Enam; lemah fundamental dan daya saing ekonomi Indonesia karena praktek ekonomi yang padat ekstraksi dan eksploitasi SDAlam dengan dijual mentah sejak orde baru, contoh kayu logging, mineral, migas dan batubara (2018 - 500 juta ton), namun lemah ekonomi berbasis SDAlam terbarukan, dan pengetahuan, ditambah biaya produksi yang tinggi karena banyaknya KKN dan rumitnya pengurusan izin usaha / investasi (kabupaten / kota, provinsi dan K / L). Diperparah oleh besarnya investasi swasta di perkotaan untuk high rise building berupa apartmen, mall, hotel dan hunian mewah dengan kapasitas berlebih di atas daya serap pasar berakibat ROI (return on investment) jauh di bawah target berujung kredit bank macet. Tiga puluh sembilan persen pasar uang surat hutang Negara (hot money) dikuasai investor asing, yang setiap saat dapat menarik dananya. Investasi asing untuk industri dan infrastruktur relatif rendah. Defisit neraca perdagangan, impor (migas, pangan, mesin paberik dll.) terhadap ekspor (minyak sawit/crude palm oil - CPO, karet, rempah-rempah, ikan, mineral, batubara, LNG dll.) membesar terus. Lihat Refernsi: Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDAlam) Terpadu; Basis Pembangunan berkelanjutan -Marhuarar Napitupulu – Kemitraan Air Indonesia (2007)
Tujuh; SOS tingkat kerusakan dan pengrusakan ekosistem fisik lingkungan hidup nusantara dan / atau SDAlam berakibat Ketahanan Air Nasional, Indonesia sangat rapuh (Water Security – Ketahanan Air adalah “ Keterpenuhan kebutuhan air yang layak dan berkelanjutan untuk kehidupan dan pembangunan serta terkelolanya risiko bencana terkait- air’), diikuti hilangnya keaneka ragaman hayati. Luas lahan DAS kritis akibat logging (legal / illegal) dan alih fungsi untuk pembangunan mencapai 14 juta ha (2018), terjadi kerusakan sungai, danau, situ, waduk, embung dan lahan / lanskap akibat erosi tanah DAS, tambang minyak liar, penambangan emas tanpa izin (PETI) di sungai-sungai, minerba terbuka dan galian C legal dan illegal. Pencemaran di sungai dan badan air oleh limbah cair industri dan rumah tangga tanpa sanitasi serta limbah padat sampah sudah lama melebihi ambang daya tampung lingkungan (kualitas air sangat rendah, sungai tidak sehat bahkan sakit parah). Penerapan penegakan hukum sesuai sangsi hukum yang tercantum dalam “UU No 32 / 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, dan “UU No 26 / 2007 tentang Penataan Ruang serta “undang-undang sektor pembangunan terkait”, belum sepenuhnya berjalan.
Sebagai akibat bertambahnya kerusakan DAS yang berdampak meningkatnya debit banjir (Q) 4 s/d 5 kali debit ketika DAS masih hutan asli, maka situasi dan kondisi: “kejadian bencana banjir, tanah longsor / banjir bandang, sungai tersumbat, danau, dan waduk tersedimentasi oleh erosi tanah DAS dan sampah pada musim hujan; yang diikuti kekeringan dan defisit air pada musim kemarau, akan terus meningkat intensitas dan besarnya (terjadi bencana hidrologi / hidrometerologi – ratio debit - Qmaksimum / Qminimum membesar tak terhingga alias sungai kering Q = nol) yang berujung pada membludaknya kerugian harta / materi dan korban jiwa, gagal panen, mati ternak, terhambat perdagangan / logistik, timbulnya berbagai penyakit dll”.
Keadaan ini diperparah oleh tiadanya lagi ruang terbuka hijau (RTH) yang memadai serta penempatan kawasan industri (industrial estate) dan kawasan perumahan (real estate) dan perkotaan di dataran banjir atau daerah rawan banjir (di P. Jawa dan kota-kota besar di luar P. Jawa) ditambah dampak perubahan iklim yang belum sepenuhnya dipertimbangkan dalam pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan sumber daya air. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa, akibat merugikan dari pengelolaan SDAir yang tidak efektif, boros (inefisien) dan tidak adil yang berujung pada ketahanan air yang rapuh (seperti kita alami sekarang) dapat mencapai 6 persen PDB nasional.
Delapan; sangat lemah kemandirian/ketahanan pangan nasional. Besar sekali volume impor berbagai jenis bahan pangan (gandum 11 juta ton, beras 0,5 juta ton, jagung 3 juta ton, kedele, bawang putih/merah, buah-buahan, gula, garam, daging sapi, ayam ras, susu segar 80 % - 2,8 juta ton / tahun, dsb). Hitungan rerata tahun 2010 s/d 2017 impor bahan pangan menguras devisa US $ 8,33 miliar setara Rp 100 trilliun per tahun, yang berarti kehilangan besar peluang peningkatan pendapatan petani kita.
Sembilan; sangat rapuh ketahanan energi nasional. Cukup besar volume impor minyak mentah (crude oil) untuk kebutuhan BBM dan bahan baku LPG (Liquified Petroleum Gas) dalam negeri, besarnya 350.000 sampai 400.000 barel per bulan menelan devisa tahun 2016 USD 16,2 milliar sedangkan untuk 6 bulan pertama 2018 menyerap devisa USD 10 milliar. Selain impor crude oil, ternyata sebagai penganti minyak tanah untuk rumah tangga Indonesia juga mengimpor LPG dengan volume tahun 2016 sebanyak 4,3 juta ton dan tahun 2018 diperkirakan 5 juta ton.
Kenyataan kondisi Indonesia sekarang menunjukkan bahwa, dampak merugikan dari 9 (Sembilan) MFMB yang diuraikan di atas adalah hasil pembangunan yang tidak efektif atau tidak adil secara sosial, tidak efisien secara ekonomi atau boros, dan tidak berkelanjutan oleh terjadinya kerusakan parah lingkungan hidup nusantara. Akibatnya (sebelum pandemic Covid 19), pertumbuhan ekonomi hanya di bawah 5,3 %, pengentasan kemiskinan sangat lambat, pengangguran masih tinggi, dan rendah indeks pembangunan manusia; sementara sumber daya alam menipis dengan hutang Negara terus membesar.
Sembilan MFMB tersebut di atas membuat situasi dan kondisi Indonesia tidak sehat, ibarat pasien terdeteksi 2 (dua) simtom penyakit serius. Yang pertama terkait kemerosotan / defesit moral dan karakter oleh 7 dosa sosial mematikan; mirip penyakit kanker stadium awal namun bisa cepat menjalar ke organ dan elemen penting tubuh (pilar) bangsa; yang tanpa ‘operasi atau kemoterapi’ yaitu ‘transformasi total SDM dan tata kelola pemerintahan dan demokrasi pemilu’, akan dapat melumpuhkan kesehatan jiwa bangsa Indonesia.
Yang kedua terkait ketimpangan / kesenjangan / disparitas kemakmuran; Indonesia bagaikan kena serangan stroke ringan karena pengentalan darah dan penyempitan pembuluh darah sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah (kemakmuran) dalam tubuh / otak yang secara mendadak bisa membawa kelumpuhan kalau tidak segera dioperasi dan diobati. Rakyat miskin dan para penganggur di seluruh pelosok desa dan kota adalah elemen - elemen bangsa yang tidak mendapat aliran dana atau darah kehidupan yang memadai, karena beratnya tekanan kemiskinan serta rendahnya kualitas dan kapasitas SDM nasional dan minim serta kurang efektifnya program pemerataan, melalui pengembangan ekonomi yang menyangkut dan atau melibatkan hajat hidup rakyat banyak.
Apa risiko bahaya ke depan? Dalam konteks masa depan Indonesia, akan sangat bermanfaat apabila visi 2045 (akhir RPJPN 2025-2045 yang akan datang) dari Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf tersebut di atas dapat dijadikan sebagai titik awal untuk menentukan perangkat solusi dan sekaligus sebagai alat mengevaluasi kinerja pemerintahan ke depan. Untuk itu pada posisi Indonesia dengan penduduk 265 juta jiwa th 2020, kita perlu bertanya dapatkah Misi 5 tahun (2019-2024) pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, menjawab 9 (sembilan) MFMB tersebut di atas yang sifat solusinya membutuhkan visi dan misi pembangunan jangka panjang minimum 40 tahun? Kita berharap, sebagian masalah mungkin dapat teratasi sebagai awal dan pondasi solusi jangka panjang.
Karena itu untuk merumuskan Visi dan Misi pembangunan yang lebih tepat, kita perlu bertanya: apa risiko bahaya yang bisa terjadi jika 9 (sembilan) MFMB tersebut terus berlanjut? Siapapun akan mudah melihat suatu kejadian yang hampir pasti yaitu: “begitu SDAlam tidak terbarukan (migas dan minerba) menipis dan habis, sementara (i) porsi PDB bersumber dari ekonomi berbasis: SDAlam terbarukan (pertanian, peternakan, perikanan dan bioeconomy), dan pengetahuan (ekonomi kreatif) serta industri tidak meningkat secara siknifikan, akan membesar defesit neraca perdagangan; dan dengan (ii) disparitas kesejahteraan dan pembangunan yang nanti semakin merebak; maka investor asing akan resah lalu menarik modalnya ke luar dari Indonesia. Dan tentu saja akibat lanjutnya adalah, bisa berulang krisis moneter dan ekonomi Indonesia 1998. Siapapun di antara kita jelas tidak mau hal itu terjadi karena taruhannya adalah integritas NKRI. Masih bersambung. SEKIAN DULU.