Manusia tanpa makan makanan dapat hidup beberapa pekan, tetapi tanpa minum air dapat mati dalam beberapa hari. Dari ilmu Pertanian diketahui bahwa air untuk tanaman berfungsi sama seperti darah untuk tubuh manusia, karena tanpa cukup air tanaman tidak dapat tumbuh dan memberi panen yang baik.
Dengan demikian air adalah salah satu sumber daya alam yang penting (disamping udara untuk pernafasan dan matahari / api sebagai sumber tenaga) di mana bersama – sama sumber daya tanah (lahan) sebagai tempat pertanian pangan, perikanan, dan bahan baku industri telah memberi kelangsungan hidup manusia sejak dahulu, sampai sekarang dan nanti ke depan.
Pendapat di atas akan lebih kita yakini dengan kenyataan bahwa salah satu peradapan dan budaya terpenting manusia pertama adalah pembuatan suatu sarana sisitem guna mengendalikan (to control) air untuk tujuan pemanfaatan. Banyak peradapan manusia dan suku bangsa bermula di sekitar sungai atau danau. Di Indonesia kita kenal pengairan tanaman padi al. Subak di Bali, Dawur Pranatamangsa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Tuo Banda atau Siak Bandar di Sumatera Barat, Tudang Sipulung di Sulawesi Selatan, Panriahan Pamohkahanan dan Siauga Parjolo di Sumatera Utara, Panitia Siring di Sumatera Selatan dan Bengkulu.
Para pemikir dan pendahulu generasi sekarang telah dengan tepat dan benar memilih kata ‘tanah air’ sebagai sebutan untuk bagian bumi yang kita tempati dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), untuk itu kita wajib menghargai, memelihara dan meneruskan nilai – nilai yang baik tersebut.
Di tingkat global perbincangan masalah air dunia telah mulai dengan Water Conference internasional diselenggarakan oleh United Nations di Mar del Plata, Argentina 14 – 25 Maret 1977; menyepakati “Mar del Plata Action Plan: Recommendation on Policy, Planning and Management”. Ada 4 (empat) Rencana tindak yang direkomendasikan yaitu:
- Setiap Negara harus merumuskan dan terus meninjau pernyataan umum kebjakan terkait penggunaan, pengelolaan dan konservasi, sebagai kerangka untuk perencanaan (planning) dan implementasi program dan upaya spesifik untuk operasi yang efisien dari berbagai skema air. Kebijakan dan Rencana Pembangunnan Nasional harus menetapkan sasaran utama kebijakan penggunaan air, yang kemudian diterjemahkan menjadi pedoman dan strategi, dirinci lagi sejauh mungkin menjadi program-program untuk pengelolaan terpadu sumber daya.
- Pengaturan kelembagaan yang diadop setiap Negara harus menjamin bahwa pengembangan dan pengelolaan sumber daya air (SDA) berlangsung dalam konteks perencanaan nasional dan ada koordinasi yang nyata antar semua lembaga yang bertanggungjawab untuk investigasi , pengembangan dan pengelolaan SDA. Masalah pembentukan infrasturuktur kelembagaan yang memadai harus terus ditinjau dan pertimbangan harus diberikan pada pembentukan otoritas air yang efisien dalam menyiapkan koordinasi yang baik.
- Setiap Negara harus menguji dan terus meninjau struktur adminstrasi dan legislasi terkait pegelolaan air , dan dalam hemat atau pengalaman bersama, harus menetapkan, di mana cocok legislasi yang menyeluruh (comprehensive) untuk pendekatan terkoordinasi atas perencanaan air. Mungkin lebih digandrungi bahwa ketentuan etrkait pengelolaan SDA, konservasi dan perlindungan atas polusi, disatukan dalam satu kesatuan instrument legal, jika kerangka konstitutional Negara memungkinkannya. Legislasi harus menetapkan aturan dari kepemilikan publik atas air dan pekerjaan rekayasa air yang besar, dan juga termasuk ketentuan problema kepemilikan lahan dan setiap litigasi yang mungkin timbul karenanya. Harus cukup fleksibel untuk mengakomodasi perubahan perspektif dan prioritas ke depan.
- Setiap Negara harus membuat upaya yang perlu untuk mengadop upaya-upaya guna memperoleh parisipasi yang efektif di dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan menyangkut para pengguna dan otoritas publik. Partisipasi seperti itu dapat secara konstruktif mempengaruhi pilihan di antara alternatif rencana dan kebijakan. Jika memang diperlukan, legislasi harus menyiapkan partisipasi seperti itu sebagai bagian integral dari proses perencanaan, pemprograman, implementasi dan evaluasi.
Sebelas tahun setelah konferensi Mar del Plata 1977, pada tahun 1987 dalam laporan, Our Common Future, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan PBB (Komisi Brundtland) mendefinisikan 'pembangunan berkelanjutan' sebagai "pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri". Sejak itu, beberapa definisi lain telah diusulkan dan diperdebatkan, dan banyak makalah, artikel, dan buku telah diterbitkan, masing-masing berusaha memperluas pemahaman kita tentang konsep dan jenis tindakan yang disiratkannya.
Berikutnya pada 26 – 31 Januari 1992 di Dublin Irlandia, diselengarakan International Conference on Water and Environment (ICWE) terkait Development of issues for the 21 st century; menghasilkan The Dublin Statement on Water and Sustainable Development berupa Guiding Principles. Dibutuhkan Aksi Bersama untuk membalik tren sekarang tentang over konsumsi, pollusi, dan peningkatan ancaman dari kekeringan dan banjir. Laporan Konferensi Internasional tentang Air dan Lingkungan (ICWE) tersebut, mengemukakan rekomendasi untuk aksi tingkat lokal, nasional dan internasional berdasarkan 4 (empat) Guiding Principles (prinsip dasar) sbb.:
Principle No. 1 – Fresh water is finite and vulnerable resource, essential to sustain life, development and the environment. (Air tawar adalah sumber daya yang terbatas dan rentan, penting untuk menopang kehidupan, pembangunan dan lingkungan).
Karena air mendukung kehidupan, pengelolaan sumber daya air yang efektif menuntut pendekatan holistik, mengaitkan pengembangan ekonomi dan sosial dengan perlindungan dari ekosistem alamiah. Pengelolaan yang efektif mentautkan pemanfaatan lahan dan air melingkupi seluruh daerah tangkapan air dan akifer air tanah.
Principle No 2 – Water development and management should be based on a participatory approach, involving users, planners and policy-makers at all level. (Pengembangan dan pengelolaan air harus didasarkan pada pendekatan partisipatif, yang melibatkan pengguna, perencana dan pembuat kebijakan di semua tingkat).