Ini kisah sebulan yang lalu, kala seorang kawan dari Sumatra bermain dan menginap di rumah. Seorang kawan yang sudah sukses hidupnya, secara materi tak kekurangan. Liburan pun selalu keluar negeri. Sedang menghibur diri karena kalah dalam pilkada bupati di daerahnya. Kini aku punya teman calon bupati, semoga lain kali bisa punya teman bupati.
Suatu pagi, saya hendak ke pasar. Beli keperluan dapur + susu buat anak-anak. Dia bilang mau ikut. Pengen cari tiwul sama klepon! Kaget juga mendengarnya. Beneran doyan tiwul? Atau masih imbas patah hati kalah pilkada?
Akhirnya kami berangkat juga. Ke pasar besar di Malang. Setelah belanjaan beres dan ditaruh di mobil, barulah acara berburu tiwul. Mendatangi penjual jajanan pasar. Berbagai macam jajanan, tradisional maupun kue-kue modern terhampar di depan mata. Namun kepala tetap celingukan kesana-sini, tak menemukan yang dicari. Tak ada tiwul disini.
Beralih ke pedagang yang lain, tidak nemu juga. Tanya sana-sini, katanya ga ada yang jualan. Mereka malah menyarankan nasi jagung. Yah sudahlah, niat makan tiwul pun tak kesampaian. Untung masih dapat klepon sama gethuk lindri.
Dalam perjalanan pulang kami berbincang. Kita tak bisa menemukan tiwul disini, kenapa? Masyarakat sudah sejahtera sehingga tak ada lagi yang mau makan tiwul? Masyarakat malu kalau ketahuan makan tiwul, sehingga pedagang tiwul gak laku dan akhirnya berhenti jualan? Masyarakat lebih suka makanan pokok pengganti nasi selain tiwul?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H