Pada kondisi tersebut siapa yang akan dipungut EPR-nya? Apakah produsen pembuat kemasan, produsen pengguna kemasan, ataukah penjual produk yang sudah dikemas itu?Jika dibagi pungutan EPR-nya, berapa persen yang akan ditanggung produsen kemasan, pengguna kemasan dan penjual produk jadinya?
Itu baru membahas satu produk misalnya makanan atau minuman. Selanjutnya, bagaimana cara memungut EPR dari barang lain seperti barang elektronik, alat transportasi (dari sepeda hingga pesawat), pakaian, alat kesehatan, alat tukang dan lain sebagainya. Sebab, semua itu pada akhirnya berpotensi sampah.
Setelah aturan main pemungutan EPR dibuat, maka mekanisme pelaksanaan pungutan itu juga harus diatur. Yaitu bagaimana EPR itu akan diambil dari produsen.
Nilai EPR dari setiap produk harus jelas. Kemudian, bagaimana cara memungutnya dari produsen dan apa dasarnya. Apakah sejumlah yang sudah diproduksi atau sejumlah produk yang akan diproduksi?
Dan, bagaimana pemerintah mengetahui jumlah EPR yang akan dipungut atau disetor produsen itu sudah sesuai dengan yang semestinya. Lalu, kapan EPR itu akan dipungut? Siapa yang akan memungutnya? Lalu, dimasukkan ke pos anggaran yang mana dan masuk nomenklatur apa?
Kalau EPR sudah dipungut pekerjaan selanjutnya adalah kepada apa, siapa, kapan, di mana, kenapa dan bagaimana EPR itu akan disalurkan?
EPR Rawan Bancakan Korupsi
Mekanisme penyaluran ini harus tersistem betul dan ketat. Ancaman pengelolaan EPR tentu saja bancakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Sudirman pada 2015 lalu rupanya hendak menghubungkan dan menyalurkan EPR pada pengelola sampah berupa bank sampah. Sudirman ingin bank sampah yang berprinsip social engineering (perekayasa sosial).
Prinsip bank sampah social engineering ini juga sering digaungkan oleh Asrul. Sehingga bank sampah bisa menjadi agen EPR di tingkat bawah. Sayangnya bank sampah kebanyakan sudah bukan perekayasa sosial lagi melainkan berbisnis sampah.Â
Jika bank sampah tetap berbisnis sampah, maka bank sampah bisa dicoret dari calon pengelola EPR. EPR kemudian dipakai untuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Sebagai insentif pada masyarakat yang mau mengelola sampahnya.
Sekarang sudah masuk tahun 2022. Banyak orang pesimis pada pemerintah-terutama Kementerian LHK akan sesuai target memberlakukan EPR.Wajar saja keraguan itu muncul. Karena hingga saat ini memang belum ada edukasi dan sosialisasi tentang bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi EPR akan diterapkan.