Di bagian hulu, proses pembuatan kertas jelas tidak lebih ramah lingkungan daripada plastik dan EPS. Seperti diketahui, pembuatan kertas membutuhkan bahan baku dari kayu yang melalui proses bertahap akhirnya jadi kertas.
Kalau kembali ke isu deforestasi, kertas sebagai kemasan, wadah atau bungkus jelas tidak relevan. Semakin banyak kertas berarti semakin banyak pohon ditebang untuk bahan kertas.
Apalagi di hilir atau pascapakai kertas dibiarkan di alam agar terurai secara organik. Ini berarti harus ada kertas baru untuk diproduksi terus menerus.
Selain membutuhkan pohon dan kayu sebagai bahan dasar, proses pembuatan kertas juga diketahui boros. Energi, air, dan bahan kimia yang dipakai jauh lebih banyak daripada proses pembuatan plastik dan EPS.
Maka jangan heran kalau harga satuan atau partai kemasan, wadah atau bungkus berbahan kertas lebih mahal. Ini termasuk pada wacana tidak ramah kantong.
Kesimpulannya, frasa "ramah lingkungan" tidak bisa dinilai dari satu sisi saja. Di hilir saja atau di hulu saja. Ketika pascapakai atau prapakai saja.
Ramah lingkungan harus komprehensif. Dari hulu hingga hilir, dari proses pembuatan hingga selesai dipakai.
Namun kertas, plastik maupun EPS bisa jadi produk yang ramah lingkungan. Jika memenuhi prinsip daur ulang.
Produk apapun jika didaur ulang berarti ramah lingkungan. Sebaliknya, kulit pisang pun kalau dibuang sembarangan bisa jadi tidak ramah lingkungan. (nra)