Salah satu penyebab sulitnya mengatasi persoalan sampah di Indonesia adalah begitu banyak ditemuinya metode artifisial pengelolaan sampah. Metode ini juga dijalankan oleh para afiliator atau orang-orang yang juga artifisial. Mereka adalah orang-orang yang berbicara masalah sampah dan solusinya, tapi apa yang mereka lakukan justru memperkeruh masalah.
Tak butuh waktu lama untuk melihat dan mengetahui bahwa seseorang termasuk dalam kategori artifisial dalam persampahan dan pengelolaannya. Dalam satu pembicaraan saja, orang artifisial di persampahan akan terdeteksi.Â
Perilaku artifisial itu tampak pada mereka yang seolah ingin persoalan sampah dibereskan tapi tidak setuju jika sampah dikelola dengan benar. Terutama pengelolaan sampah yang benar dalam versi regulasi. Sebab, jika sampah dibereskan dengan dasar regulasi, orang itu merasa zona nyamannya selama ini terganggu.
Dalam sudut pandang umum, bagaimana pun persoalan sampah hanya bisa dilakukan dengan upaya penegakan peraturan, membangun kelembagaan, mengoleksi pembiayaan, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan teknologi operasional.Â
Semua unsur itu harus lengkap didahului dengan adanya dan tegaknya regulasi persampahan. Tidak artifisial, pengelolaan sampah butuh ketegasan dari semua unsur.
Ciri orang artifisial akan tampak ketika ada pihak yang berupaya menegakkan regulasi. Orang artifisial itu akan mencela, menyesalkan, dan menyalahkan masyarakat yang tidak mau mematuhi peraturan sehingga tidak mengelola sampahnya. Namun, di sisi lain orang artifisial ini juga mencela pihak yang akan menegakkan regulasi di persampahan.Â
Orang-orang dalam metode artifisial pengelolaan sampah akan menyatakan bahwa upaya penegakan regulasi persampahan akan butuh waktu lama, sulit dilakukan, tidak mungkin terjadi selama pemerintah masih abai regulasi, tidak akan terwujud secepatnya, masyarakat belum siap, dan masih banyak alasan lainnya untuk melemahkan upaya berjalannya regulasi.Â
Di lain tempat dan waktu, orang artifisial ini mencela masyarakat karena tidak patuhi aturan, tapi juga mencela pihak yang hendak menegakkan peraturan itu.
Ada pula yang berperilaku seolah-olah hendak menyelesaikan persoalan sampah dengan solusi-solusinya. Solusinya juga didasarkan pada regulasi dan peraturan pengelolaan sampah, tapi di sisi lain solusi itu mendorong pelanggaran-pelanggaran terhadap regulasi itu sendiri dengan alasan "masalah sampah sekarang harus selesai sekarang", sementara melanggar tidak apa-apa. Sementara yang kemudian berkepanjangan menjadi selamanya.
Sebagai contoh metode artifisial pengelolaan sampah antara lain, keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL).Â
Dalam hal ini pihak yang optimis dengan PLTSa/PSEL sangat yakin bahwa teknologi ini bisa menyelesaikan persoalan sampah. Padahal, teknologi ini tak mungkin bisa menyelesaikan masalah sampah karena kapasitasnya tak pernah menyamai volume sampah yang timbul.
PLTSa/PSEL adalah solusi persampahan yang jelas dan nyata melanggar regulasi untuk menyelesaikan persoalan sampah. Keberadaan teknologi itu jelas akan mendorong masyarakat, pengelola kawasan, dan produsen produk untuk melanggar kewajiban untuk mengelola dan bertanggung jawab pada sampah atau sisa produknya.Â
Sebab, PLTSa/PSEL berpotensi menjadi sentral penanganan sampah. Semua pihak akan abai pada sampah dan menyerahkan semua pengelolaan pada satu pihak saja, monopolistik.
Sementara itu, sampah yang tidak habis diolah dengan PLTSa/PSEL pada akhirnya juga akan dibuang ke TPA. TPA yang dimaksud hampir bisa dipastikan masih dioperasikan secara open dumping. Lagi-lagi melanggar regulasi tentang penutupan TPA open dumping.Â
Kita bisa saksikan kondisi itu di Jakarta atau Surabaya yang sudah ada PLTSa/PSEL-nya. Sungguh sulit dipercaya bahwa sampah seluruhnya bisa diolah dengan PLTSa/PSEL, sementara tepat di sebelah fasilitas itu ada TPA yang tidak tampak berkurang sampahnya.
Begitu juga dengan kebijakan pelarangan kantong plastik. Kebijakan yang pada dasarnya justru mendorong pelanggaran terhadap pelarangan itu sendiri. Pelanggaran pada pelarangan penggunaan kantong plastik dilatarbelakangi masih tingginya kebutuhan masyarakat pada kantong plastik tersebut.Â
Pelarangan kantong plastik kemudian mendorong satu pihak "menjual" kantong plastik dan masyarakat dengan sukarela tetap "membelinya". Alih-alih merasa sudah membayar, masyarakat akan berperilaku bebas membuang kantong plastik yang sudah dibelinya karena sudah "membayar" untuk membuang sampah.Â
Sementara pihak penjual menganggap kantong plastik yang dijualnya adalah bagian tak terpisahkan atau satu paket dengan barang yang dijualnya dan itu harus dibayar.
Dua Kelompok Artifisial Persampahan
Dalam metode artifisial pengelolaan sampah ada 2 kelompok yang selalu melanggengkannya. Yaitu, kelompok pemikir dan kelompok pengikut.
Kelompok pemikir dalam metode artifisial pengelolaan sampah adalah mereka yang tahu, mengerti, dan paham mengenai segala aturan, kaidah, dan wawasan lingkungan mengenai pengelolaan sampah. Namun, kelompok ini memang mencari celah untuk bisa lepas dari peraturan, kaidah, dan wawasan lingkungan itu dalam pengelolaan sampah.
Kelompok pemikir inilah yang begitu pandai membuat isu-isu mengenai persampahan. Isu itu kemudian berkembang dan menjadi alasan bagi pemangku kebijakan untuk melakukan diskresi regulasi.Â
Kelompok kedua adalah kelompok pengikut. Kelompok pengikut dibagi menjadi 2 lagi. Yaitu, pengikut metode artifisial pengelolaan sampah karena loyalitasnya pada bos-nya yang merupakan kelompok pemikir tadi, dan pengikut yang karena kebodohannya mengikuti kelompok pemikir.
Dua kelompok tersebut saling berkelindan satu dengan yang lain. Seolah tak terpisahkan dan solid. Soal soliditas tentu merupakan hal yang baik. Namun, soliditas yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan tentu tidak lagi baik.
Penyebab Metode Artifisial
Bagi orang yang telah memahami seluk beluknya persampahan, maka mereka tahu betul bahwa sampah merupakan sumber daya ekonomi. Sampah adalah bahan baku ekonomi yang unlimited. Akan terus ada selama manusia masih ada hingga kiamat nanti.
Metode artifisial pengelolaan sampah itu muncul karena tingginya nilai ekonomis sampah. Nilai yang tidak diharapkan semua orang tahu itu. Kenapa???
Karena setiap orang menghasilkan sampah.
Jika semua orang mengetahui nilai dari sampah yang selama ini mereka buang dan tidak manfaatkan, maka situasi akan berbeda. Tidak akan ada sampah berserakan di mana-mana. Mungkin justru orang-orang akan berebut sampah.
Para afiliator metode artifisial pengelolaan sampah selama ini banyak mengambil untung dari sampah yang dibuang masyarakat. Mereka mendapatkan bahan baku secara gratis, kemudian menjualnya. Ada pula yang tidak gratis, tapi sangat murah, lalu menjualnya dengan harga yang sesuai mekanisme pasar.
Ada pula afiliator metode artifisial pengelolaan sampah yang hanya ingin ambil untuk cepat melalui topping fee, iuran, atau retribusi kebersihan atau persampahan. Dan yang terakhir adalah afiliator yang hanya mencari keuntungan sesaat, sekejap, cepat, dan banyak dari berbagai pembelian mesin, alat, dan perlengkapan pengolahan sampah yang mahal-mahal.Â
Mereka tidak peduli apakah mesin, alat, dan perlengkapan itu akan bermanfaat atau tidak. Yang penting sudah mendapat bagian dari fee pembelian dan fee penjualan.
Nah, semua praktik afiliator metode artifisial pengelolaan sampah semacam itu tidak akan bisa dilanjutkan jika pengelolaan sampah dijalankan benar dan sesuai regulasi. Praktik demikian tidak bisa lanjut itu maksudnya semuanya akan berjalan di atas relnya dan proporsional.Â
Tidak akan ada lagi monopoli pengelolaan sampah, tidak ada lagi pihak yang untung besar sementara yang lain rugi, dan tidak ada lagi pihak yang bisa lepas dari tanggung jawabnya pada sampah. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H