Dokter rupanya tahu dari wajah saya bahwa saya sedang menahan rasa sakit. Dia bilang, mungkin bayi dalam kandungan saya lagi muter, berusaha untuk telentang. Setelah itu kembali para lelaki itu asyik ngobrol. Saya colak colek suami sebagai tanda untuk segera berpamitan. Tapi rupanya dia tak paham, dikiranya saya mencolek minta supaya mengelus-elus pinggang dan punggung saya. Untunglah ada asisten dokter masuk, saya manfaatkan waktu itu untuk berpamitan.
Rasa sakit makin sering datang, saya dan suami memutuskan untuk langsung menuju poliklinik saja. Biar cepat kami putuskan untuk naik taksi. Kami menunggu taksi yang sudah kami pesan di pinggir jalan, depan tempat praktek dokter.
Menunggunya terasa lama sekali, ditengah rasa sakit yang menghampiri saya. Saya cari tempat duduk. Tapi dudukpun terasa sakit. Berdiri juga terasa sakit. Enak kalau tiduran barangkali.
Akhirnya taksi datang. Segera masuk dan duduk menggelosor di kursi belakang. Eh suami malah tertawa melihat itu. Saya pikir anak saya akan segera lahir. Saya berharap, jangan sampai melahirkan di dalam taksi. Biar suami dan sopir taksi tak bingung gimana harus menolong saya.
Alhamdulillah sampai juga di poliklinik. Segera buka pintu dan berlari menuju ruangn bidan. Suami saya malah ketawa lihat saya bisa berlari gesit dengan perut besar, bu bidan pun senyum-senyum lihat saya berlari menuju ruangannya. Saya serahkan surat dari dokter dan saya bilang kalau saya sudah mulai merasakan sakit terus.
Bu bidan membaca surat dari dokter, mengangguk-angguk. Lalu saya pun diperiksa. Rupanya sudah mbuka 4. Ah masih 6 lagi, pikir saya. Sambil menunggu kamar saya disipakan, saya disuruh jalan-jalan dulu di kompleks poliklinik. Tapi saya sudah malas jalan-jalan. Gimana bisa jalan dengan tenang kalau sebentar-sebentar rasa sakitnya datang.
Saya memilih berbaring saja di dipan. Mengelus-elus perut. Sementara suami sibuk telpon teman-temannya, kasih laporan bahwa anaknya sudah mau lahir dan istrinya sedang kesakitan. Saya jengkel, sempat-sempatnya telpon mereka, bukannya mijitin saya. Akhirnya dengan setengah membentak, saya suruh suami mematikan telponnya. Hihi........ maaf ya suamiku, jadi galak karena memang sakitnya nggak ketulungan.
Rasa sakit semakin sering datang, sampai saya harus sering teriak untuk menahan rasa sakitnya. Suami mengelus-elus punggung saya, sambil menyuruh saya mengatur nafas. Yah, nafas saya memang tersengal-sengal.
Lalu saya rasakan bahwa saya mau kencing. Saya ingat penjelasan bidan dulu, bahwa itu tandanya air ketubannya mau keluar. Saya suruh suami panggil bu bidan. Asisten bidan kembali dan menyuruh saya menahan sebentar. tapi mana tahan? Akhirnya air ketuban saya keluar dikamar. Setelah itu saya disuruh pindah ke ruang bersalin. Saya kuatkan diri dan berlari menuju kamar bersalin yang jaraknya sekitar 20 meter. Asisten bidan ketawa, dan bilang "wah mbaknya masih bisa lari".
Sampai ruang persalinan, segera berbaring didipan. Bidan menginstruksikan saya untuk mengejan jika rasa sakitnya datang. Suami saya hendak keluar, tapi oleh bidan dilarang. Disuruh menemani dan membujuk saya untuk bisa mengatur nafas. Dibalik rasa sakit, dalam hati saya ketawa. Rasain, nggak boleh keluar. Suami saya takut lihat darah, dan sekarang harus nungguin di ruang persalinan yang pastinya akan ada darah disitu.
Tiga kali mengejan, akhirnya bayi saya keluar. Perempuan. Saya lihat suami saya wajahnya pucat, kasihan juga melihatnya. Padahal bisa jadi wajah saya pun pucat. Alhamdulillah persalinan kedua telah terlewat.