Belakangan seminar online atau webinar atau meeting online tentang lingkungan banyak digelar. Terutama soal sampah.
Banyak hal tidak penting dibahas dalam berbagai seminar-seminar itu. Yang penting hanya sedikit saja. Salah satunya seminar tentang tanggung jawab produsen terhadap sisa produknya (sampah). Bahasa kerennya Etended Producer Responsibility (EPR).
Berbagai seminar online soal tanggung jawab produsen terhadap sampahnya - jika kita perhatikan- sungguh hipokrit. Kondisi yang seharusnya menyadarkan kita bahwa upaya produsen untuk mengelak dari tanggung jawabnya terhadap sampahnya dilakukan secara terang-terangan.
Alasannya bermacam-macam. Ada yang menyebut belum ada sistem untuk infrastruktur pertanggungjawabannya. Yang lain bilang karena ada sisa produk yang layak daur ulang (LDU) dan bisa daur ulang (BDU).
Yang lain lagi mengatakan sisa produknya bisa terurai oleh alam. Ada yang beralasan sumber daya manusia (SDM) belum siap. Bahkan ada yang beralibi sisa produknya ramah lingkungan.
Di mana semua alasan itu sesungguhnya omong kosong yang disampaikan terang-terangan pada publik. Larangan keras untuk merekam seminar-seminar online itu menambah kualitas omong kosongnya.
Masyarakat Kambing Hitam Sampah
Semua alasan itu hanya dipakai para produsen untuk menghindar dari tanggung jawabnya. Yakni, sebagai entitas Yang paling hulu menyebabkan sampah.
Kita semua tahu bersama bahwa selama ini masalah sampah selalu mengkambinghitamkan masyarakat. Manusia Indonesia dijadikan faktor utama masalah sampah dengan stigma kurangnya kesadaran pada kondisi lingkungan.
Padahal, jika ditarik ke hulu - sebenarnya sampah yang ditimbulkan masyarakat adalah sisa konsumsi. Baik sisa konsumsi produk berkemasan maupun produk itu sendiri.
Sebagai contoh. Sisa konsumsi mie instan atau snack atau air mineral atau kopi sachet dan lain-lain. Kalau masyarakat tidak mengkonsumsi semua itu, apakah akan ada sampah?
Tentu tidak.
Itulah alasan mengapa produsen semua produk harus bertanggung jawab atas sisa produknya. Baik yang bisa didaur ulang, tidak bisa didaur ulang, maupun yang ramah lingkungan dan yang tidak ramah lingkungan.
Semua produsen harus bertanggung jawab. Termasuk produsen yang menyatakan produknya bisa terurai di alam dalam waktu tertentu.
Tidak ada yang boleh lari dari tanggung jawab sisa produk. Dan negara tidak boleh kalah dengan para produsen, kendati alasan mereka untuk mengelak dari kewajiban sangat masuk akal.
Setiap alasan yang disampaikan oleh produsen sesungguhnya ada solusinya semua. Kalau mereka punya itikad baik untuk bertanggungjawab pada sisa produknya.
Jika ketiadaan sistem yang jadi alasan, maka sistem itu bisa dibuat. Produsen mampu membuat sistem pemasaran yang luas, masak sih tidak bisa membuat sistem tanggung jawab sisa produk yang luas juga !!??
Kalau kualitas SDM alasannya, masak sih produsen tidak bisa membangun pola edukasi yang mantap !!??
Semua solusi bisa dibuat dan dibangun jika ada kemauan.
Negara tidak boleh kalah dan menerima alasan-alasan produsen secara lugu. Kecuali di belakang penerimaan alasan itu memang ada "sesuatunya" sebagai kompensasi.
Warga Negara Membuat Solusi Sampah
Suatu saat kita eh saya akan dianggap terlalu mudah menghujat pemerintah dan produsen karena tidak tegas dan lari dari tanggung jawab. Dianggap hanya suka mengkritik dan menyalahkan tanpa solusi.
Namun, bagi kita yang percaya pada pernyataan "negara tidak boleh kalah dengan produsen sampah", maka ada yang layak kita perjuangkan - sebagai warga negara.
Yaitu membangun sistem, infrastruktur dan SDM untuk menuntut produsen sampah bertanggung jawab.
Untuk membuktikan kita tidak mau negara kalah, lingkungan harus terjaga dan masyarakat bukan penyebab sampah.
Dan untuk membutikan juga bahwa mereka yang tidak melaksanakan EPR akan kehilangan 130 juta orang konsumennya. Alih-alih 260 juta potensi pasar di Indonesia. (nra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H