Sampah adalah timbulan pokok setiap manusia. Setara dengan kebutuhan manusia akan makan dan minum. Setiap manusia menimbulkan sampah, tidak satu pun manusia tidak menimbulkan sampah.Â
Kata "menimbulkan" sampah pada manusia lebih saya pilih daripada kata "menghasilkan atau memproduksi" sampah. Karena setiap kata menyebabkan konsekuensi dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Karena itulah kemudian regulasi mengatur hak dan kewajiban serta tanggung jawab semua yang terkait sampah.
Pemerintah sampai saat ini terus berupaya agar sampah tidak banyak masuk ke TPA. Dibuatlah regulasi terkait sampah mulai dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah sampai yang terakhir terbit Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Tentang Pengelolaan Sampah Pada Bank Sampah.
Bank sampah adalah lembaga yang diharapkan bisa meningkatkan collecting rate sampah sebagaimana  Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (TPS3R) yang dilembagakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sayangnya, dua lembaga yang sudah sangat terkenal di persampahan itu tidak signifikan. Buktinya, KLHK melaporkan volume sampah nasional masih 67,8 juta ton. Nyaris sama dengan tahun-tahun sebelumnya.
Apa yang harus diperbaiki dari kondisi ini?
Harus dipahami dulu, apa fungsi dan tugas bank sampah dan TPS3R. Pemahaman ini harus fundamental dengan dasar yang fundamental pula, UUPS. Dengan memahami dua lembaga itu diharapkan tidak ada lagi bias tugas dan fungsinya.Â
Saya mendapati tugas dan fungsi bank sampah dan (mestinya juga) TPS3R sebagai social engineering. Sebagaimana disampaikan oleh Direktur Pengelolaan Sampah KLHK, R. Sudirman pada saat Rapat Koordinasi Nasional Bank Sampah di Makasar, 16-17 September 2015 dalam artikel yang berjudul Integrasi Bank Sampah Dalam Penerapan Extended Producer Responsibility (EPR).Â
Dikutip dari artikel tersebut: "Bank sampah adalah salah satu strategi penerapan 3R dalam pengelolaan sampah pada sumbernya di tingkat masyarakat. Pelaksanaan bank sampah pada prinsipnya adalah satu rekayasa sosial (social engineering) untuk mengajak masyarakat memilah sampah. Melalui bank sampah, ditemukan satu solusi inovatif untuk 'memaksa' masyarakat memilah sampah. Dengan menyamakan sampah serupa uang atau barang berharga yang dapat ditabung, masyarakat akhirnya terdidik untuk menghargai sampah sesuai jenis dan nilainya sehingga mereka mau memilah sampah."
Di dalam buku berjudul Bank Sampah: Masalah dan Solusi, Asrul Hoesein juga menegaskan bank sampah sebagai social engineering. Yaitu, kepanjangan tangan tangan pemerintah untuk mengedukasi dan bersosialisasi dengan masyarakat untuk mengubah perilaku dalam pengelolaan sampah.
Meski ide menjadikan bank sampah sebagai social engineering ini sangat bagus dan sesuai UUPS, kondisi di lapangan nyatanya berbeda dengan yang diharapkan. Bank sampah menjadi semacam pelapak, pengepul, dan perosok. Terutama di tingkat pemukiman, bank sampah bersaing dengan pemulung yang mestinya menjadi mitra. Di tingkat yang sama bank sampah bersaing dengan TPS3R. Sehingga di banyak tempat, jika sudah ada bank sampah pasti tidak ada TPS3R.
Bank sampah yang ada, tidak berjalan standard. Satu bank sampah dengan bank sampah lainnya berbeda-beda. Karena memang tidak ada standardisasi oleh pemerintah atau asosiasi yang menaunginya. Sehingga ada bank sampah yang bersemangat di sisi ekonominya, ada yang semangat di sisi ekologinya, ada pula yang hanya semangat untuk mendapatkan penilaian lomba-lomba kebersihan saja. Semangat edukasi dan sosialisasi ada, tapi kecil. Buktinya meskipun ada bank sampah atau TPS3R, volume sampah ke TPA masih tinggi. Ini terjadi di seluruh Indonesia.