Mohon tunggu...
Naqi AlfadhilaCahyanti
Naqi AlfadhilaCahyanti Mohon Tunggu... Akuntan - Universitas Negeri Malang

Mahasiswa UM

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tekanan Nilai Budaya Sopan Santun: Menghalangi Ekspresi Diri dan Dampaknya pada Kesehatan Mental

22 Oktober 2024   07:39 Diperbarui: 22 Oktober 2024   07:44 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sopan Santun merupakan suatu sikap, perilaku maupun perbuatan yang dilakukan oleh seseorang untuk menghormati dan menghargai orang lain disekitarnya. Biasanya perilaku ini disepakati dan dimusyawarahkan dalam lingkup lingkungan setempat yang harus dilakukan dan juga dipatuhi oleh warganya. Sopan santun atau biasa disebut sebagai tata krama digunakan sebagai pedoman dalam berperilaku antar sesama manusia, tentunya hal ini berkaitan erat dengan norma sosial yang dapat membantu individu dalam berinteraksi dan berperilaku yang baik dan benar saat bersama orang lain. Sopan santun berarti sikap atau perilaku yang tertib sesuai dengan adat istiadat atau norma-norma yang berlaku dalam pergaulan antar manusia setiap harinya agar memiliki sikap saling menghormati, bertutur kata baik, bersikap rendah hati, dan suka menolong. Sopan santun merupakan bagian penting dari etika yang mencerminkan rasa hormat dan perhatian terhadap orang lain.

Setiap budaya atau daerah memiliki standar atau ukuran sopan santun yang berbeda-beda, yang disesuaikan dengan kebiasaan dan norma yang berlaku di tempat tersebut. Misalnya, di Indonesia, anak muda yang melewati orang yang lebih tua akan menundukkan bahu sebagai tanda hormat, sementara di Jepang, tanda penghormatan yang serupa dilakukan dengan membungkukkan badan. Dasar perilaku sopan santun dapat dilihat dari berbagai perspektif. Menurut pandangan tertentu, ukuran sopan santun melibatkan perhatian pada perasaan orang lain. Artinya, perilaku seseorang harus mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain, sehingga tidak menyakiti atau menyinggung perasaan mereka. Di sisi lain, ada pendapat yang menyatakan bahwa ukuran etika dan sopan santun juga mencakup aspek ketidaksombongan, kepatutan, kesopanan dalam berperilaku, dan menempatkan segala sesuatu sesuai konteks yang tepat. Dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, seseorang dapat diterima dalam lingkungan sosial dan berinteraksi dengan lebih baik. Secara umum, perilaku sopan santun dapat diukur melalui sikap ramah kepada orang lain, bersikap baik, menghormati, tersenyum, dan menaati aturan.

Sopan santun lebih menonjolkan kepribadian yang baik dan sikap hormat terhadap siapa saja, termasuk teman sebaya maupun orang yang lebih tua. Bentuk dan cara menunjukkan sikap hormat disesuaikan dengan kebiasaan lokal atau adat yang berlaku di suatu tempat, sehingga perilaku tersebut dapat diterima dan dianggap pantas dalam konteks budaya setempat. Sopan santun tidak hanya terbatas pada tata cara bertindak, tetapi juga mencakup bagaimana seseorang mampu menempatkan diri di lingkungan sosial dan menunjukkan kesadaran terhadap norma-norma yang ada. Dengan demikian, perilaku sopan tidak hanya memudahkan individu untuk bergaul, tetapi juga membantu membangun hubungan yang lebih baik dan harmonis dengan orang-orang di sekitarnya.

Sopan Santun dan Penekanan Ekspresi Diri

Dalam suatu nilai budaya yang menuntun adanya sopan santun tentu di dalamnya banyak harapan sosial bahwa individu harus bertindak sesuai standar norma kesopanan yang telah disepakati. Misalnya ketika akan berbicara atau bertindak, seringkali kita merasa diharuskan untuk tidak menyinggung perasaan orang lain, bahkan itu akan menjadi masalah jika apa yang kita perlihatkan bukan sesuai dengan apa yang dirasakan. Norma atau etika ini dapat menjadi suatu penghalang bagi individu mengekspresikan perasaannya secara jujur dan terbuka. Contoh lainnya ketika individu merasa marah, sedih, kecewa, atau terluka, mereka enggan meluapkan emosi karena khawatir dianggap tidak sopan atau tidak menghormati orang lain. Ketidakmampuan individu dalam meluapkan perasaannya karena dibatasi dengan norma sopan santun ini dapat menjadi pemicu stress, depresi, dan kecemasan. Hal ini diakibatkan seringnya individu menahan emosi negatif yang tidak diungkapkan dan akhirnya menumpuk sehingga menjadi beban mental yang semakin berat.

Tidak Mampu Menyampaikan Pendapat : Pertikaian Batin dan Perasaan Cemas.

Norma atau etika sopan santun sering menimbulkan hambatan dalam penyampaian pendapat, misalnya dalam suatu forum rapat individu enggan menyampaikan ide-idenya karena merasa enggan dan takut jika dianggap tidak menghormati orang lain terlebih jika lawan bicaranya otoriter, lebih tua atau memiliki kuasa di lingkungan tersebut. Kondisi seperti diatas dapat mengakibatkan rasa rendah diri dan ketidakmampuan seseorang dalam menjalankan haknya. Seringkali orang yang tidak dapat meluapkan ide rasional dalam dirinya akan merasa kurang puas dan mengganjal yang berujung pada kecemasan sosial dimana individu tersebut akan merasa khawatir jika ia dianggap sebagai orang yang tidak pernah berkontribusi aktif dalam suatu forum. Begitupun sebaliknya, jika individu tersebut meluapkan perasaan yang mengganjal dan mengeluarkan ide-ide yang ada dalam dirinya, ia akan merasa khawatir perihal penilaian orang lain yang akan menganggap dirinya sebagai pembangkang ataupun dianggap sebagai individu yang terlalu berani berbicara secara terbuka tanpa rasa hormat.

Dampak Pada Kesehatan Mental

  • Stress

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, stress merupakan reaksi seseorang baik secara fisik maupun emosional baik mental atau psikis jika ada perubahan dari lingkungan yang mengharuskan seseorang menyesuaikan diri ("Apakah yang Dimaksud Stres Itu?", n.d.).

  • Kecemasan/anxiety/masking

Menurut Ibunda (n.d.), masking anxiety terjadi ketika seseorang menyembunyikan kecemasan yang dirasakannya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan menghindari stigma terkait gangguan mental. Terdapat beberapa alasan utama mengapa perilaku masking muncul, antara lain:

  • Adanya tuntutan masyarakat terkait norma sosial. Individu yang mengalami kecemasan atau gangguan mental lainnya berupaya menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial tersebut, meskipun perilaku yang mereka tunjukkan tidak sejalan dengan perasaan mereka yang sebenarnya.
  • Ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi. Mereka berusaha menyembunyikan gejala yang dirasakan, terutama dalam lingkungan sosial, untuk menghindari penilaian negatif, pengucilan, atau perlakuan diskriminatif.
  • Kebutuhan akan penerimaan sosial. Mereka mencoba berbagai cara agar diterima oleh orang lain, termasuk meniru perilaku, ekspresi, atau gaya komunikasi orang di sekitarnya untuk mempermudah interaksi dan meningkatkan pemahaman dalam hubungan sosial.
  • Depresi

Depresi merupakan gangguan yang mempengaruhi fungsi manusia, ditandai oleh perasaan sedih yang mendalam dan disertai berbagai gejala lainnya, seperti perubahan pola tidur dan selera makan, gangguan psikomotor, kesulitan konsentrasi, kehilangan minat atau kesenangan, kelelahan, serta perasaan putus asa dan tidak berdaya. Pada kasus yang lebih parah, depresi dapat menyebabkan munculnya pemikiran untuk bunuh diri. Gangguan mental dan emosional ini bersifat umum dan dapat dialami oleh siapa saja.

  • Kesehatan fisik menurun

Gejala fisik yang muncul adalah kondisi mudah lelah, hal tersebut sering dirasakan sebagai fenomena fisik murni dan sebagian menganggap sebagai kelelahan akibat kehilangan energi. Gejala kehilangan nafsu makan untuk beberapa penderita bisa merupakan tanda awal dan kembalinya nafsu makan mungkin menjadi tanda pula bahwa kehidupannya telah kembali. Penderita juga tidur lebih sedikit daripada orang normal dan terdapat derajat kegelisahan yang mencolok selama semalam.

Kesimpulan

Penerapan nilai sopan santun dalam masyarakat dapat memberikan manfaat dalam menciptakan interaksi sosial yang harmonis dan membangun hubungan yang lebih baik. Namun, terdapat sisi lain di mana norma kesopanan yang terlalu ketat dapat menjadi hambatan bagi individu dalam mengekspresikan diri secara jujur dan terbuka.Ketika individu merasa harus selalu menyesuaikan diri dengan standar sopan santun yang berlaku, terutama dalam menahan perasaan negatif atau dalam menyampaikan pendapat, hal ini dapat memicu dampak negatif pada kesehatan mental, seperti stres, kecemasan, dan depresi. Perasaan tertekan untuk mematuhi norma sosial seringkali mengarah pada masking, yaitu menyembunyikan perasaan sebenarnya demi menghindari stigma atau penilaian negatif dari orang lain.

Akibatnya, ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi dan pendapat dapat menyebabkan pertikaian batin, perasaan cemas, rendah diri, dan akhirnya berdampak pada kesehatan fisik. Gejala seperti kelelahan dan gangguan tidur sering muncul sebagai akibat dari tekanan mental yang berkepanjangan. Dengan demikian, penting untuk menemukan keseimbangan antara menjaga sopan santun dan memberikan ruang bagi individu untuk mengekspresikan diri tanpa takut akan penilaian negatif, demi menjaga kesehatan mental yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun