Di era Vuca (Votality, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) (Vuca), kepemimpinan menjadi efektif tidak hanya karena out of the box, tetapi juga karena kepemimpinan ini mampu membuat sesuatu yang tadinya terbatas dan tidak bisa ditenun, seperti sebuah kesadaran bahwa "ketidakberdayaan kita bukan pada ketidakmampuan kita, tetapi pada visi kita sendiri." Dalam hal ini kepemimpinan no box memiliki model DIKW (data informasi, knowledge, wisdom). Kemampuan untuk mentransformasikan model ini menjadi sebuah produk matang yang dapat dipasarkan dan diinginkan. Kepemimpinan "no box" tidak lagi terfokus pada "knowledge" tetapi bagaimana kepemimpinan yang berbasis hati nurani yang memiliki nilai kearifan diri (wisdom) disebut dengan "leadership wisdom". (Pretorius et al., 2019)
Stephen Covey dalam buku barunya "8 kebiasaan untuk menjadi orang yang efektif" menegaskan bahwa dunia saat ini bukan lagi tentang keefektifannya, tetapi bagaimana mencapai kehebatan. Ketika situasi normal dapat menjadi ukuran keberhasilan efektivitas dan produktivitas, namun dalam situasi abnormal seperti covid 19, kebesaran dalam kebenaran lebih besar. Manusia yang efektif dilatih kembali untuk menemukan kebesaran ilahi dengan mendengarkan hati nurani (Siregar dkk, 2015). Penelitian Siregar "Domestikasi dan Foreignisasi Dalam Proses Penerjemahan Buku The 8 Th Habit Karya Stephen R. Covey Ke Dalam Bahasa Indonesia" menyebutkan bahwa manusia efektif kebiasaan harus menambahkan satu item yang tercantum dalam kategori "no box leadership" yaitu dimanapun Anda bisa. Bagian pertama dari no box leadership dimulai dengan mampu mendengar suara hatinya sendiri (inner voice), bagian ini kemudian disebut dengan heartset. Kepemimpinan menuju kehebatan berhasil mengambil waktu "Me time" untuk dirinya sendiri untuk merenung dan berdialog secara batin untuk menemukan kebenaran dari setiap hal yang datang (Gero, 2014).
Jeff Geno (2014) dalam penelitiannya menemukan hubungan yang kuat antara meditasi dengan kepemimpinan, ketenangan dan mampu mengambil keputusan yang tepat dalam situasi yang berat adalah kualitas kepemimpinan yang no box. Penelitiannya berjudul "kepemimpinan &." Robin Sharma dalam penelitiannya "leadership wisdom" bahkan memiliki ulasan lebih jauh bahwa kepemimpinan no box adalah kepemimpinan yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan kebiasaan kebanyakan, salah satunya adalah kebiasaan bangun jam 05:00, kebiasaan bangun jam 05.00 pagi dengan rutinitas kegiatan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain (Sharma, 2019).
Robin Sharma, Stephen Covey dan Naqoy (2018) sepakat bahwa kepemimpinan no box diawali dengan kebiasaan keheningan diri, ungkapan The7awareness adalah "seni keheningan esoterik", Vijay Easwaran (2016) dalam penelitiannya yang berjudul "in the sphere of silence" saat pemimpin mempraktekkan "no box" secara efektif menemukan titik temu pada setiap subjek. Karena dalam keheningan akan dengan mudah mematahkan tekanan apapun, pemimpin di luar efektivitas dan keberlanjutan dalam keagungan akan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi tidak hanya ketika dia masih hidup tetapi setelah kematiannya terus berkembang, bahkan lebih, fenomena seperti ini di Indonesia dapat diambil contoh dari 2 presiden di Bungkarno dan Gus Dur. Keduanya telah menemukan "kesadaran satu menit", pengaruh yang memandu dirinya sendiri bukannya semakin lemah, melainkan semakin kuat (Wahid, 2006).
Bagian pertama dari "No Box leadership" adalah heartset, ketika para pemimpin berusaha untuk terhubung dengan Tuhan sehingga kebenaran pribadinya berdampak langsung pada masyarakat secara umum (kebenaran sosial). Miliki kebiasaan untuk melampaui keefektifan menuju kehebatan seperti bangun di malam hari, berdoa di malam hari, bermeditasi, atau melakukan latihan-latihan yang semakin lama semakin menuju ke arah ketenangan. Bahkan keajaiban bangun di malam hari dalam bentuk bermain hakim-hakim dapat memberikan efek transformatif pada fisik dan hati. Hal ini akan mempengaruhi kecerdasan emosional dan spiritual seorang pemimpin dalam menghadapi tekanan yang mengejutkan (Hafifah & Machfud, 2021).
Bagian kedua dari "No box leadership" adalah pola pikir mengelola, pola pikir yang menggunakan pola jalur tangga. Ketika seseorang menaiki anak tangga pertama, tentu cara pandang terhadap anak tangga pertama akan berbeda ketika sudah berada di anak tangga yang paling tinggi, dan melihat situasi secara lebih komprehensif, serta mengambil keputusan yang lebih tepat. Sudut pandang no box leadership adalah sky view, cara pandang yang melihat masalah dari kacamata komprehensif, kacamata langit, termasuk istilah Riawan Amin "the celestial management" TCM, manajemen langit, cara pandang yang tidak hanya memikirkan keuntungan tetapi juga kesejahteraan bagi umat manusia. Menyeimbangkan paradigma kerja yang berfokus pada dunia dan akhirat. Dalam TCM pengembangan organisasi dilandasi oleh tiga pondasi yaitu hidup adalah tempat ibadah, hidup adalah tempat kekayaan, hidup adalah tempat peperangan. Ketiganya menjadi pola pikir dalam ZIKR, PIKR, MIKR (Fadhillah & Septyan, 2020)
Yang ketiga dari bagian "No box leadership" adalah diri yang sadar "soulset", (Showry, 2014) menyebutkan bahwa kesadaran adalah kunci dari kepemimpinan, jurnalnya yang berjudul "self-awareness - key to effective leadership. Jurnal soft skill-nya, 8(1). Hampir dapat dipastikan bahwa kepemimpinan melampaui keefektifan berdasarkan kesadaran diri. Naqoy (2019) menyebutnya sebagai kesadaran satu menit, setiap pemimpin yang telah menemukan kesadaran satu menit akan berlari secepat rusa yang gesit. Ketika seorang pemimpin gagal menemukan "soulset" maka akan sulit menemukan makna dalam setiap perjalanan, akan mudah menyalahkan orang lain atau bahkan dirinya sendiri. Diibaratkan seorang penjahit yang mencari jarum di halaman sepanjang hari ketika jarum yang jatuh berada di bawah, ia menemukan dirinya menjawab "karena tidak ada cahaya, di dalam gelap". (Koeswinarno, 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H