"Kami tinggal menunggu surat dari Dirjen PSLB3 (Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Berbahaya Beracun) untuk merealisasikan itu," ungkapnya.
Menurut Joko, skema pembiayaan untuk sektor persampahan berbeda dengan sektor lainnya. Sebab, pembiayaannya tidak hanya mengakomodir sisi hulu pengelolaan sampah tapi juga di sisi hilirnya. Sehingga sektor persampahan bisa benar-benar optimal dalam pengurangan emisi GRK.Â
Adanya kesempatan dari BPDLH itu seharusnya bisa menjadikan sektor pengelolaan sampah sebagai sektor terbesar yang dapat berkontribusi pada target pengurangan emisi GRK di Indonesia. Sebab, keberadaan sampah yang volumenya begitu besar, ada di mana-mana, dan banyak orang bisa terlibat di dalamnya.
Skema BPDLH Bisa jadi Pengganti EPR
Peluang ekonomi di bursa karbon ini dapat menjadikan sektor pengelolaan sampah yang selama ini lesu karena hanya mengandalkan nilai daur ulang.Â
Begitu kecilnya nilai daur ulang dari bahan baku sampah membuat pengelolaan sampah sangat tidak optimal. Kuantitas daur ulang baru menyentuh angka 5% - 7% saja. Mayoritas sisanya masih di tumpuk di TPA atau berserakan di mana-mana.
BPDLH bisa diharapkan menjadi saluran pendanaan terutama bagi perusahaan-perusahaan polutan sampah merealisasikan polluters pay principle. Yaitu dana itu seharusnya disalurkan dengan skema Extended Producers Responsibility (EPR). Sementara rencana penerapan EPR di Indonesia sudah sangat tenggelam dan tak jadi perbincangan lagi.
Bursa karbon mestinya linier antara target net zero emision dengan net zero waste. Sehingga pembiayaan untuk pengurangan emisi GRK mungkin bisa didapatkan dari EPR perusahaan polutan sampah di Indonesia yang jumlah ratusan atau bahkan ribuan.
Dana itulah yang bisa diharapkan pada BPDLH untuk dihimpun dan selanjutnya diberikan pada para pengelola sampah untuk pengurangan emisi GRK.Â
Selain itu, bursa karbon dapat menggeliatkan kembali upaya-upaya pengelolaan sampah yang sesuai dengan kaidah lingkungan. Karena, pada bursa karbon setiap kilogram (kg) pengurangan emisi GRK dihargai cukup tinggi.Â
Di dunia, saat ini pengurangan emisi GRK dipatok pada harga 2 USD atau Rp 30.000 per kg. Sedangkan di Indonesia hingga kini masih pada tataran isu Rp15.000 per kg pengurangan emisi GRK.