Belakangan orang-orang sedang berkampanye ramah lingkungan. Bukan hanya untuk menyelamatkan lingkungan. Tapi juga dalam rangka menyelamatkan bisnis.
Ya bisnis produk kemasan, wadah atau bungkus makanan dan minuman. Produsen yang menggunakan kertas sebagai bahan dasarnya mengklaim diri sebagai yang paling ramah lingkungan.
Plastik dan expanded polystyrene (EPS) yang dikenal dengan nama styrofoam dijatuhkan dengan klaim sebaliknya, tidak ramah lingkungan. Pembentukan opini di masyarakat dimulai.
Padahal...
Kurang dari 5 tahun lalu kita ingin menyelamatkan lingkungan dengan mengurangi penggunaan kertas. Coba kita ingat-ingat lagi.
Kurang dari 5 tahun yang lalu para aktivis, pemerhati, dan pegiat lingkungan mengkampanyekan anti deforestasi. Di saat itu mereka melawan penggundulan hutan yang kayu-kayu di antaranya dijadikan bahan baku pembuatan kertas.
Lalu sekarang, berubah 360. Menyatakan penggunaan kertas dalam penggunaan wadah sebagai upaya menyelamatkan lingkungan. Kertas sebagai wadah dikampanyekan dinyatakan ramah lingkungan.
Tentu kita harus berpikir dan memahami ulang frasa "ramah lingkungan". Supaya tak serampangan mengklaim suatu benda/barang ramah lingkungan atau kejam lingkungan.
Memahami Frasa "Ramah Lingkungan"
Perkembangan isu ramah lingkungan berawal dari makin banyaknya sampah. Kemudian dalam berbagai aturan dimunculkan frasa "ramah lingkungan" sebagai solusi. Sementara definisi yang jelas dan disepakati semua pihak soal ramah lingkungan masih sangat relatif.
Di hilir kertas memang unggul daripada plastik dan EPS. Ini di sisi pascapakai. Plastik dan EPS di hilir dan pascapakai jelas kalah unggul.
Tapi dalam pengemasan, wadah dan pembungkusan kertas bukanlah satu-satunya bahan baku. Pada banyak produk kemasan, wadah dan bungkus ditemukan lapisan plastik untuk menjaga ketahanan. Karena kertas saja tentu rusak ketika bersentuhan dengan air, minyak atau benda cair lainnya.