Di negara lain, tanggung jawab produsen dikatakan murni tanggung jawab produsen. Produsenlah yang membiayai penerapan tanggung jawab atas sampah dan sisa produknya.
Secara eksplisit memang produsen yang bertanggung jawab, tapi sesungguhnya penerapannya didanai oleh konsumen. Karena tentu saja produsen sudah memasukkannya dalam mekanisme harga produk yang selanjutnya dibeli konsumen.
Di Indonesia EPR pernah disebut sekali dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI Nomor 13 Tahun 2012 dengan definisi strategi yang didisain dalam upaya mengintegrasikan biaya lingkungan ke dalam seluruh proses produksi suatu barang sampai produk itu tidak dapat dipakai lagi sehingga biaya lingkungan menjadi bagian dari komponen harga pasar produk tersebut.
Belakangan Permen LH Nomor 13 Tahun 2012 ini dicabut dan digantikan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah pada Bank Sampah. Pada peraturan menteri yang baru itu EPR sudah tak disebut lagi.
Hal ini sangat mencemaskan para pemerhati lingkungan karena frasa EPR kini tak ada lagi di semua regulasi tentang persampahan. Kondisi yang bisa menyebabkan produsen makin jauh dari melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya pada sampah dan sisa kemasannya.
Mengapa Produsen Wajib Mengelola Sampah dan Sisa Produknya?
Dalam hal ini, sampah secara umum adalah kemasan-kemasan yang membungkus produk. Di mana ketika konsumen telah membeli produk itu maka kemasan tersebut kemudian menjadi sisa dari produk tersebut.
Misalnya, bungkus makanan ringan, botol minuman, bungkus barang, dan lain sebagainya dengan fungsi wadah atau pengaman produk dari ancaman kerusakan.
Sedangkan sisa produk adalah barang-barang yang sudah tak dipakai lagi karena sudah selesai fungsinya atau karena rusak.
Misalnya, handphone, laptop, televisi, kursi, lemari, kasur, kulkas, sepeda motor, mobil, lampu, dan berbagai barang lain yang tak dipakai lagi karena ada pembaruan atau rusak.