Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Dana Lingkungan Hidup untuk Sampah Rawan Penyelewengan

10 Januari 2023   13:51 Diperbarui: 11 Januari 2023   02:15 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dana lingkungan hidup sebaiknya untuk membangun sistem persampahan yang menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan secara desentralistik. (Dokpri)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengklaim bahwa hingga saat ini belum ada Pemerintah Daerah yang berhasil menuntaskan persoalan sampah. Dana lingkungan hidup diharapkan bisa dipakai untuk bisa mendukung upaya menyelesaikan persoalan tersebut.

Pernyataan itu disampaikan Presiden Jokowi saat pelaksanaan Rakernas Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) akhir tahun 2022 lalu. "Saya berpengalaman sejak walikota sampai sekarang, urusan sampah belum pernah yang namanya beres. Mau membuat insenerator saja, urusan yang namanya tipping fee di Solo belum. Sudah saya mulai awal dulu," ujar Jokowi saat memberikan sambutan.

Pada dasarnya, apa yang disampaikan Jokowi sebenarnya dapat digeneralisir bahwa hingga kini para kepala daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota tak ada yang mampu membereskan masalah sampah. Karena pada kenyataannya memang demikian. Kian hari makin banyak pemberitaan masalah persampahan di berbagai daerah.

Jika ditarik ke pusat, dapat diartikan juga bahwa Pemerintah Pusat belum mampu menyelesaikan masalah sampah secara nasional. Sebab, tak ada program dan kinerja yang nyata untuk secara signifikan meningkatkan kualitas dan kuantitas pengelolaan sampah.

Pemerintah daerah sangat bergantung pada kebijakan pengelolaan sampah dari pusat. Dalam hal ini kementerian-kementerian terkait. Jika dihubungkan semuanya, ada 16 kementerian dan lembaga yang mestinya terlibat dalam pengelolaan sampah.

Keterlibatan kementerian dan lembaga tersebut dimuat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jaktranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang diterbitkan pada tanggal 23 Oktober 2017. Namun, hingga saat ini belum terlihat hasil kerjanya.

Upaya menjalankan Jakrtanas yang paling terlihat adalah upaya sejumlah kementerian mendorong pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). Di mana sebagian besar akhirnya terkendala masalah tipping fee.

Tipping Fee Buat Pemerintah Daerah Stress Pikir Ulang

Mahalnya tipping fee membuat pemerintah daerah harus berhitung ulang dan berpikir berkali-kali untuk menerapkannya. Biaya tipping fee itu mahal, antara Rp 150.000 - Rp 500.000 per ton. Sementara, sekelas kabupaten kecil saja, volume sampah setiap harinya bisa mencapai lebih dari 500 ton.

Bisa dibayangkan jika tipping fee itu diterapkan pada kota-kota besar seperti Surabaya yang volume sampahnya 2.800 ton per hari, atau Jakarta dengan 7.800 ton per harinya. Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk tipping fee tersebut?

Karena mahalnya tipping fee tersebut, daerah yang sudah punya PLTSa/PSEL tak mampu mengalahkan semua sampahnya. Pemerintah daerah kemudian hanya mengalokasikan dana untuk pengolahan sampah ke PLTSa/PSEL semampunya saja. Kendati kapasitas PLTSa/PSEL bisa mengolah sampah hingga 1.000 ton per hari untuk jadi listrik, Pemerintah Daerah tak ada yang mampu memaksimalkan kapasitas itu.

Daerah yang sudah ada PLTSa/PSEL-nya ada yang hanya mampu membayar tipping fee di bawah separuh kapasitas mesin, dan ada yang sama sekali tidak menganggarkan karena kekurangan anggaran. Sisa sampah yang tidak masuk PLTSa/PSEL akhirnya dibuang ke TPA open dumping lagi.

Padahal sistem TPA demikian mestinya sudah ditutup semuanya di seluruh Indonesia. Tepatnya 5 tahun setelah Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) diterbitkan.

Entah dapat masukan dari mana, tampaknya Presiden Jokowi mengharap dana lingkungan hidup bisa dialokasikan ke pos tipping fee itu. Jika itu benar, maka Jokowi sungguh sudah mendapatkan bisikan "setan". Karena mengalokasikan dana lingkungan hidup untuk tipping fee akan sangat rawan penyelewengan.

Meski dana lingkungan hidup bergunung-gunung banyaknya, semuanya akan habis dan selalu kurang jika dialokasikan pada tipping fee sampah. Selain habis dikorupsi, juga akan habis untuk memperkaya golongan pengusaha pengelola PLTSa/PSEL saja. Alih-alih untuk operasional yang dihitung berdasarkan berbagai faktor produksi.

Listrik Hasil PLTSa/PSEL Tidak Dibutuhkan

Secara ekonomis, operasional PLTSa/PSEL sangat tidak menguntungkan. Selain tipping fee-nya mahal, listrik yang dihasilkan juga sangat kecil dan mahal juga. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah mengingatkan agar pemerintah tidak meneruskan proyek PLTSa/PSEL karena kerawanan korupsinya tinggi. Tapi Pemerintah bergeming.

Di sisi lain, listrik yang dihasilkan PLTSa/PSEL sebenarnya tak dibutuhkan PLN. Namun, PLN terpaksa membelinya karena harus tunduk pada Undang Undang Energi Baru Terbarukan (EBT). Beruntunglah PLN karena listrik dari PLTSa/PSEL keluarnya kecil. Jika tidak, PLN akan ikut bangkrut juga gara-gara pengelolaan sampah yang salah jalan itu.

Tentang Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup

Dikutip dari kemenkeu.go.id, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) merupakan Badan Layanan Umum di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Badan ini menyediakan fleksibilitas pengelolaan dana, baik penghimpunan dana dari berbagai sumber pendanaan hingga penyaluran dana kepada kementerian/lembaga, badan usaha, maupun kepada penerima manfaat perorangan.

Secara normatif, Pemerintah melalui BPDLH menjamin bakal mengelola dana yang diterima secara efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Tentu kita semua tahu bagaimana versi Pemerintah soal efektif-transparan-dapat dipertanggungjawabkan.

Masih dari laman website resmi Kementeri Keuangan, diketahui hingga saat ini, BPDLH sedang mengelola dana sebesar USD 968,6 juta atau sekitar Rp 14,52 triliun. Potensi dari potensi dana masuk Rp 24 triliun.

Pemeritah Punya Kebiasaan Pemborosan Dana untuk Persampahan

Dana sebesar itu akan habis, kurang, terus kurang dan kurang terus jika dialokasikan pada tipping fee sampah dan sistem persampahan lainnya yang sentralistik. Namun, jika Pemerintah sudah berkehendak, siapalah yang bisa mencegahnya kecuali Tuhan. Karena masukan dari masyarakat sudah sulit diterima dan didengar sebagai kritik dan masukan pada Pemerintah. Kritik dan masukan justru dianggap mengganggu.

Andaikata Pemerintah masih mau mendengar kritik dan masukan, jawaban dari masalah sampah adalah pengelolaan sampah yang menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan sesuai regulasi dan aspek pengelolaan sampah. Dengan itudana lingkungan hidup itu bisa sangat hemat. Kemudian, sisa penghematan itu bisa dialokasikan untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan selain masalah sampah.

Pertanyaannya, apakah Pemerintah mau melakukan penghematan atas dana lingkungan hidup itu? Sebab, Pemerintah punya kebiasaan memboroskan anggaran terutama di urusan persampahan. Buktinya, begitu banyak fasilitas dan perbantuan bidang persampahan yang mangkrak dan menjadi besi tua di berbagai daerah. Dan atas kondisi itu tidak ada sanksi, punishment, dan evaluasi. Sehingga kesalahan terus berulang-ulang dan memboroskan anggaran. Yang kerap muncul kemudian adalah ungkapan : Masyarakat yang tidak memiliki kesadaran terhadap pengelolaan sampah dan mencemari lingkungan. (nra)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun