Pada 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengadakan penelitian tentang indeks kepedulian masyarakat pada sampah. Secara nasional hasilnya 0,72 dari skala 0-10.
Ini berarti, dari 10 orang Indonesia hanya ada 3 orang peduli pada persoalan sampah. Peduli tidak berarti melakukan action terkait sampah. Peduli yang dimaksud ya peduli saja. Manifestasi kepedulian model begini pada umumnya ditunjukkan di media sosial dengan kata atau ungkapan lain yang dapat mewakili kepedulian dan keprihatinan.
Nyata bukti kepedulian dalam indeks BPS itu memang tidak berdampak apapun. Bersamaan dengan BPS menyurvei indeks kepedulian terhadap sampah, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (B3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan proyeksi volume sampah rumah tangga dan sejenis sampah rumah tangga pada 2018 mencapai 66,5 juta ton. Pada 2021, volume sampah nasional tak berkurang. Justru bertambah menjadi 67,8 juta ton.
Target pengurangan sampah 15 persen yang dicanangkan Kementerian LHK tidak tercapai. Parahnya lagi, target Gerakan Indonesia Bersih 2020 juga gagal. Target pencapaian Gerakan Indonesia Bersih diundur ke 2025. Indeks kepedulian pada sampah benar-benar tak ada manfaatnya.
Tapi mari ambil positifnya. Meski kecil indeksnya, kepedulian pada sampah tetap ada. Jangan remehkan indeks kecil yang menunjukkan hanya 28 persen masyarakat Indonesia yang peduli pada sampah. Karena justru banyak hal-hal kecil yang menghasilkan keberhasilan besar.
Mari berharap perubahan itu datang dari generasi muda, Milenials. Kita bisa melihat kepedulian Milenial pada sampah sudah ada. Mungkin 28 persen masyarakat Indonesia yang peduli sampah itu sebagian besarnya adalah anak muda. Terlihat dari bagaimana mereka ikut mendukung kampanye pengurangan sampah dengan cara masing-masing.
Milenial terlihat sering terlibat dalam upaya pengurangan sampah dengan pakai tumbler, tas berkali pakai hingga ikut dalam kegiatan-kegiatan massal bebersihan lingkungan yang diadakan komunitas atau pemerintah. Kepedulian Milenial ini bisa diangkat lebih berkualitas lagi dalam upaya pengelolaan sampah.
Milenial bisa urus sampah tanpa harus berkotor-kotor seperti yang sudah sering mereka lakukan. Yaitu dengan cara membangun dan mendukung sistem pengelolaan sampah. Mereka bisa didorong membangun ekosistem pengelolaan sampah yang menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan dari hulu ke hilir.
Milenial bisa urus sampah tanpa kotor dengan sistem yang membuat sumber sampah sudah memilah dan memilih sampah. Sehingga, sampah yang kemudian mereka urus sudah berupa bahan baku daur ulang. Milenial bisa terlibat dalam proses edukasi dan sosialisasi pengelolaan sampah hingga bisnis daur ulangnya.
Dengan sistem itu Milenial tidak akan lagi merasa jera mengurus sampah. Selama ini, selain ikut kegiatan bebersihan dan kampanye pengurangan sampah, Milenial biasanya terlibat mengurus sampah karena tugas dari sekolah atau kampusnya. Mereka "terpaksa" terjun dan ikut kegiatan bank sampah atau TPS dan TPS3R untuk memilah sampah yang tercampur.
Memang saat terlibat dalam tugas "terpaksa" itu mereka tampak bahagia saat difoto ketika memilah sampah. Tapi yakinlah, itu kebahagiaan semu, hanya di depan kamera. Sepulang atau sesudah melaksanakan tugas dari sekolah atau kampusnya itu, mereka pasti kapok (jera). Hampir bisa dipastikan, jika bisa memilih mereka tak akan mau urus sampah lagi kalau tetap begitu caranya.
Oleh karena itu keterlibatan Milenial dalam urusan sampah harus diubah secara fundamental. Sebagaimana pola pengelolaan sampah yang sesuai regulasi, Milenial adalah grup demografi yang bisa memberikan sumbangan tenaga, pikiran, dan waktu yang signifikan.
Pengelolaan sampah yang merupakan bisnis unlimited adalah jutaan peluang yang bisa diisi Milenial. Sekali lagi tanpa harus berkotor-kotor karena sistem tidak akan lagi membuat sampah bercampur. Karena sejak dari sumbernya, sampah sudah terpilah dan terpilih dengan baik.
Satu pengalaman dari pengelola TPS 3R di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengelola ini melayani 450 rumah tangga sebagai sumber sampah. Sampah yang diangkut dari rumah tangga tercampur itu membutuhkan waktu hingga 8 jam untuk dipilah jenis sampah yang bisa didaur ulang. Padahal, jika pemilahan sampah itu dilakukan di sumbernya, paling lama butuh waktu 10 menit saja.
Belum selesai memilah sampah tercampur yang diangkut pengelola TPS 3R itu, sampah baru sudah datang lagi dari shift selanjutnya. Hasilnya, sampah yang tidak sempat terpilah karena kedatangan sampah baru itu terpaksa harus cepat-cepat diangkut ke TPA. Ini berarti sungguh banyak sumber daya ekonomi yang terpaksa dibuang ke TPA.
Nah, salah satu solusi dari kondisi pemilahan sampah itu adalah keterlibatan Milenial. Yaitu dengan menjadi tim edukasi dan sosialisasi secara terus-menerus di masyarakat. Sampai masyarakat memiliki kebiasaan memilah sampah sesuai jenisnya. Dan untuk pekerjaan itu, Milenial tentu pantas menerima penghasilan.
Insentif Pengurangan Sampah Untuk Milenial
Dari mana Milenial bisa mendapat penghasilan itu? Tentu saja dari nilai sampah yang terpilah sesuai jenisnya. Sudah jelas sampah terpilah akan menciptakan nilai lebih karena akan menjadi material daur ulang. Sebagai bahan baku daur ulang, sampah tentu memiliki nilai ekonomis. Milenial bisa mendapatkan bagian dari nilai ekonomi itu.
Menjadi bagian dari pengelolaan sampah yang benar sesuai regulasi, berarti sudah membuat Milenial jadi bagian penting upaya pengurangan sampah. Di mana, upaya pengurangan sampah berdasarkan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), pasal 21 huruf a, mereka juga berhak mendapatkan insentif dari pemerintah.
Insentif atas upaya pengurangan sampah semacam ini memang tampak utopia atau khayalan. Karena hingga saat ini belum pernah dan belum pernah ada yang mendapatkannya. Namun, tentu saja ini bukan halusinasi yang tidak ada dasarnya. Sebab, sudah jelas-jelas diatur dalam regulasi. Hanya sampai saat ini belum ada yang mengaplikasikannya, sehingga tidak pernah ada juga yang bisa menikmati insentif itu.
Tidak mungkin bisa diperoleh insentif pengurangan sampah jika syarat dan ketentuannya tidak dilaksanakan. Yakni, volume pengurangan sampah yang benar-benar signifikan. Banyak pihak berharap insentif ini tanpa sadar diri bahwa selama ini mereka tidak berhasil memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku itu. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H