Lanjut ke Pasal 13, kemudian bertanyalah : Apakah pemerintah sebagai pengelola kawasan tempat masyarakat tinggal dan hidup sudah memenuhi kewajibannya untuk menyediakan fasilitas pemilahan sampah?
Geser ke Pasal 15, tanyakanlah : Sudahkah pemerintah menuntut produsen bertanggung jawab pada sisa produk/sampahnya yang tidak bisa diurai secara alami?
Lalu Pasal 21 ayat (1): Pernahkah pemerintah memberikan insentif pada orang yang melakukan pengurangan sampah?
Besar kemungkinan dari setiap pertanyaan itu, semua jawabannya adalah tidak dan belum. Karena pada umumnya belum dilaksanakan pasal-pasal tersebut di atas, maka akibatnya adalah masalah lingkungan karena sampah.
Nasib masyarakat sebagai user atau pengguna akhir dari suatu produk dan hasil produksi memang sangat empuk sebagai sasaran tudingan untuk disalahkan.Â
Produsen sebagai pembuat barang-barang yang kemudian jadi sampah setelah dipakai masyarakat seolah suci bebas dari kesalahan.Â
Dan pemerintah sebagai regulator yang tidak menegakkan dan menjalankan regulasi seolah cuci tangan dengan menunjuk masyarakat sebagai biang kerok masalah sampah.
LSM, aktivis, pemerhati lingkungan, media hingga akademisi pun ikut-ikutan menyalahkan masyarakat.Â
Alih-alih mendorong pemerintah memenuhi hak-hak masyarakat dalam persampahan dan menegakkan regulasi serta menuntut produsen bertanggung jawab, mereka malah ikut menyatakan masyarakat tidak sadar lingkungan karena buang sampah di sungai.
Tak jarang, produsen yang seharusnya bertanggung jawab pada sisa produk/sampahnya juga ikut menyalahkan masyarakat. Sungguh sebuah ironi.Â
Mereka yang mestinya sadar bahwa dirinya telah melanggar undang-undang malah membalikkan keadaan dengan menyalahkan masyarakat. Dan narasi itu sering didukung oleh pihak lainnya seperti disebut di atas.