Untuk pejabat pemerintah, mungkin hanya agar terlihat bekerja, tidak makan gaji buta, dan supaya cepat naik jabatan. Atau mungkin agar banyak dilobi orang-orang berkepentingan agar tak kena penalti karena masalah sampahnya.
Untuk aktivis, praktisi, akademisi mungkin hanya untuk terkenal dan populer sebagai orang yang ahli di bidang persampahan. Sehingga bisa diundang ke mana-mana sebagai pembicara atau narasumber. Atau supaya bisa digandeng pihak-pihak tertentu untuk jadi konsultan persampahannya.
Untuk perusahaan-perusahaan, mungkin hanya untuk terlihat peduli lingkungan dan mendukung program pemerintah dalam pengelolaan sampah. Supaya meskipun sebenarnya merusak lingkungan, mereka tetap bisa mendapatkan penghargaan peduli pada lingkungan karena gencarnya publikasi kegiatannya.
Untuk pengusaha sampah dan asosiasi maupun perkumpulan pengusaha daur ulang, mungkin hanya agar bisa bekerja sama oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan. Dari situ mungkin bisa dapat anggaran dan keuntungan yang bisa diolah untuk bisnisnya masing-masing.
Semua punya kepentingan masing-masing untuk memperoleh keuntungan dari sampah. Itu yang menjadi prioritas utama. Karena mereka semua belum selesai dengan persoalan hidupnya sendiri. Banyak kebutuhan dan keinginan hidup mereka yang belum terpenuhi.
Kebutuhan dan keinginan hidup tidak melulu terkait hal-hal yang material. Tapi juga kebutuhan dan keinginan immaterial seperti pengaruh, kedudukan sosial, popularitas, pujian, dan pengakuan.Â
Karena fokus pada hal-hal tersebut, pengelolaan sampah yang benar bukanlah tujuan utamanya. Yang penting program dan kegiatan terlaksana. Anggaran dan dana terserap. Publikasi luas. Selesai.
Setelah itu, soal sampah masih jadi masalah, banyak pelanggaran regulasi, dan sampah masih banyak ke TPA, tak akan jadi beban pikiran. Mereka akan berlindung di balik alibi "akutnya persoalan sampah di Indonesia".Â
Jika kondisi terus berlangsung seperti ini, maka sebanyak apapun program, kegiatan, dan kampanye pengelolaan sampah di Indonesia, hasilnya akan sia-sia. Karena semua tak ada nilainya, kecuali untuk kepentingan sendiri, golongan, dan kelompok tertentu saja.Â
Masyarakat yang sudah makin pintar melihat itu semua. Alienasi kepentingan pengelolaan sampah dari masyarakat pada saatnya akan berhadapan dengan tembok. Dan itu sesungguhnya sudah terbukti saat ini. Mayoritas TPA di 514 kabupaten/kota se Indonesia mengalami over capacity.
Pemerintah, aktivis, akademisi, praktisi, pengusaha sampah, perusahaan penghasil sampah, asosiasi-asosiasi pengusaha sampah dan daur ulang sampah, belum berhasil mengelola sampah Indonesia. Alih-alih tidak disebut gagal. (nra)