Lebih 20 tahun reformasi berjalan dengan enam kabinet, namun Indonesia masih diwarnai oleh maraknya korupsi, kejahatan narkoba, prostitusi, pembunuhan, bom bunuh diri, perampokan, perdagangan orang, pembalakan hutan, tambang illegal, bencana banjir, kekeringan, pencemaran, karhutla dll.; dalam kondisi kemiskinan dan pengangguran tinggi, sumber daya alam menipis, serta ekosistem rusak.Â
Diperparah oleh pandemi Covid - 19, sekarang Indonesia sungguh dalam kondisi -darurat -karakter bangsa, -kerusakan lingkungan hidup, dan -ketimpangan ekonomi yang membutuhkan perubahan mendasar kebijakan tata kelola pembangunan nasional!
Kita paham, dalam pembangunan bangsa ada tiga masalah moral dan karakter yang saling berkaitan telah mendera NKRI. Bibit masalah itu sudah ada sejak zaman kolonial, terbawa ke zaman kemerdekaan era orde lama, bertumbuh pada era orde baru, meluas pada era reformasi, setelah mulai pemilu langsung, dan adanya kemudahan akses cepat komunikasi antar individu dan media sosial internet.Â
Tiga masalah itu meliputi: (1) rendah "kepatuhan hukum", dan "keamanan / keselamatan warga terhadap kriminalitas", karena lemahnya "penegakan hukum yang adil"; (2) "merosot dan rusak kehidupan moral dan sosial warga masyarakat, dan anak-anak usia sekolah karena bebas dan marak-nya game, perjudian online, pornografi, miras, narkoba, prostitusi, perzinahan, dll. Dalam kondisi pengangguran tinggi berakibat meningkatnya kriminalitas"; (3) "meluasnya praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang dipicu oleh sistem tata kelola pemerintahan dan demokrasi politik pemilu yang rumit, lambat, boros, karena banyaknya tingkat pemerintahan, dan pemilu langsung pileg, pilpres, pilkada & pilkades; diperparah oleh lemahnya penegakan hukum, dan merosotnya kehidupan moral warga bangsa.
Terkait demokrasi politik pemilu, orang awam-pun paham bahwa biaya yang dihabiskan dalam proses kampanye sampai terpilih, nilainya jauh lebih besar dibanding gaji, tunjangan setelah menjabat. Dalam tata kelola pemerintahan, para aparatur sipil negara (ASN), anggota POLRI, dan juga karyawan dunia usaha sejak masuk dan untuk menjabat perlu biaya.Â
Akibatnya, untuk mengembalikan modal ditambah perilaku tidak jujur, si pejabat berupaya menciptakan situasi / peluang agar semua urusan: perizinan, jabatan, surat tanah, bea cukai / pajak, kredit bank, keputusan hakim / tuntutan jaksa, temuan auditor, tender, konstruksi sub standar dll. mesti ada imbalan uang alias korupsi.
Prilaku moral para: Eksekutor, Legislator, Judikator, Aparat keamanan, dan Pengusaha, Pelaksana Pendidikan, Masyarakat serta Media; selama ini kita semua telah melakukan 7 kesalahan yaitu: (i) ingin cepat kaya / dapat titel melalui jalan pintas tanpa kerja keras dan kompetensi; (ii) dengan uang tidak halal memilih hiburan tanpa hati nurani seperti prostitusi, narkoba dll ; (iii) warga bangsa yang berpengetahuan tanpa karakter sehingga menyalah gunakan kewenangannya; (iv) para profesi, pebisnes tanpa etika dan moral ingin untung banyak dengan melanggar aturan dan menipu; (v) yang memiliki iptek tanpa kemanusiaan membuat bom bunuh diri; (vi) menganut agama tanpa pengorbanan, sehingga tidak ikhlas menerima dan mensyukuri gaji yang standar; dan (vii) para politikus dan pemimpin bangsa yang diserahi kewenangan / kuasa belum kokoh memegang prinsip-prinsip tanggung jawab, tidak layak sebagai panutan. (Mahatma Gandhi - 1925, The seven deadly sin). Â Â Â Â
Kenyataan kondisi Indonesia sekarang menunjukkan bahwa, dampak merugikan dari praktik 7 kesalahan atau dosa sosial tersebut di atas adalah hasil pembangunan yang tidak efektif atau tidak adil secara sosial, tidak efisien secara ekonomi atau boros, dan tidak berkelanjutan sebagai dampak kerusakan parah ekosistem lingkungan hidup nusantara.Â
Resultannya berujung pertumbuhan ekonomi hanya di bawah 5,0 %, pengentasan kemiskinan sangat lambat, pengangguran masih tinggi, dan rendah indeks pembangunan manusia; sementara sumber daya alam semakin menipis dengan hutang Negara terus membesar.
Apa Solusinya? Mengacu pada tiga masalah terkait perilaku moral dan karakter tersebut di atas diusulkan perangkat penataan ulang melalui transformasi dan reformasi lanjut, untuk menciptakan kehidupan sosial budaya masyarakat dan tata kelola pemerintahan yang taat hukum, bersih, berkualitas, efisien, dan tangguh, meliputi dua bidang mendasar yaitu: (1) Pengembangan Kualitas Sumber Daya Manusia, dan (2) Penyederhanaan "Sistem Otonomi Tata Kelola Pemerintahan" dan "Demokrasi Politik Pemilu".
 Pertama: "Pengembangan dan Pembinaan SDM agar taat hukum, dan kompeten, serta memiliki karakter, kualitas dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila" sebagai prioritas penting dan mendesak, mengawali perbaikan.
 Untuk itu, semua pilar bangsa perlu segera, menginisiasi adanya "Gerakan Moral Pertobatan Bangsa" (GMPB), guna meninggalkan tabiat kualitas lama, tujuh kesalahan atau dosa sosial mematikan tersebut di atas, dan bertransformasi mempraktikkan tabiat kualitas baru tujuh "perbuatan,  perilaku berkualitas dan bernilai baik" (PBB), yang digali dari kelima sila Pancasila sesuai urutannya yaitu: (i) ibadah, agama dengan pengorbanan, (ii) hiburan dan kesenangan dengan hati nurani, (iii) pengetahuan dengan karakter yang benar, (iv) iptek dengan  kemanusiaan, (v) pemerintahan dan politik dengan prinsip-prinsip yang baik, (vi) bisnes dan profesi dengan etika dan moral, (vii) kekayaan dan kemakmuran dengan kerja keras dan kompetensi.
Kemudian, para pilar bangsa, perlu menyepakati dan mendeklarasikan "Ikrar Transformasi Kualitas Bangsa" (ITKB) yang bernilai tinggi. Janji atau komitmen untuk menjalankan prilaku dan tindakan yang didasarkan pada nilai, standar dan tolok ukur yang teruji baik, yang bersumber dari Pancasila untuk setiap urusan atau tata kehidupan: politik, negara, bangsa, masyarakat, usaha, profesi, keluarga, dan pendidikan.Â
Konsep ITKB, ibarat mata uang logam mulia (MLM) yang bernilai tinggi, mempunyai dua sisi: sisi pertama Semua Urusan Mesti Ukuran Teruji; sisi kedua Komitmen, Kualitas, Nilai disingkat SUMUT / KKN Baru. Sisi pertama SUMUT Baru adalah praktek "7 (tujuh) kebiasaan perbuatan yang berkualitas dan bernilai baik" (7KPBB) yang harus dikedepankan sebagai tolok ukur dan bukti 'komitmen, kualitas, dan nilai' (KKN Baru). (Marhuarar Napitupulu & RM Baringin N. -- Membangun Kualitas Bangsa dengan "SUMUT" Juni 2009). Â
Kedua: "Peningkatan efektivitas dan efisiensi "sistem otonomi tata kelola pemerintahan" dan "demokrasi politik pemilu", guna peningkatan kinerja dalam mencapai output / outcome pembangunan yang optimal meliputi empat bagian.Â
(1) Satu; Untuk menjamin kelancaran koordinasi dan keterpaduan dalam: penetapan cakupan & sasaran RPJM, RPJP, dan program tahunan yang tepat, diikuti pelaksanaan pembangunan yang berkualias dan monitoring & evaluasi output / outcome yang terukur dan cepat memberi umpan balik perbaikan; amat penting dan genting menyederhanakan "sistem otonomi pemerintahan" dari dua (tiga dengan desa) otonomi menjadi satu otonomi di tingkat propinsi dengan jumlah 60 -- 70 propinsi (pemekaran 34 provinsi yang ada, sudah bergulir wacana tambah 9 provinsi di P. Jawa), mirip DKI bupati / walikota dan kepala desa / lurah adalah ASN. Penyederhanaan sistem otonomi pemerintahan ini akan memberi manfaat ganda: peluang peningkatan efisiensi pendayagunaan ASN, dan penghematan belanja Negara melalui pengurangan 508 Pilkada & Pilegda kabupaten/kota & 75.000 lebih Pilkades,
(2) Segera menyederhanakan sistem pemilu Pilpres, Pilkada, Pileg dan Parpol guna menghemat  waktu, biaya, dan mencegah politik uang / korupsi, serta menghindari segregasi bangsa, kelelahan, korban dan sengketa pemilu, dengan: (i) Mengurangi  banyaknya Pilkada melalui penyederhanaan sistem pemerintahan otonomi (butir satu di atas); (ii) Mengurangi banyaknya partai politik, melalui kenaikan ambang batas parlemen.Â
Jumlah partai yang ideal adalah lima, dengan pemilihan langsung untuk Pilegnas dan Pilpres, sedangkan Pilgub dan Pilegda serentak terbatas sesuai masa jabatan. Biaya partai politik disediakan oleh negara; (iii) Menurunkan ambang batas pencalonan Presiden agar muncul lebih dari dua Capres/Cawapres sehingga terhindar kompetisi head to head; (iv) Membatasi pencalonan Presiden dan Gubernur hanya sekali dengan masa jabatan lebih lama 7 tahun, guna meniadakan calon petahana yang rawan sengketa.
(3) Penguatan sistem hukum dan peradilan dengan upaya penegakan hukum yang adil atas kejahatan pidana maupun perdata secara tegas, kuat tanpa tebang pilih. Utamanya hukuman paling berat untuk para koruptor, kejahatan narkoba, kekerasan sex, perdagangan orang, pencemar limbah B3, pembalakan hutan, tambang illegal, pelaku karhutla, dan pelanggar Tata Ruang Wilayah. Tunjangan untuk para penegak hukum pantas dibedakan.
(4) Penataan sistem komunikasi dan informasi nasional, agar isinya baik, aman, positip, mendidik dan menguatkan jiwa kesusilaan dan kerukunan warga bangsa; dengan pengawasan yang ketat dan sangsi hukum yang tegas atas berita bohong, hujat, kebencian, prostitusi dan pornografi.
Petisi ! kiranya  semua Anggota MPR -- RI (DPR -- DPD), Aparat hukum / keamanan, dan ASN bersama seluruh komponen partai politik, pendidikan / akademisi, LSM, media-pers, dan warga masyarakat, mau dan rela merenung ulang urgensi pembaruan kebijakan: sistem otonomi pemerintahan dan demokrasi politik pemilu, serta tata kelola ekonomi, sosial, dan lingkungan demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Semoga bermanfaat, SEKIAN.  Jakarta 14/02- 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H