Akhir Oktober 2011, saya mendapat kabar bahwa keponakan saya di wisuda. Keponakan saya ini berdomisili di Sumatra. Anak dari kakak suami saya. Dia menikah muda, seorang ibu rumah tangga dengan satu anak. Saya tak pernah tahu dia kuliah. Dan waktu mendapat kabar dia dan keluarganya sedang berada di Jakarta untuk acara wisudanya, saya ikut senang.
Pagi ini, saya di telpon ponakan saya itu, minta tolong dicarikan buku-buku tentang komputer untuk tingkat dasar, karena dia mau belajar. Saya tawarkan buku tentang jaringan atau pemrograman atau yang umum saja. Dia bilang yang dasar saja dulu, buku tentang bagaimana mengoperasikan komputer, karena selama ini dia belum pernah menggunakan komputer.
Saya jadi heran, bukannya baru dua bulan kemarin dia wisuda, tapi kok bilangnya nggak bisa mengoperasikan komputer. Rasa ingin tahu saya, membuat saya menginterogasinya via telpon.
Dia lalu bercerita bahwa dia memang baru saja wisuda. Mendapatkan gelar sarjana dari sebuah STIE yang berlokasi di Cikarang. Jurusannya adalah Teknologi Informasi. Tapi dia bilang nggak ngerti apa-apa tentang komputer. Kok bisa?
Emang selama ini kuliahnya gimana? Tidak ada kiriman buku/modul dari Jakarta? Ujiannya gimana? Pertanyaan saya makin banyak. Tadinya saya pikir dia kuliah jarak jauh, semacam sistemnya Universitas Terbuka. Modul-modul ajar dikirim ke rumah, tapi untuk ujian tetap di kampus.
Jawaban yang diberikannya makin membuat saya tercengang. "Nggak pernah kuliah, tante. Tahu-tahu dikirimi undangan buat wisuda ke Jakarta". Dia bilang kemarin banyak juga teman yang dari daerahnya yang sama-sama wisuda di tempat yang sama. Dia hanya membayar sekian juta dan sudah langsung dapat gelar sarjana.
Kini, dia merasa terbeban dengan gelar itu dan ingin belajar. Maka dia meminta bantuan saya untuk mencarikan buku-buku tentang komputer yang mudah dipahami dan levelnya masih dasar.
Lucunya lagi, dia bilang kalau wisudanya dipisahkan dari mahasiswa yang kuliah beneran. Mahasiswa STIE itu diwisuda pagi hari, sedang rombongan dia dan banyak teman-temannya, yang kebanyakan berasal dari luar Jawa, diwisuda di sore-malam hari.
Barusan, saya gogling nama STIE yang diberikan oleh keponakan saya. Ada websitenya, tapi cuma "rumah kosong" aja. Ada menu-menunya, tapi tak ada isinya. Di web tersebut, juga di tampilkan gedung perkuliahannya yang menurut saya sangat bagus dan megah. Tapi kok, pakai praktek jual ijazah segala?
Alasan keponakan saya dan sebagian besar mereka yang mengikuti program ini adalah, ijazah itu akan digunakan untuk mendaftarkan diri jika ada formasi penerimaan CPNS baru. Ah, makin miris saja mendengarnya.
Keponakan saya, karena sering diledek oleh suami saya, jadi ingin belajar. Agar gelar sarjana yang dimilikinya tak cuma selembar kertas yang berfungsi untuk melamar kerja, tapi pengetahuan dan kemampuannya nol besar. Walau saya pesimis dia akan bisa mempelajari buku-buku yang akan saya kirimkan jika tanpa bimbingan. Saya hanya berharap dia tak patah semangat belajarnya jika menemui kesulitan.
Tapi berapa banyak yang akhirnya mau belajar karena terbeban gelar sarjana tersebut? Mereka berniat menjadi PNS dengan "menipu". Memiliki selembar ijazah tanpa pernah mempelajari ilmunya. Jika mereka nanti, entah dengan cara bagaimana, bisa lulus dan diterima jadi PNS, bagaimana mereka akan bekerja? Tanpa pengetahuan dan ketrampilan.
Jika PNS nya seperti itu, bagaimana jadinya birokrasi dinegeri ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H