Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Penyebab Kegagalan Komposting Sampah Organik dengan Komposter

21 Agustus 2022   13:09 Diperbarui: 21 Agustus 2022   14:50 1586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengurangan sampah dengan sistem pemilahan organik dan anorganik sebenarnya bukan hal baru. Teknologi komposting juga bukan hal baru di Indonesia. Tapi, kenapa banyak komposter mangkrak, tidak berguna, dan tidak terpakai?

Khusus untuk aspek teknologi (di antara 6 aspek pengelolaan sampah). Komposting adalah teknologi lawas yang ada kaidahnya. Untuk penggunaan komposter, maka struktur dan sistem serta berbagai keperluan pelengkapnya harus sesuai. 

Kegagalan komposting pada umumnya disebabkan struktur komposter, mikro bakteri, dan perlakuan tambahan lainnya.

Salah Struktur Komposter

Komposter adalah alat pengomposan sampah organik secara aerob. Komposter dibuat tertutup, namun tetap memberi jalan agar udara bisa keluar masuk komposter. Sebab, proses dekomposisi membutuhkan oksigen agar tidak atau mengurangi terciptanya gas metana yang khas bau sampah itu.

Komposter yang tidak sesuai dengan kaidah komposting akan mangkrak karena proses dekomposisi tidak terjadi. (Dokumentasi pribadi)
Komposter yang tidak sesuai dengan kaidah komposting akan mangkrak karena proses dekomposisi tidak terjadi. (Dokumentasi pribadi)

Dalam proses komposting/dekomposisi sampah organik pasti terjadi pematusan. Sampah organik rumah tangga dan sejenis rumah tangga di Indonesia mengandung kadar air hingga 50% lebih. 

Itulah mengapa, sampah organik Indonesia sebenarnya sama sekali tidak cocok untuk dibakar dengan teknologi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

Dengan kondisi sampah yang basah itu, maka komposter harus dan wajib menyediakan ruang untuk proses pematusan itu. Sehingga, sisa pematusan bisa jatuh terpisah dengan maksimal. Di mana sisa pematusan itu juga akan bermanfaat nantinya untuk dijadikan pupuk cair organik, atau eco enzime.

Di banyak tempat, banyak komposter mangkrak dan tidak dipakai lagi karena strukturnya salah. Tidak sesuai dengan kaidah komposting yang seharusnya sehingga gagal menghasilkan kompos dari sampah. 

Salah Pakai Mikroba

Selain komposter sebagai alat komposting tidak memenuhi kaidah yang seharusnya, kegagalan dalam komposting selanjutnya disebabkan kesalahan penggunaan mikro bakteri (mikroba). Mikroba yang dibutuhkan untuk mendekomposisi sampah adalah mikroba dekomposer.

Menggunakan mikroba yang salah membuat sampah organik di komposter tidak terdekomposisi. (Dokumentasi pribadi)
Menggunakan mikroba yang salah membuat sampah organik di komposter tidak terdekomposisi. (Dokumentasi pribadi)

Dekomposisi atau pembusukan merupakan salah satu perubahan secara kimia yang membuat objek dapat mengalami perusakan susunan/struktur yang dilakukan oleh dekomposer atau media pembusukan. Atau kata lain, dekomposisi adalah proses mengubah susunan/struktur kompleks jadi sederhana.

Oleh karena itu, proses dekomposisi harus dilakukan oleh mikro bakteri yang punya kemampuan untuk mengurai objek, dalam hal ini objeknya sampah organik. Proses dekomposisi inilah yang akan menghasilkan pematusan pada sampah organik. Mikroba dekomposer bekerja cepat mendahului proses fermentasi.

Harus dipahami, bahwa proses dekomposisi berbeda dengan proses fermentasi. Sebab, banyak sekali orang salah paham bahwa proses fermentasi sama dengan proses dekomposisi. Atau, proses dekomposisi disamakan dengan proses fermentasi. Padahal, keduanya merupakan dua hal yang sangat berbeda.

Karena menyamakan proses dekomposisi dengan proses fermentasi, sangat sering terjadi penggunaan mikroba fermentasi untuk tujuan dekomposisi. Itu pun mikroba fermentasi yang khusus proses fermentasi, melainkan mikroba fermentasi yang terkandung di dalam pupuk organik cair (POC) merek tertentu di pasaran. Yaitu, mikroba fermentasi yang seharusnya sudah dijatuhkan/dibebaskan ke tanah, namun masih diminta bekerja kembali untuk memfermentasi objek organik. Atau, diproses untuk diperbanyak mikroba fermentasi tersebut dengan cara yang sama untuk pengembangbiakan mikro organisme lokal (MOL).

Proses dekomposisi adalah penguraian tanpa mengubah unsur, sehingga kandungan dalam objek tidak berubah. Sementara proses fermentasi adalah proses perubahan dari intisari objek berupa pati atau gula menjadi alkohol atau asam. 

Proses fermentasi tidak membutuhkan oksigen alias anaerob. Maka jangan heran jika proses fermentasi menghasilkan bau asam khas sampah. Itulah gas metana yang tercipta dari proses fermentasi atau pembusukan anaerob. 

Sampah organik berubah menjadi seperti tanah dengan proses dekomposisi yang benar. (Dokumentasi pribadi)
Sampah organik berubah menjadi seperti tanah dengan proses dekomposisi yang benar. (Dokumentasi pribadi)

Proses fermentasi tercatat membutuhkan waktu yang lebih lama dari proses dekomposisi. Banyak kegagalan komposting yang menyebabkan banyak sekali komposter mangkrak karena salah menggunakan mikro bakteri. 

Mikroba fermentasi digunakan untuk dekomposisi sampah organik. Jelas tidak bisa, dan pasti tidak sesuai harapan. Sampah organik yang masuk komposter dengan mikroba fermentasi akan lama berproses. Sehingga komposter keburu penuh, kompos sama sekali belum jadi.

Akhirnya, karena komposter penuh dan komposnya belum bisa dipanen, maka orang kembali lagi membuang sampah organik bercampur dengan sampah anorganik. Dibuang lagi di tempat penampungan sampah, kemudian diangkut lagi ke TPA. 

Tidak Gunakan Compost Supplement

Mikroba dekomposer dapat didorong untuk bekerja lebih giat, berkembang lebih banyak dan cepat dengan compost supplement. Sehingga proses dekomposisi sampah organik di dalam komposter dapat berlangsung lebih cepat juga. Dengan demikian sampah organik juga bisa segera bisa berubah jadi pupuk kompos yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian atau perkebunan.

Compost supplement berfungsi untuk meningkatkan kinerja mikroba dekomposer karena mengandung unsur yang dibutuhkan. Selain memakan sampah organik yang kemudian berdampak pada proses penguraian, mikroba dekomposer juga akan mendapatkan booster dari compost supplement sehingga dapat memaksimalkan kinerjanya.

Kondisi sampah organik dekomposisi menggunakan compost supplement (kiri) dan tanpa compost supplement (kanan) pada hari ke-4. (Dokumentasi pribadi)
Kondisi sampah organik dekomposisi menggunakan compost supplement (kiri) dan tanpa compost supplement (kanan) pada hari ke-4. (Dokumentasi pribadi)

Pada umumnya, proses dekomposisi sampah organik tidak menggunakan compost supplement. Akibatnya, proses komposting masih relatif lama meski struktur komposter sudah sesuai dengan kaidah dekomposisi dan mikroba yang digunakan sudah sesuai peruntukan dekomposisi sampah.

Dengan compost supplement, kinerja komposting bisa meningkat 2-4 kali lebih cepat dibanding komposting tanpa compost supplement. Dengan demikian, sampah organik lebih cepat berubah dan bisa cepat dimanfaatkan untuk pupuk kompos atau disempurnakan lagi menjadi pupuk kompos plus untuk manfaat yang lebih optimal.

Formula compost supplement yang berguna untuk membantu percepatan dekomposisi sampah organik. (Dokumentasi pribadi)
Formula compost supplement yang berguna untuk membantu percepatan dekomposisi sampah organik. (Dokumentasi pribadi)

Kendati proses dekomposisi lebih cepat dari proses fermentasi, tak jarang dinilai masih terlalu lambat mengatasi sampah organik. Karena orang pada umumnya terbiasa dengan solusi cespleng: buang sampah ke TPA. Maka, proses dekomposisi pun dianggap kurang cepat. Untuk itulah diperlukan compost supplement dalam proses komposting.

Aspek Pengelolaan Sampah Lain Ditinggalkan

Kendati komposter sudah benar, mikroba dekomposer sudah tepat, dan compost supplement sudah dipakai, semuanya tidak akan berjalan awet tanpa ada dan dilaksanakannya aspek-aspek lain dalam pengelolaan sampah.

Banyak komposter akhirnya tidak bermanfaat dan menumpuk karena tidak simultan dalam aspek pengelolaan sampah. (Dokumentasi pribadi)
Banyak komposter akhirnya tidak bermanfaat dan menumpuk karena tidak simultan dalam aspek pengelolaan sampah. (Dokumentasi pribadi)

Aspek teknologi berupa alat komposting hanyalah satu dari 6 aspek pengelolaan sampah yang simultan harus ada dan dilaksanakan secara menyeluruh, tersistem, dan berkelanjutan. 

Tanpa dilengkapi aspek regulasi, aspek kelembagaan, aspek pembiayaan, aspek partisipasi, dan aspek bisnis semua teknologi pengolahan sampah akan mangkrak. Tak terkecuali komposter. (nra)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun