Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kendaraan Listrik Ramah Lingkungan dan Potensi Sampah Baterainya

2 Maret 2022   13:45 Diperbarui: 4 Maret 2022   08:35 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski belum menggeliat betul, pasar kendaraan listrik di Indonesia sudah mulai berkembang. Andai tak ada pandemi dan ekonomi Indonesia sehat, inilah saatnya kendaraan listrik booming, dan orang akan beramai-ramai berpindah dari kendaraan bahan bakar fosil ke kendaraan listrik.

Meski sebenarnya hampir sama saja, energi listrik akan lebih diminati oleh masyarakat karena dianggap lebih ramah lingkungan. 

Kendaraan listrik memang ramah lingkungan dalam penggunaannya, karena kendaraan tidak akan lagi mengeluarkan asap berupa karbondioksida atau CO2. 

Di sisi lain sebenarnya relatif sama jika operasional untuk menghasilkan listrik masih menggunakan energi fosil dari batu bara. 

Justru penambangan batu bara akan makin besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan produksi listrik. Demikian pula jika produksi listrik masih menggunakan bahan bakar minyak atau gas atau termal bumi.

Kecuali produksi listrik dihasilkan dari tenaga angin, tenaga air, dan tenaga matahari, atau tenaga nuklir, itulah baru akan ramah lingkungan. Tidak betul-betul ramah lingkungan karena penambangan bahan untuk pembuatan baterai yang terbuat dari lithium dan nikel juga dilakukan besar-besaran.

Jika baterai kendaraan listrik tidak dapat didaur ulang, maka transformasi energi moda transportasi akan mendatangkan masalah baru. Yaitu sampah baterai.

Soal baterai, hingga saat ini baterai masuk pada kategori sampah bahan beracun dan berbahaya (B3). Untuk lembaga atau instansi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit yang ketat dalam pengelolaan sampahnya, sampah baterai termasuk pada beban biaya pemusnahan. Yang ongkosnya dipungut per kilogram (kg) oleh perusahaan pemusnah B3.

Namun, untuk lembaga atau instansi selain pelayanan kesehatan, baterai dibuang begitu saja bercampur sampah lainnya. Masuk ke TPA dan menumpuk di sana. Menjadi salah satu faktor penyebab percampuran senyawa berbahaya yang bisa mencemari air, tanah, dan udara serta dapat merusak kesehatan.

Baterai kendaraan listrik akan jadi masalah lingkungan jika tak dikelola. (Ilustrasi Kompas.com)
Baterai kendaraan listrik akan jadi masalah lingkungan jika tak dikelola. (Ilustrasi Kompas.com)

Pada umumnya konsumen lebih memilih untuk membeli dan menggunakan baterai sekali pakai. Karena praktis dan tidak butuh waktu banyak untuk mengisi ulang. Sangat sedikit dan mungkin tidak ada konsumen skala besar yang memilih untuk membeli baterai isi ulang guna memenuhi kebutuhannya.

Sebagaimana diketahui, pada baterai primer terdapat unsur zinc, karbon, campuran MnO2 (Mangan Dioksida), serbuk karbon dan NH4Cl (Ammonium Klorida). Sementara, baterai yang dapat diisi ulang mengandung cadmium, Nikel dan alkaline (potassium hidroksida). 

Baterai lainnya adalah baterai handphone (HP) dan power bank yang bahan pembuatannya relatif sama dengan baterai kendaraan listrik. 

Anda mungkin jarang melihat baterai handphone atau power bank yang sudah tak terpakai dalam jumlah dan volume besar. Sebab, karakteristik sampah ini menyebar di konsumennya dan bisa dibuang dicampur sampah lain. 

Meski di banyak tempat sudah tersedia tempat sampah terpilah organik, anorganik, dan B3, semua sampah itu hampir dipastikan akan dicampur lagi untuk dibuang ke TPA. Sebab, tak ada manajemen lanjutan dari sistem pemilahan sampah tersebut. Tempat sampah terpilah umumnya hanya pajangan dan pencitraan belaka.

Daur Ulang Baterai Kendaraan Listrik

Sebelum benar-benar booming dan transformasi kendaraan listrik terjadi besar-besaran, maka proses daur ulang baterai kendaraan listrik harus benar-benar dipikirkan. 

Memang daya tahan baterai isi ulang bisa lama untuk terus dipakai. Tapi pasti ada masanya baterai itu drop dan tidak bisa lagi menampung energi listrik.

Kondisi itu pasti terjadi setidaknya 5 tahun dari sekarang. Setiap hari akan ada baterai kendaraan listrik "drop" dan harus diganti. Seperti orang yang setiap hari selalu ramai mengurus surat izin mengemudi (SIM) atau nomor polisi (nopol) kendaraan, padahal "matinya" setiap 5 tahun.

Jika kondisi perbateraian kendaraan listrik sama dengan kondisi perbateraian saat ini, maka tahap selanjutnya dari masalah sampah kita adalah gunungan sampah baterai kendaraan listrik. Karena itu, mumpung masih belum terlambat sebaiknya dipikirkan bagaimana sirkulasi baterai kendaraan listrik agar tidak linear, beli-drop-buang. Baterai mobil harus mengikuti konsep ekonomi sirkular, beli-drop-daur ulang.

Maka teknologi kendaraan listrik harus benar-benar didampingi teknologi daur ulang baterainya. Dan yang tak kalah penting adalah sistem dalam proses ekonomi sirkular baterai kendaraan listrik itu. 

Jangan sampai terjadi kebocoran hingga baterai kendaraan listrik jatuh ke lingkungan tanpa pengelolaan sebagaimana baterai-baterai yang ada saat ini.

Untuk bisa keluar dari persoalan tersebut, Indonesia harus kembali pada penegakan regulasi pengelolaan sampah. Baterai kendaraan listrik termasuk sampah yang harus diantisipasi dengan regulasi. Dan sebenarnya, Indonesia sudah punya instrumen regulasi yang jelas bisa diterapkan. Yaitu, Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). 

Pada UUPS sudah termaktub kewajiban semua pihak pada produk-produk yang berpotensi jadi sampah. Tidak ada pengecualian. Termasuk untuk kendaraan listrik, bukan hanya baterainya yang akan berpotensi jadi sampah, tapi seluruh bagiannya akan jadi sampah pada waktunya, cepat atau lambat. 

Di sinilah perlunya Indonesia menerapkan regulasi Extended Producer Responsibility (EPR). Supaya tidak ada produsen yang lari dari tanggung jawab mengelola sisa produknya yang jadi sampah. (nra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun