SEJARAH KAMPUNG ADAT CIPTA GELARÂ
Dalam buku No Box Leadership (2023), diantara 4 kemampuan penting  bagi mahasiswa adalah Wisdom - Intellegency-  Creativity dan Synhesis. Bagian penting dari kepemimpinan era post Covid 21 adalah Wisdom Leadership, Sharma (2017) dan Covey( 2010) sepakat bahwa kearifan seseorang yang akan menjadi pemimpin dibentuk oleh dua faktor, hal ini disepakati oleh Naqoy (2023) dalam jurnalnya 'Wisdom Leadership" yang menuangkan bahwa kedua pondasi yaitu (1). Pengalaman hidup dan (2). Ilmu Pengetahuan, ketika perkawinan ini terjadi dalam diri seseorang maka akan menemukan pencerahan diri, sejalan dengan kutipan Lao-Tzu "Seseorang yang telah  mengenali orang lain maka dirinya menemukan kearifan dan seseorang yang telah menemukan dirinya maka dia telah menemukan pencerahan". Dalam Islam sesuai dengan Hadits Nabi "Man Arofa Nafsahu Faqod Arofa Robbahu" yang artinya Barang siapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhanya.Â
Bicara tentang sejarah adat kampung Cipta Gelar maka tidak bisa lepas dari Cerita Prabu Siliwangi, ketika Sang Prabu Ingin Moksa dan memerintahkan prajutritnya untuk membentuk tiga kelompok, para prajurit Sang Prabu kemudian membuat tiga desa yang saling keterkaitan satu dengan yang lainya. Salah satunya adalah kampung Gede yang sering berpindah-pindah menghindari penjajah Belanda dan Jepang. Â Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merupakan masyarakat adat yang masih mempertahankan budaya leluhur yang menjadi pegangan kehidupan. Menurutnya, nenek moyang adalah orang yang dianggap memiliki kemampuan lebih atau melebihi kemampuan manusia umumnya yang dianggap sebagai keturunan dari kerajaan Sunda Pajajaran. Sistem keagamaan Kampung Ciptagelar adalah Islam, namun memiliki unsur kepercayaan asli Sunda Wiwitan yang kuat. Dilihat dari upacara-upacara yang selalu diadakan. Sejak tahun 2001, kampung Ciptarasa yang berasal dari desa Sirnarasa telah melakukan hijrah wangsit ke desa Sirnaresmi yang berjarak dua belas kilometer. Di desa Sirnaresmi, tepatnya di desa Sukamulya, Abah Anom selaku ketua kampung adat menamai kampung Ciptagelar sebagai tempat pindah baru. Ciptagelar memiliki arti terbuka atau pasrah. Pindah dari Kampung Ciptarasa ke Kampung Ciptagelar karena perintah leluhur yang disebut wahyu. Hal itu diturunkan untuk diterima atau disebarkan oleh Abah Anom melalui proses ritual yang mau tidak mau harus dilaksanakan.
Dari foto-foto yang ditampilkan di ruangan Abah, saya dapat melihat sebuah proses kehidupan yang panjang telah dilewati disini, menjaga tradisi (budaya) yang penuh pesan kearifan bagi umat manusia secara utuh baik skala Indonesia ataupun dunia.  Daur hidup padi dari awal penanaman hingga panen pada masyarakat Ciptagelar memiliki rangkaian aturan adat dan upacara yang harus dilakukan, di antaranya:  (1). Ngaseuk, (2). Sapang Jadian Par, (3). Par nyiramo dan mapag par beukah, (4). Sawenan, (5). Mipit par, (6). Nganyaran atau ngabukti. (7). Ponggokan,dan yang puncak adalah  Seren Taun, upacara ini merupakan puncak dari aktivitas masyarakat Ciptagelar. Biasanya selalu diadakan setiap tahun karena tradisi nenek moyang untuk mengormati dewi padi atau yang terkenal dengan nama Nyi Pohaci atau Dewi Sri. Sebenarnya buat saya sendiri yang lahir di pantura yaitu Cirebon banyak hal yang mirip atau sama, hanya saja perbedaanya adalah masyarakat adat Cipta Gelar mampu merawat budaya dengan kesunguhan hatinya yang sudah menjadi jalan hidup dari nenek moyangnya yaitu para prajurit Prabu Siliwangi, sementara masyarakat umum budaya-budaya sunda yang ada telah hilang oleh kemodernan zaman dari waktu-ke waktu.Â
BAGIAN AKHIRÂ
Perjalanan akhir akhirnya harus dituntaskan, tepat jam 15.00 sore setelah dijamu makan oleh pihak Kasepuhan di kediaman Abah Ugi para mahasiswa dan dosen Doktoral Ilmu Manajemen pamit meninggalkan Desa Adat Cipta Gelar, memasuki mobil L300 yang ditutup terpal biru adalah bagian yang tidak terpisahkan dari momen ini, jujurnya bagi kami atau sebagian kami ini adalah hal baru yang menantang, melelahkan namun menyenangkan. Berhimpitan dengan teman-teman dan memahami satu dengan yang lain, menghidupkan empati, simpati dan berkolaborasi dalam kesempitan adalah bagian penting dari kecerdasan emosi itu sendiri, seperti halnya disampaikan oleh Dosen Doktoral UNPAK Dr.Hari Muharram dan Dr. Agus Setyo Pranowo yang menekankan pentingnya kita belajar dari orang lain dan alam ini, jiwa kewirausahaan dilatih untuk bisa membaca tanda-tanda alam dan lingkungan yang ada, tentu saja kami diminta melakukan 3 T , mengambil istilah The7Awareness (2010) yaitu Tafakkur, memerung kedalam diri dalam melakukan evaluasi, lalu T kedua adalah Tadabbur, membuka diri dengan kemajuan orang lain dan Tasyakkur, merayakan kehidupan dengan rasa syukur dan antusiasme.Â
Membutuhkan 2 jam kurang untuk kembali ke jalan raya besar, walau kaki diantari kami banyak yang kesemutan karena sulitnya duduk dengan benar di jalan namun akhirnya cerita indah itu menjadi hal yang menyenangkan, ada dua rasa disini, ingin kembali kesana bahkan menginap dan merasakan suasana malam dan rasa kedua masiah terbayang bagaimana perjalanan yang berliku dan menukik menuju ketujuan, sebenarnya kampung adat Cipta Gelar seperti menunjukan citra diri kami semua mahasiswa Doktoral Ilmu Manajemen UNPAK bahwa kesusahan diawal dalam proses adalah bagian dari hukum alam kesuksesan, akhirnya kami percaya dengan yang disampaikan oleh Kaprodi Ilmu Manajemen Doktoral Unpak Prof. Hari Gusrida ketika wawancara kami semua diawal seleksi masuk kampus bahwa kesiapan mental, keuangan dan spiritual mahasiswa adalah hal yang tidak bisa dipisahkan sama sekali. Jadi teringat mata kuliah oleh Rektor UNPAK Â Prof. Dr. rer. pol. Ir. H. Didik Notosudjono, M.Sc. tentang Mental Model sebagai bagian dari Building Learning Organization dalam Innovation Management.
Â