Lagi-lagi ada tempat pemrosesan/pembuangan akhir (TPA) sampah yang kebakaran. Kali di Denpasar - Bali. TPA Suwung kebakaran sejak 12 Oktober 2023, hingga tulisan ini dibuat 14 Oktober 2023, kebakaran masih belum padam.
Kebakaran TPA Suwung ini menambah deretan panjang daftar kebakaran TPA di Indonesia tahun 2023 ini. Entah sampai kapan kebakaran-kebakaran TPA ini akan terus terjadi. Sebab, hampir seluruh TPA di Indonesia kondisinya sama.Â
Potensi kebakarannya sangat tinggi. Karena metode open dumping masih diterapkan oleh hampir semua pengelola sampah di pemerintah daerah di Indonesia.
Kebakaran-kebakaran TPA juga sangat dimungkinkan terjadi lagi di kabupaten/kota lain di seluruh Indonesia karena pengelolaan sampah masih sentralistik.Â
Maksudnya, pada pemerintah kabupaten/kota umumnya mengelola sampah hanya dengan memindah masalah saja. Yaitu, memindahkan sampah dari rumah tangga atau sejenis rumah tangga ke TPA.
Memindahkan masalah seperti itu berarti dan sama saja dengan menyatukan masalah dari sebaran sumber timbulan sampah ke pusat pengelolaan.Â
Hasilnya jelas, mengumpulkan potensi bahaya yang terjadi. Salah satu potensi bahayanya adalah kebakaran TPA itu.Â
Sebab, sampah yang dikumpulkan jadi satu, tumpukan jelas akan menghasilkan limpahan gas metana (CH4). Dan limpahan salah satu kontributor emisi gas rumah kaca (GRK) akan terbakar dan terbakar sewaktu-waktu.
Apalagi jika TPA yang umumnya dikelola secara open dumping itu ada praktik membakar sampah untuk menyediakan ruang bagi sampah baru yang datang.Â
Pasti akan terjadi kebakaran besar. Belum lagi potensi kebakaran yang terjadi karena kemarau panjang. Pemicu kebakaran sampah bisa apa saja. Dan jika api kecil itu menyentuh gas metana yang potensi bakarnya tinggi, maka api kecil itu akan jadi kebakaran besar.
Kebakaran besar akan menimbulkan masalah lain lagi. Polusi udara dan banyak pengeluaran lain untuk memadamkan kebakaran TPA.Â
Jika kebakaran TPA terjadi, maka untuk sementara TPA jelas tidak bisa menerima masuk sampah-sampah yang datang. Sehingga sampah tidak akan diangkut dari rumah-rumah atau dari timbulan sampah lainnya, dan dari tempat-tempat pembuangan sampah sementara (TPS).
Jepang mengawali seluruh sistem persampahannya hingga rapi seperti sekarang ini dengan latar belakang kesehatan. Maka, kembali ke kejadian TPA kebakaran, potensi masalah yang akan terjadi selanjutnya adalah gangguan kesehatan karena sampah yang tidak kunjung diangkut untuk dibuang ke TPA.
Saran untuk Pemerintah Kabupaten/Kota
Para Bupati/Walikota hingga Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU), hingga kementerian terkait sebenarnya sudah paham, bahwa TPA dengan sistem open dumping seharusnya sudah tidak ada lagi.Â
Itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Target tepatnya sesuai UUPS, TPA open dumping seharusnya sudah tutup di seluruh Indonesia 5 tahun setelah UUPS disahkan. Yaitu pada tahun 2013.
Tapi pada kenyataannya, TPA open dumping masih terus beroperasi sampai saat ini. Memang ada beberapa daerah yang sudah menyatakan TPA-nya sudah menggunakan sistem control landfill dan sanitary landfill. Namun, kenyataannya di lapangan tidak demikian.Â
Dengan alasan mahalnya biaya operasional sistem control landfill dan sanitary landfill, sistem yang dipakai tetap open dumping.
Kenapa demikian?
Karena sistem control landfill dan sanitary landfill tidak akan mungkin bisa berjalan dan diterapkan selama pengelolaan sampah masih sentralistik. Yaitu, hanya mwmindah masalah dari banyak tempat sumber timbulan sampah ke satu tempat bernama TPA.
Selain itu, pemerintah pusat dalam hal ini kementerian terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU), seolah tidak terima jika sistem pengelolaan sampah didesentralisasi sebagaimana amanat UUPS.Â
Buktinya, kementerian-kementerian itu masih sangat toleran pada daerah yang TPA-nya masih open dumping dan masih sangat sering mengadakan kegiatan pembinaan, pelatihan dan macam-macam lainnya terkait TPA open dumping.
Sebuah saran bagi pemerintah kabupaten/kota yang mengalami kebakaran TPA dan yang belum mengalami kebakaran TPA. Kembalilah pada amanat UUPS.Â
Kelola sampah secara desentralisasi. Bukan hanya desentralisasi sampai pada instalasi-instalasi pengelolaan sampah seperti di Banyumas itu. Tapi benar-benar terdesentralisasi hingga ke pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenis rumah tangga.
Sehingga, pengelolaan sampah tidak lagi hanya memindahkan masalah dari sumber timbulan yang tersebar untuk diangkut ke satu tempat lalu diolah.Â
Karena bagaimana pun tidak akan imbang pekerja di instalasi pengelolaan sampah dengan sampah yang datang untuk diolah. Maka pengelolaan sampah seperti di Banyumas yang kini sedang viral itu, agak sulit diterima untuk dijadikan percontohan nasional.
Penyebabnya, karena sudah banyak kabupaten/kota mencoba hal yang sama sebelumnya, dan hasilnya kebanyakan alat akhirnya mangkrak disebabkan berbagai masalah.Â
Mulai dari mahalnya biaya operasional dan kecilnya hasil yang diperoleh dari mengolah sampah yang menelan operasional besar itu. Dalam bahasa bisnis disebut rugi.Â
Jadi jangan heran kalau model seperti Banyumas itu hanya jadi konten di media sosial dan belakangan Bupati Banyumas akhirnya mempromosikan mesin mining sampah dari TPA.
Selama pengelolaan sampah masih sentralistik ke satu titik, dengan mesin atau tenaga kerja sebanyak apapun, potensi kemangkrakannya sangat tinggi.Â
Maka pengelolaan sampah harus benar-benar didesentralisasi hingga ke sumber timbulannya. Laksanakan semua aspek pengelolaan sampah untuk memastikan desentralisasi pengelolaan sampah itu berjalan dengan baik.
Aspek pembiayaannya diatur untuk sepenuhnya pembangunan sistem desentralisasi pengelolaan sampah. Aspek regulasinya dibenahi.Â
Aspek  kelembagaannya diperkuat. Aspek infrastrukturnya dilengkapi hulu sampai hilir. Aspek peran serta masyarakatnya ditingkatkan. Dan aspek bisnisnya ditata betul.
Hanya dengan begitu pengelolaan sampah bisa memenuhi prinsip menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan. Dan hanya dengan memenuhi aspek-aspek itu sampah tidak akan lagi menuju TPA seperti memindah masalah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Sampah dengan sistem desentralisasi akan menjadi bahan baku ekonomis. TPA bukan tidak dibutuhkan lagi, tapi hanya benar-benar jadi tempat pembuangan sampah residu yang tidak bisa diapa-apakan, sebagaimana tujuan pembangunan TPA control landfill dan sanitary landfill.
Memang sulit mengubah sistem pengelolaan sampah yang selama ini sudah telanjur biasa sentralistik. Karena sistem pengelolaan sampah yang desentralistik sangat berbeda dalam hal penggunaan anggaran.Â
Pada sistem yang sentralistik pemerintah yang "memainkan" semua sistem keuangan. Sementara pada sistem desentralisasi, pemerintah hanya akan jadi fasilitator. Masyarakatlah yang akan jadi subjek utama pengelolaan sampah.
Maukah pemerintah kabupaten/kota melepaskan permainan sampah? Jawaban pertanyaan itulah yang akan menentukan nasib pengelolaan sampah di Indonesia. (nra)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI