Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Perusahaan Produsen Jangan Takut EPR Sampah, Rakyat Membayar

8 Februari 2022   06:59 Diperbarui: 8 Februari 2022   07:04 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2020-2021 seolah menjadi tahunnya Extended Producer Responsibility (EPR). Karena di tahun-tahun itu banyak sekali pihak membahas EPR. 

Webinar, diskusi, dan dialog-dialog umum dilakukan untuk membahas EPR. Tujuannya menyongsong 2022. Tahun di mana EPR rencananya akan diterapkan di Indonesia.

Tahun ini masih belum ada lagi yang membahas EPR. Mungkin lelah karena EPR di Indonesia tak kunjung jelas juntrungannya. Kenyataannya, memasuki 2022 rencana itu belum ada kabarnya. Namun, tahun 2022 masih panjang hingga nanti 31 Desember 2022. Mungkin di detik-detik terakhir itu penerapan sistem pertanggung jawaban produsen pada sisa produknya (sampah) akan diterapkan.

Atau, tak ada lagi yang bahas EPR karena banyak wacana dan berita tentang produsen yang akan rugi jika EPR diberlakukan. Produsen bahkan mengancam angkat kaki dari Indonesia jika Indonesia menerapkan EPR.

Selama ini yang membahas EPR antara lain adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan yang terafiliasi dengannya. Wacana dan berita tentang ancaman produsen akan angkat kaki jika EPR diterapkan dipercaya begitu saja. Karena  pihak ini tak punya taring untuk berhadapan dengan dunia usaha. Dalam hal ini produsen yang produknya menghasilkan sampah.

Tantangan atau ancaman produsen begitu tak mungkin dialamatkan pada pihak lain. Misalnya, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, atau Kementerian Koperasi dan UKM. Karena tantangan dan ancaman itu akan diterima. Produsen yang tidak mau bertanggungjawab pada sampahnya silahkan minggat dari Indonesia.

Reaksi berbeda itu muncul karena tiga kementerian itu adalah pihak yang punya taring pada dunia usaha. Tiga kementerian ini tahu betapa butuhnya perusahaan-perusahaan besar produsen pada Indonesia sebagai pasar. Dan tahu betul bahwa, jika produsen-produsen itu angkat kaki dari Indonesia, maka peluang itu akan jadi milik pengusaha dalam negeri.

Lagi pula, alasan produsen takut pada penerapan EPR di Indonesia sama sekali tidak masuk akal. Produsen juga tahu betapa tidak masuk akalnya alasan mereka takut pada EPR. Sebab, mereka sama sekali tidak dirugikan. Produsen justru diuntungkan.

Meski tak masuk akal, produsen tetap berusaha memviralkan alasannya tentang penolakan atau ketakutannya pada penerapan EPR. Mereka tahu, orang Indonesia malas membaca regulasi dan takut diancam akan ditinggalkan. 

Tak Ada Regulasi Sebut EPR

Definisi EPR dalam regulasi pertama muncul di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, dan Recycle melalui Bank Sampah. Disebutkan pada Pasal 1 poin 3: EPR adalah strategi yang didisain dalam upaya mengintegrasikan biaya lingkungan ke dalam seluruh proses produksi suatu barang sampai produk itu tidak dapat dipakai lagi sehingga biaya lingkungan menjadi bagian dari komponen harga pasar produk tersebut.

Permen LH Nomor 13 Tahun 2012 itu kemudian dicabut, diganti dengan Permen LHK Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah pada Bank Sampah. Di peraturan baru ini, definisi tentang EPR hilang. Jangankan membahas EPR, satu katapun menyebut EPR tidak ada.

Bahkan, dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen, sepatah kata EPR sama sekali tak ada. Padahal, KLHK dengan bangganya sering menyebut peraturan itu akan menjadi implementasi penerapan EPR di Indonesia. 

Bagaimana mungkin peraturan yang mengatur tentang EPR sama sekali tak menyebutkan EPR di dalamnya?

Maka, sejak Permen LH Nomor 13 Tahun 2012 dicabut, tak ada satu pun regulasi persampahan yang secara explisit menyebut EPR. Sebagai bangsa yang cerdas, tentu kita tahu bagaimana ini bisa terjadi. Jadi pantas jika muncul berbagai spekulasi. 

Sederhananya Sistem EPR dari Rakyat

Sebagaimana definisi EPR yang ada di Permen LH Nomor 13 Tahun 2012, produsen benar-benar sama sekali tidak perlu khawatir, takut, apalagi menolak EPR. Karena di Indonesia, jelas-jelas EPR tak akan menggunakan uang perusahaan produsen. EPR dibayar rakyat sebagai konsumen yang dimasukkan dalam mekanisme harga.

Produsen sama sekali tak dirugikan dalam hal EPR. Karena yang membayarkan EPR adalah konsumen atau rakyat yang membeli produk mereka. Perusahaan produsen hanya perlu membayarkan di muka EPR itu pada pemerintah atau lembaga yang dibentuk pemerintah untuk mengelola EPR itu.

Dana EPR yang dibayarkan oleh perusahaan produsen akan diganti impas dan tunai melalui pembelian yang dilakukan masyarakat. Sesederhana itulah EPR. Kenapa dibikin ribet seolah-seolah EPR itu kiamat bagi perusahaan produsen?

Mungkinkah karena produsen takut keuntungannya terbagi? Tidak. EPR sama sekali tidak akan mengurangi keuntungan produsen. Karena rakyat sebagai konsumen yang membayarnya dan akan kembali ke rakyat.

Mungkinkah produsen takut EPR karena tak mau jumlah produk yang dijualnya diketahui pemerintah? Tidak juga. Selama ini kan mereka selalu melaporkan jumlah produksinya untuk penarikan pajak.

Mungkinkah produsen takut EPR karena harus mengeluarkan dana lain-lain? Tidak. Produsen tidak perlu keluar dana, meskipun wajar saja mereka mengeluarkan dana sebagai  tanggung jawab pada sisa produknya berdasarkan polluters pay principal. 

Mungkinkah produsen takut EPR karena takut dana talangan EPR-nya dikorupsi atau diselewengkan? Ini bisa jadi. Namun, yang khawatir soal ini seharusnya bukan produsen. Tapi rakyat yang seharusnya takut, karena mereka yang akan membayar EPR.

Kesimpulannya, sama sekali tidak ada alasan untuk tidak menerapkan EPR di Indonesia. Apalagi masyarakat sekarang sudah sebagian sadar akan lingkungan. Tak akan keberatan membayar EPR dan mungkin mereka tak akan sadar sudah membayar EPR karena sudah menyatu dalam harga produk.

EPR adalah uang rakyat untuk pengelolaan lingkungan. Dan itu akan menjadi solusi untuk pengelolaan sampah Indonesia. Tantangan terberat EPR adalah korupsi di tengah pengelolaannya. Dan potensi kecurangan itu sangat mudah ditutup dengan melibatkan aparat penegak hukum dalam penerapannya. (nra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun