Untunglah semua orang yang berseliweran di Malioboro mengenakan masker. Jika tidak, mereka akan mencium bau tak sedap lindi sampah dari tempat sampah yang isinya dikeluarkan petugas.
Sampah yang ada di tempat-tempat sampah sepanjang Jl. Malioboro itu tercampur antara sampah organik dan anorganik. Persenyawaan keduanya menyebabkan proses fermentasi yang menghasilkan metan dan lindi. Keduanya menyebabkan bau yang amat tidak sedap.
Jika diperhatikan lebih dekat, semua tempat sampah yang berbentuk persegi itu sudah tertera tanda-tanda. Ada tanda logo recycleable/daur ulang (lihat Gambar 1), tanda gambar mirip wadah minum dengan sedotan (lihat Gambar 2), dan tanda logo not recycleable/tidak daur ulang (lihat Gambar 3). Namun, isinya tetap saja bercampur.
Mengapa ini terjadi?
Jawaban pertanyaan itu akan sekaligus menjadi saran pada Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta, agar dapat mengelola sampah secara baik, benar, dan sesuai regulasi. Pola pengelolaan sampah sesuai regulasi pasti akan bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan.
Rencanakan Edukasi-Sosialisasi Masif
Langkah Pemkot Yogyakarta menyediakan tempat sampah dengan tanda dan logo seperti disebut di atas adalah langkah yang baik. Namun, langkah itu menjadi percuma dan tidak ada gunanya karena tidak ada edukasi dan sosialisasi yang masif pada semua yang ada di Malioboro sebagai calon penimbul sampah.
Karena minimnya edukasi dan sosialisasi, maka keberadaan infrastruktur yang sudah lengkap sekalipun akan percuma. Perilaku masyarakat kita belum ber-mindset memilah sampah, melainkan membuang sampah pada tempatnya. Jadi, tidak buang sampah sembarangan saja sudah bagus.
Maka sebaiknya Pemkot Yogyakarta menyiapkan rencana edukasi dan sosialisasi pada semua orang dan pihak yang ada di Malioboro. Karena mereka semua adalah calon penimbul sampah. Baik itu orang yang berjualan macam-macam makanan, minuman, atau aksesoris dan oleh-oleh lainnya.
Bentuk Pengelola Sampah Kawasan
Untuk bisa melaksanakan edukasi dan sosialisasi secara masif maka Pemkot Yogyakarta harus melibatkan masyarakat. Dengan cara membentuk pengelola sampah kawasan semacam bank sampah atau TPS 3R, tapi bank sampah dan TPS 3R yang sesuai regulasi. Yaitu, bank sampah atau TPS 3R yang berfungsi dan bertugas sebagai perekayasa sosial, mengubah perilaku semua yang ada di Malioboro dalam memperlakukan sampah.
Personel bank sampah dan TPS 3R inilah yang akan menjadi garda terdepan edukasi dan sosialisasi pengelolaan sampah di Malioboro. Edukasi dilakukan pada para penjual di Malioboro agar mengelola sampah di tempatnya.Â
Dan supaya penjual mau mengingatkan pembelinya untuk "menaruh" sampah sesuai tanda dan logo tempat sampah yang tersedia. Penjual di Malioboro akhirnya ikut serta dalam proses sosialisasi pengelolaan sampah oleh pengunjung.
Bank sampah atau TPS 3R tidak cukup hanya dengan mengedukasi penjual, karena pembeli atau pengunjung kadang masih abai meski sudah diingatkan. Maka, bank sampah atau TPS 3R Malioboro harus standby di sekitar tempat-tempat sampah. Tujuannya, mengarahkan pengunjung agar melihat dulu logo atau tanda tempat sampah sebelum "menaruh" sampahnya.
Edukasi perlu dilakukan secara berkala, misalnya setiap satu atau dua bulan sekali. Jika para penjual tidak bisa dikumpulkan untuk ikut kegiatan edukasi (karena tidak bisa meninggalkan dagangannya), mereka bisa dibuatkan sistem edukasi tertulis. Serahkan edukasi tertulis itu para penjual.
Sementara sosialisasi pemilahan sampah pada pengunjung Malioboro tidak boleh berhenti. Harus berjalan terus sepanjang Yogyakarta dan Malioboro masih dikunjungi orang.
Dirikan PKPS Kota Yogyakarta
Bank sampah atau TPS 3R yang sesuai regulasi akan melaksanakan program dan kegiatannya secara sosial. Tapi bukan sosial yang sama sekali tidak dapat apa-apa dari pekerjaan edukasi dan sosialisasi yang dijalankannya itu. Sebab, mereka salah satu kunci keberhasilan pengelolaan sampah di Malioboro dan sekitarnya itu.
Kunci keberhasilan selanjutnya adalah mendirikan Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS). Koperasi model multi pihak inilah yang akan mengelola sampah yang sudah dipilah atas keberhasilan edukasi dan sosialisasi yang dilakukan.Â
Maka bank sampah atau TPS 3R tadi berhak mendapatkan insentif atas pekerjaannya dari hasil bisnis pengelolaan sampah yang dilakukan PKPS. Di mana orang-orang bank sampah atau TPS 3R di situ juga merupakan anggota PKPS.
Jadi orang-orang bank sampah atau TPS 3R akan mendapatkan minimal 2 keuntungan, yaitu insentif dari hasil bisnis pengelolaan sampah oleh PKPS dan yang kedua saat PKPS membagikan sisa hasil usahanya (SHU).
Potensi keuntungan lain jika bank sampah dan TPS 3R bergerak secara sosial adalah bisa masuknya insentif dari perusahaan yang sampahnya banyak ditemui di Malioboro, dana-dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan atau bantuan sosial lain yang diarahkan untuk pengelolaan sampah.Â
Belum lagi ada janji pemerintah melalu Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) pasal 21 huruf a. Yaitu memberikan insentif pada setiap orang atau badan yang melakukan pengurangan sampah.
Maka, jangan pernah khawatir bank sampah atau TPS 3R yang berjalan sesuai regulasi kekurangan akan duit sampai-sampai ikut jual beli sampah. Itu ketakutan yang sama sekali tidak perlu.
Demikian pula dengan Pemkot Yogyakarta yang tidak perlu bingung dari mana akan mendapatkan uang atau menganggarkan APBD untuk mengelola dan membiayai operasional bank sampah atau TPS 3R tadi. Karena dengan sistem sebagaimana disampaikan panjang lebar tadi, pengelolaan sampah di Malioboro dan sekitarnya akan membiayai dirinya sendiri 100 persen.
Sampah Malioboro Jangan Hanya Dipindah
Saat ini dengan banyaknya tempat sampah yang ada, kawasan Malioboro memang cukup bersih. Tapi bersihnya Malioboro ini semu belaka.
Malioboro memang bersih, karena sampahnya dipindahkan ke tempat lain. Dalam hal ini kemungkinan besar ke TPA Piyungan di Kabupaten Bantul. Salah satu dari nyaris semua TPA di Indonesia yang sudah over capacity. Di mana, TPA Piyungan sudah sering dipublikasikan banyak menimbulkan persoalan sosial, lingkungan, dan kesehatan.
Sejauh ini Yogyakarta memang masih istimewa. Tapi masalah sampah membayangi Yogyakarta dengan status di atas istimewa alias waspada. Jangan sampai tagline "Yogyakarta Istimewa" berubah menjadi "Yogyakarta Waspada" gara-gara sampah yang tidak terkelola. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H