Mohon tunggu...
Nara
Nara Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pendiam dan lebih suka berkomunikasi lewat tulisan. Instruktur di PPPPTK bidang otomotif dan elektronika Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lukman Hakim, Sekolah Dolan, dan Impian Besarnya

20 Januari 2016   10:49 Diperbarui: 20 Januari 2016   13:48 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto dok. Lukman Hakim | Bersama anak-anak PAUD Kenanga"][/caption]

Kalem, begitulah tanggapan saya saat pertama kali mengenal sosoknya, 6 tahun lalu. Saat itu saya sedang mencari komunitas homeschooling, sebagai persiapan untuk memberikan pendidikan secara mandiri pada calon anak saya. Biarpun terlihat kalem, jangan ditanya saat dia sudah berada bersama anak-anak. Dia bisa berubah menjadi "cerewet", lincah dan sangat ceria saat bersama anak-anak. Begitulah dia, sangat menyukai dunia anak-anak dan selalu berpikir untuk memberikan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan bagi anak-anak. 

Lukman hakim, berlatar pendidikan teknik arsitektur. Memiliki pekerjaan mapan di Jakarta. Setahu saya, arsitek itu bayarannya mahal lho. Tapi dia memilih meninggalkan pekerjaannya, kembali ke kota kelahirannya di Malang. Nggak sreg, tidak nyaman. Itulah alasan yang dikemukakan pada saya, saat saya menanyakan asalannya meninggalkan pekerjaan itu. 

Dia merasa galau, mengamati dunia pendidikan, mengamati anak-anak. Anak-anak yang di sekolahnya merasa tak nyaman, anak-anak yang setiap hari duduk manis, dijejali beraneka macam hapalan, diberi aneka tugas rumah. Tak ada lagi waktu untuk bermain. Menurutnya, pendidikan tak seharusnya seperti itu. Anak-anak harus dibuat senang dulu ke sekolah, kalau sudah senang barulah ilmu pengetahuan di berikan. Cara memberikannyapun tidak harus dengan menyuruh anak-anak duduk diam di kelas, bisa dengan beragam aktivitas di luar ruangan.

Dia memilih untuk mendidik sendiri anaknya, menjalankan homeschooling bagi buah hatinya. Bukan perkara yang mudah, karena cibiran dan tentangan bukan hanya dari masyarakat sekitarnya, tetapi juga dari keluarga besarnya. Kakek nenek mana sih yang ketika ditanya "cucunya sudah kelas berapa?" akan mengatakan "cucuku tidak sekolah". Saat itu, sekolah di rumah adalah sesuatu yang asing. Itu sama saja dengan tidak sekolah. Tidak sekolah artinya akan menjadi anak bodoh. Tidak menyekolahkan anak berarti orang tua yang tidak bertanggungjawab.

Cibiran dan tentangan itu tidak pernah mematahkan semangatnya. Justru menjadi pemicu untuk lebih banyak berkarya, agar dapat membuktikan, bahwa walau putranya tidak menempuh pendidikan formal, putranya akan tetap menjadi anak terpelajar. Akan tetap menjadi orang sukses di masa depannya.

Bersama beberapa orang yang memiliki kegalauan yang sama, terbentuklah komunitas DOLAN pada tahun 2007. Komunitas ini dibentuk untuk memberikan pendampingan bagi anak-anak yang merasa tidak nyaman di sekolah karena beberapa hal, yaitu sistem yang berlaku di sekolah, tidak nyaman dengan guru, dan bahkan anak-anak korban bullying. Namun karena kesibukan para personelnya, satu persatu mereka meninggalkan komunitas itu, tinggallah Lukman saja yang bertahan. 

Lukman pun lalu mengganti nama komunitasnya dengan nama SEKOLAH DOLAN. Dolan berasal dari bahasa jawa, yang artinya main. Ya, sekolah dolan. Dolan yang tidak sekedar bermain, dolan yang bisa menambah wawasan. Lewat dolan, anak-anak bisa memperoleh banyak pengetahuan. Dolan ke gunung, pantai, alun-alun, museum, puskesmas, perpustakaan. Lewat sekolah dolan, Lukman ingin menyampaikan pesan pada anak-anak, bahwa ilmu itu ada di mana-mana, bahwa ada banyak sumber belajar, bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar, bahwa anak-anak dapat mencari ilmu sendiri, dengan kreativitas dan arahan orang dewasa di sekitarnya.

[caption caption="Foto dok Lukman Hakim | Anak-anak belajar banyak hal di alun-alun Malang"]

[/caption]

Di mana tempat berkumpulnya anak-anak sekolah dolan? Saat awal berdiri, kumpul dan belajarnya di dalam mobil box, lalu pindah ke garasi, dan kini menempati sebuah rumah di daerah Tidar, Malang. Kalau tempat belajarnya sendiri sih, bisa di mana saja. Terminal, mall, perpustakaan, taman, rumah. 

[caption caption="Foto dok Lukman Hakim|Usai jalan-jalan di mall, anak-anak harus membuat laporan"]

[/caption]

Kini, sekolah dolan memiliki lebih dari seratus anak binaan. Dengan tenaga tutor sebanyak 21 orang. Metode pembinaannya sendiri bermacam-macam, tergantung kesepakatan antara pihak sekolah dolan dengan anak dan orang tuanya. 

  1. Community visit, anak-anak berkumpul di basecampe sekolah dolan, di sana mereka belajar bersama-sama
  2. Home visit, pendampingan di rumah. Dilakukan bagi orang tua yang mengajar anaknya secara mandiri, ataupun mendatangkan tutor dari sekolah dolan ke rumah
  3. Distance learning, diperuntukkan bagi anak yang posisinya ada di luar kota, bahkan ada juga yang di luar negeri lho

Untuk mendukung semua kegiatan ini, tentunya diperlukan dana yang tidak sedikit. Namun, Lukman tidak mau memberatkan orang tua dari anak-anak yang didampinginya. Sehingga untuk menopang semua itu, dia juga membuat unit-unit usaha, yaitu budi daya jamur tiram dan beternak kambing.

[caption caption="Foto dok Lukman Hakim | Kambing-kambing inilah salah satu penopang pendanaan di sekolah dolan"]

[/caption]

Homeschooling bukan berarti bisa seenaknya saja dalam belajar. Lukman memiliki aturan yang tegas, yang selalu disampaikan saat ada yang datang dan ingin bergabung dengan sekolah dolan. Harus ada jadwal yang disepakati bersama, ada pemantauan kegiatan dan keterlaksanaan jadwal. Bagi yang tidak mau memenuhi peraturan yang ditetapkan, maka Lukman tidak segan untuk mencoretnya dari daftar anak binaan. 

Untuk ujian kesetaraanpun, Lukman tak mau menerima anak yang tidak memiliki rekam jejak dalam belajarnya. Sering ada yang datang, ingin ikut ujian kesetaraan, tapi tak bisa menunjukkan bukti-bukti fisik kegiatan pembelajaran, maka Lukman pun menolaknya. Ada yang berusaha memberikan sejumlah uang, agak anaknya dapat ikut ujian, namun Lukman tetap teguh memegang prinsipnya. Bukan uang yang dia cari, bukan hanya selembar ijazah yang diburu, tapi proses yang dijalani oleh anak-anak, hingga mereka memperoleh pengetahuan.

[caption caption="Foto dok Lukman Hakim | Suasana Ujian di sekolah dolan"]

[/caption]

Ada banyak suka duka dalam mengelola sekolah dolan. Memperjuangkan supaya anak-anak yang menempuh pendidikan nonformal ini bisa memperoleh pengakuan dari pemerintah, memperoleh pengakuan setara dengan anak-anak yang menempuh pendidikan di jalur formal. Dicurangi pemerintah pun pernah juga. Jadi, ceritanya, komunitasnya pernah terpilih sebagai komunitas inovatif dan berhak untuk memperoleh dana bantuan sekian juta. Tapi ternyata, saat diterima jumlahnya jauh lebih kecil dibanding nominal yang seharusnya, dengan alasan ada potongan ini itu.

Tak mau kalah dengan presidennya, kini Lukman juga punya program blusukan. Dia "berkelana" ke daerah-daerah terpencil, memberikan pendampingan dan kampanye sekolah ramah anak. Walaupun pendamping anak-anak homeschooling, dia tidak lantas anti terhadap sekolah formal. Dia siap bersinergi dengan sekolah formal, untuk menciptakan lingkungan sekolah yang ramah anak.

[caption caption="Foto dok Lukman Hakim | Blusukan kampanye sekolah ramah anak"]

[/caption]

Pendampingan anak homeschooling sudah, membesarkan komunitas sekolah dolan juga sudah. Apa lagi yang diinginkan oleh Lukman? Ternyata keinginannya masih banyak, di antaranya:

  1. Ingin memiliki camp bagi anak-anak berjiwa enterpreneur yang memiliki jiwa kepemimpinan bagus, pandai berkomunikasi, berakhlak mulia dan senang berbagi
  2. Ingin selalu berbagi, baik melalui workshop ataupun blusukan ke berbagai tempat terpencil
  3. Ingin mengembangkan lembaga yang dapat memotivasi orang tua dan tokoh masyarakat supaya berperan dalam pendidikan anak.

Impian besar. Keinginan yang mulia. Semoga dimudahkan untuk mewujudkannya. Semoga tak ada lagi yang nyinyir kala dia bercerita kisah hidup dan impiannya. Semoga tak ada lagi lembaga/pribadi yang memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari keberadaan sekolah dolan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun