Tekanan Sosial Media: Generasi Z tumbuh dalam era digital di mana media sosial memainkan peran besar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka sering kali merasa tekanan untuk menampilkan citra diri yang sempurna, dan takut akan penilaian negatif dari orang lain jika mereka melakukan kesalahan. Hal ini berdampak maraknya bisnis kecantikan atau penampilan agar terlihat glowing ketika tampil di depan banyak orang, komentar nitizen yang terkadang kejam membuat mereka mengalami tekanan yang tidak dialami oleh generasi dewasa sebelumnya yang cenderung masih memiliki kesopanan.
Nitizen atau sekarang diplesetkan dengan istilah nitijin bisa memberikan komentar yang bahkan menyakitkan seseorang di akun media sosialnya diantara penyebabnya adalah kerana Nitizen tidak tatap muka langsung akan tetapi berlindung dari digital, bahkan telah sering terjadi peristiwa seseorang melakukan upaya bunuh diri karena dirinya merasa di Bully di media sosial. Bullying melalui media sosial, atau yang sering disebut sebagai "cyberbullying," masih sering ditemukan karena beberapa alasan utama: (1). Anonimitas: Media sosial memungkinkan pelaku bullying untuk beroperasi secara anonim atau dengan identitas yang tidak jelas. Anonimitas ini dapat membuat pelaku merasa aman dari konsekuensi dan lebih berani untuk melakukan tindakan yang menyakitkan. (2). Akses yang Mudah: Teknologi digital dan internet yang semakin mudah diakses memungkinkan orang untuk terhubung dan berkomunikasi kapan saja dan di mana saja. Ini berarti bahwa bullying dapat terjadi kapan saja, tanpa batasan waktu dan tempat. (3). Kurangnya Pengawasan: Orang tua dan pihak berwenang sering kali kesulitan untuk mengawasi aktivitas online anak-anak dan remaja.
Kurangnya pengawasan ini membuat pelaku bullying merasa lebih leluasa untuk melakukan tindakan negatif tanpa takut ketahuan. (4). Tekanan Teman Sebaya: Keinginan untuk mendapatkan pengakuan atau status sosial di antara teman sebaya dapat mendorong seseorang untuk melakukan bullying. Tekanan teman sebaya dan dinamika kelompok juga bisa mempengaruhi seseorang untuk ikut serta dalam bullying. (5). Kurangnya Empati dan Kesadaran:Interaksi online dapat membuat pelaku kurang menyadari atau merasakan dampak emosional dari tindakan mereka terhadap korban. Kurangnya empati dan kesadaran akan konsekuensi dari tindakan mereka bisa membuat pelaku terus melakukan bullying.
Kurangnya Pengalaman Tatap Muka: Interaksi sosial sering kali dilakukan melalui platform digital, yang mengurangi kesempatan untuk mengembangkan keterampilan komunikasi tatap muka. Kurangnya pengalaman ini dapat menyebabkan rasa cemas ketika harus berbicara di depan banyak orang. Kontak mata adalah elemen penting dalam komunikasi tatap muka yang bisa membantu membangun hubungan dan menunjukkan kepercayaan diri. Siswa yang jarang berinteraksi secara langsung mungkin merasa tidak nyaman atau cemas saat harus mempertahankan kontak mata dengan audiens.Interaksi digital yang dominan bisa mengurangi kesempatan siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial, seperti empati, negosiasi, dan resolusi konflik.
Keterampilan ini penting dalam komunikasi tatap muka dan kurangnya keterampilan ini bisa meningkatkan kepercayaan diri siswa. Interaksi digital yang dominan bisa mengurangi kesempatan siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial, seperti empati, negosiasi, dan resolusi konflik. Keterampilan ini penting dalam komunikasi tatap muka dan kurangnya keterampilan ini bisa meningkatkan kecemasan.Siswa yang terbiasa dengan komunikasi digital mungkin merasa cemas jika harus berbicara tanpa dukungan teknologi, seperti skrip yang bisa diedit atau filter yang bisa mengubah tampilan. Ketergantungan pada teknologi bisa membuat mereka merasa rentan saat harus berbicara secara langsung.
Standar Kesempurnaan yang Tinggi: Eksposur terus-menerus pada kisah sukses dan pencapaian orang lain di media sosial dapat membuat Generasi Z merasa bahwa mereka harus selalu tampil sempurna. Ketakutan akan kegagalan atau membuat kesalahan bisa sangat mempengaruhi rasa percaya diri mereka. Standar kesempurnaan yang tinggi merujuk pada ekspektasi yang sangat tinggi yang sering kali dipaksakan pada diri sendiri atau oleh orang lain, yang dapat menyebabkan tekanan yang berlebihan dan kecemasan. Bagi siswa, ini bisa berarti beberapa hal: (1). Tekanan Akademis: Siswa mungkin merasa harus selalu mendapatkan nilai sempurna atau menjadi yang terbaik di kelas.
Tekanan untuk mencapai standar ini bisa menyebabkan stres dan rasa takut akan kegagalan. (2). Ekspektasi dari Orang Tua dan Guru: Orang tua dan guru mungkin memiliki harapan tinggi yang mendorong siswa untuk mencapai kesempurnaan dalam prestasi akademis dan ekstrakurikuler. Harapan ini bisa membuat siswa merasa terbebani dan cemas jika mereka merasa tidak bisa memenuhinya. (3). Pengaruh Media Sosial: Media sosial sering kali menampilkan gambar dan cerita tentang kehidupan yang sempurna, baik dalam hal prestasi akademis, penampilan fisik, maupun kehidupan sosial. Siswa yang melihat ini mungkin merasa bahwa mereka harus meniru kesempurnaan tersebut, yang bisa menyebabkan perasaan tidak cukup baik atau tidak layak.
Tingkat Stres yang Tinggi: Generasi Z sering kali menghadapi tekanan yang tinggi dari lingkungan pendidikan dan pekerjaan, serta kekhawatiran mengenai masa depan. Tingkat stres yang tinggi ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan rasa percaya diri mereka. Terdapat 2 faktor kuat tentang stress pada generasi Z, yaitu pertama adalah Persaingan yang Ketat adalah salah satu faktor terkuat mengapa anak anak mudah stress di usia muda. Generasi Z sering kali merasa harus bersaing dengan teman sebaya untuk mendapatkan prestasi akademis yang tinggi, beasiswa, dan penerimaan di universitas terkemuka. Kedua adalah Beban Tugas yang Berat: Kurikulum yang padat dan banyaknya tugas sekolah dapat menyebabkan stres yang berkelanjutan.
Kurangnya Latihan dan Dukungan: Tidak semua individu mendapatkan kesempatan atau dukungan yang cukup untuk mengembangkan keterampilan berbicara di depan umum. Kurangnya pelatihan dan bimbingan dapat membuat mereka merasa kurang siap dan tidak percaya diri. Di Naqoy Public Speaking (NPS) dilatih bagaimana kekuatan 21 hari peserta mendobrak batas-batas pikiranya sendiri yang selama ini sering memberikan Batasan bahkan blok sehingga mereka sendiri berpikir bahwa sulit akan melakukan sebuah terobosan. 21 hari latihan tanpa putus adalah program efektif dan telah banyak diprakikan oleh mitra (klien) yang selama ini bekerjasama di level SMP dan SMA. Bahkan beberapa sekolah justru melakukan sebuah terobosan dengan belajar "Public Speaking in 21 days" langsung di Naqoy Learning Center, para siswa menginap di Asrama An-Naqoyah selama program berjalan. Ini sangat penting karena dengan interaksi selama 21 hari dari pagi sampai malam seperti sedang memberikan "Booster" bagi mereka untuk meraih suskes diatas rata-rata.
 Publik Speaking sangat penting bagi siswa SMP,SMA bahkan kuliah karena kita tidak bisa lepas dengan upaya mempengaruhi orang lain untuk setuju terhadap ide yang kita miliki. Ada banyak anak pintar yang nilainya bagus dikelas namun tidak memiliki skill of influencing akan tertinggal di kemudian hari, sementara siswa yang secara akademik tidak menonjol namun justru memiliki kekuatan mempengaruhi lawan bicara dengan Bahasa (kata), intonasi kata dan Bahasa tubuh yang proporsional menjadikan semua orang tertarik kepadanya dengan mudah. Bahkan kemampuan Public Speaking bagi siswa akan berguna bukan hanya pada saat mereka sekolah namun justru sampai mereka nanti bekerja atau memulai wirausaha.
  Â