten/kota di Indonesia menjadikan maggot BSF sebagai program utama mengatasi sampah. Maggotisasi pun dilakukan dengan pengadaan maggot BSF kits (perlengkapan budidaya maggot BSF) menggunakan anggaran daerah. Program ini ada yang berhasil, tapi mayoritas gagal.
Bukan hanya pemerintah yang menggalakkan gerakan budidaya maggot BSF untuk mengatasi sampah. Perusahaan-perusahaan swasta/BUMN juga ikut-ikutan melakukan maggotisasi BSF demi mendapatkan predikat peduli lingkungan. Yaitu dengan membuat instalasi budidaya maggot BSF untuk program bina lingkungan penyaluran Corporate Social Responsibility-nya (CSR).
Sama dengan program pemerintah, maggotisasi yang dilakukan oleh swasta/BUMN ada yang gagal dan berhasil. Sebagian besar gagal, sebagian kecil berhasil.Â
Sebagian besar fasilitas budidaya maggot BSF pemberian bantuan dari pemerintah maupun perusahaan swasta/BUMN mangkrak. Hanya aktif saat awal-awal saja hingga 2-3 bulan atau paling lama 6 bulan. Setelah itu berhenti dan aktif jika ada kunjungan dari pemberi bantuan atau studi banding saja.
Ada juga pengelola sampah yang mencoba membudidayakan maggot BSF dengan asumsi bisa diberi makan dari sampah. Yang ini juga pada umumnya gagal. Fasilitas budidaya yang sudah dibangun dan dibeli akhirnya mangkrak juga.Â
Tinggal penyesalan karena budidaya maggot BSF tidak semudah cerita penjual bibit maggot BSF dan mesin pilah sampah organik untuk jadi bubur makanan maggot BSF.
Ada banyak deretan faktor yang menyebabkan kegagalan budidaya maggot BSF. Tapi faktor-faktor itu tidak banyak disampaikan karena terlalu fokus pada hasil.Â
Banyak orang terlena dengan rayuan peluang pasar maggot BSF yang katanya besar dan banyak kebutuhan yang belum dipenuhi. Sehingga ketika terjadi kegagalan, semua yang menderita kegagalan memilih diam tak bersuara. Karena malu sudah telanjur gembar-gembor soal hasil budidaya maggot BSF.
Budidaya Maggot BSF Asal-AsalanÂ
Melihat keberhasilan pembudidaya maggot BSF, banyak pihak yang kemudian tergiur. Padahal, para pihak yang berhasil membudidayakan maggot BSF pada dasarnya bukanlah untuk mengatasi masalah sampah. Melainkan memang berusaha dalam bisnis maggot BSF. Sehingga semua faktor diperhitungkan dengan baik dan seksama sebagaimana bisnis pada umumnya.
Pembudidaya maggot BSF untuk bisnis murni memang rata-rata berhasil. Karena semua sisi mereka persiapkan dengan baik. Sumber daya manusia (SDM) yang kompeten, pakan yang diformulasi, kandang yang berkualitas, dan pemrosesan pascapanen yang terstandardisasi.Â
Dalam budidaya maggot BSF untuk murni bisnis, sampah adalah sumber pakan alternatif terakhir, bukan utama. Namun, agar dianggap sebagai salah satu problem solving masalah sampah, sering dikatakan bahwa pakan maggot BSF adalah sampah.Â
Terutama saat pembudidaya maggot BSF murni bisnis itu dikunjungi oleh pemerintah yang pusing dengan masalah sampah atau perusahaan swasta/BUMN yang ingin mendapat proper emas dengan mengelola sampah.
Tidak salah jika pembudidaya maggot BSF murni bisnis itu mengatakan bahwa sampah organik adalah pakan maggot BSF. Tapi mereka tidak menyampaikan bahwa sampah organik itu bukan pakan utama maggot BSF. Sebab, untuk menghasilkan maggot BSF yang berkualitas, maggot BSF harus diberi pakan yang diformulasi juga.
Tidak salah juga jika pembudidaya maggot BSF murni bisnis itu mengatakan bahwa peluang pasar maggot BSF masih begitu besar. Sebab, mereka memang tahu peluang pasar itu memang besar. Namun, mereka lupa menjelaskan bahwa peluang besar itu hanya untuk maggot BSF yang berkualitas. Bukan untuk maggot BSF yang dibudidaya secara asal-asalan.
Saking pentingnya kualitas maggot BSF, ada kursus khusus untuk siapa saja yang ingin membudidayakan maggot BSF. Biaya kursus itu sampai belasan juta per orang. Kursus itu mengajarkan tentang bagaimana membibitkan maggot dari lalat, memanen telur maggot BSF, formulasi pakan, pemeliharaan kandang, dan pemrosesan pascapanen.Â
Yang banyak gagal membudidaya maggot BSF adalah para pegiat sampah. Pada umumnya tidak mengikuti kursus permaggotan karena bagi mereka mahal biaya kursusnya. Mereka hanya ikut pelatihan selama 2-3 jam atau melihat tayangan di internet cara membudidayakan maggot BSF.
Pada pegiat persampahan, maggot BSF hanya diberi makan sampah organik. Mereka pada umumnya jadi pasar penjual mesin pemilah sampah yang menghasilkan bubur sampah organik.Â
Bubur sampah itulah yang diberikan pada maggot BSF sebagai pakan. Pakan dari sumber ini jelas tidak bisa memenuhi kebutuhan maggot BSF untuk tumbuh karena nutrisinya kurang.Â
Akhirnya, saat waktunya panen (18-21 hari), maggot BSF masih kecil. Dan ketika sudah besar, maggot BSF sudah menghitam menjadi prepupa. Prepupa kurang diterima pasar.
Bagi yang tidak punya mesin pemilah sampah atau mesin bubur sampah organik, pegiat sampah memberi pakan maggot BSF dari sampah tercampur. Di awal-awal, ketika masih semangat, pegiat sampah masih rajin memilah sampah tercampur untuk diambil sampah organiknya sebagai pakan maggot BSF. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Karena memungut sampah organik dari sampah yang tercampur membutuhkan pengorbanan yang besar.
Pegiat sampah harus berhadapan dengan sampah yang sudah berbau atau busuk karena proses fermentasi sampah tercampur. Kemudian, sampah organik hasil memungut dari wadah sampah tercampur itu mereka berikan pada maggot BSF.Â
Kegiatan seperti itu tidak mungkin dilakukan terus menerus oleh pegiat sampah. Sebagai alternatif, mereka akhirnya membeli sampah organik dari pasar untuk pakan maggot BSF. Hal itu juga tak mungkin bertahan lama karena operasional dan biaya yang tidak seimbang dengan penghasilan.
Akhirnya semua kegiatan itu berhenti. Mangkraklah fasilitas dan peralatan maggot BSF yabg dibeli dan dibangun. Dan kondisi itulah yang banyak terjadi di kegiatan budidaya maggot BSF dengan tujuan mengurangi sampah. Penyebabnya, gagal budidaya, gagal panen, dan gagal pemasaran.
Ikan dan Unggas Tidak Sehat Diberi Maggot BSF
Banyak pembudidaya maggot BSF dari pegiat persampahan yang mengembangkan orientasinya. Terutama ketika mereka gagal memasarkan maggot BSF hasil panennya. Sekali lagi, pasar terorganisir tidak menerima maggot BSF yang dibudidaya secara asal-asalan dan tidak standard.
Akhirnya, mereka mencoba mengintegrasikan budidaya maggot BSF dengan perikanan dan peternakan. Sebab, banyak informasi yang beredar bahwa maggot BSF bagus untuk pakan ikan dan ternak. Lagi-lagi dengan kurangnya pengetahuan banyak pihak yang mengikuti informasi itu tanpa mempelajari lebih lanjut.Â
Maka pembudidaya maggot BSF terutama dari pegiat persampahan membangun perikanan dan peternakan dengan maksud akan diberi pakan maggot BSF tersebut. Umumnya mereka memelihara ikan air tawar seperti lele dan untuk ternak mereka memelihara ayam.
Berjalannya waktu, ikan lele yang selalu mereka beri makan maggot BSF diketahui tidak berkembang dengan baik. Hanya besar kepalanya saja. Belakangan baru diketahui bahwa ikan yang diberi pakan maggot BSF hanya besar kepalanya saja karena maggot BSF memiliki kandungan protein yang tinggi, tetapi kandungan lemaknya juga tinggi. Kandungan lemak yang tinggi ini dapat menyebabkan ikan tumbuh lebih cepat, terutama di bagian kepala.
Ikan membutuhkan protein untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Protein merupakan komponen utama penyusun jaringan tubuh ikan, termasuk otot, tulang, dan organ. Ikan juga membutuhkan lemak untuk energi dan cadangan makanan.
Maggot BSF merupakan sumber protein yang baik untuk ikan. Kandungan protein maggot BSF dapat mencapai 40-48%. Namun, maggot BSF juga mengandung lemak yang tinggi, yaitu sekitar 25-32%.
Kandungan lemak yang tinggi pada maggot BSF dapat menyebabkan ikan tumbuh lebih cepat, terutama di bagian kepala. Hal ini karena lemak merupakan sumber energi yang lebih mudah dicerna dibandingkan protein.
Atas pengalaman itu, pegiat sampah yang membudidayakan maggot BSF tahu pasti bahwa maggot BSF tidak bisa jadi pakan utama perikanan. Untuk mencegah ikan tumbuh besar hanya di bagian kepala, pemberian maggot BSF harus diseimbangkan dengan pemberian pakan lain yang memiliki kandungan lemak lebih rendah. Pakan lain yang dapat diberikan kepada ikan antara lain pelet, tepung ikan, dan dedak.Â
Mengeluarkan lagi biaya untuk pakan ikan campuran jelas bukan hal yang sepele. Perlu diperhitungkan lagi secara cermat. Dan ketika dihitung tidak sesuai dengan sumber daya keuangan, maka perikanan dengan pakan maggot BSF pun akhirnya gagal.
Demikian pula pada unggas ayam. Ketika diberi makan maggot BSF, ayam-ayam menderita sakit bisul-bisul di tubuhnya. Dari pengalaman itu juga akhirnya diketahui bahwa maggot BSF dapat membawa bakteri patogen, seperti Salmonella dan Escherichia coli. Bakteri-bakteri ini dapat menginfeksi ayam dan menyebabkan bisul.
Ayam juga rentan alergi terhadap maggot BSF dapat mengalami reaksi alergi yang menyebabkan bisul. Ayam yang hanya diberi pakan maggot BSF juga renta kekurangan nutrisi seperti zinc dan selenium sehingga rentan terhadap infeksi bakteri.
Lagi-lagi, maggot BSF tidak bisa dijadikan pakan utama untuk peternakan unggas ayam. Agar tidak menjadi penyebab penyakit maggot BSF harus diberikan sebagai pakan dengan bahan lain yang dapat memenuhi nutrisi pertumbuhan dan bebas alergi. Itu pun harus maggot BSF yang berkualitas dan mendapat perlakuan steril sebelum dicampurkan pada bahan lainnya.
Dengan kebutuhan semacam itu, ditambah kesibukan mengurus sampah yang harus dikelola setiap waktu, akhirnya peternakan unggas ayam dengan pakan maggot BSF tertinggal. Maka sistem integrasi budidaya maggot BSF, perikanan, dan peternakan unggas ayam dalam pengelolaan sampah akhirnya gagal semua.Â
Akhirnya, pengelolaan sampah kembali seperti semula. Angkut dan buang ke tempat pemrosesan/pembuangan akhir (TPA) sampah. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H