Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melaporkan situasi keamanan jurnalis Indonesia tahun 2022 yang dirilis pada Senin (15/1/2023) bahwa adanya 61 kasus serangan jurnalis sepanjang tahun 2022 yang tercatat dengan 97 korban dari jurnalis, pekerja media, dan 14 organisasi media. Kasus tersebut meningkat sebanyak 43 kasus dari tahun sebelumnya.
Tak hanya itu, catatan dari Committee to Project Journalist (CPJ) juga menambahkan, bahwa sebanyak 721 jurnalis terbunuh sepanjang 10 tahun terakhir. Bahkan, tahun 2023 sedikitnya 5 jurnalis terbunuh dengan motif yang terkonfirmasi dan 3 jurnalis terbunuh dengan motif yang belum terkonfirmasi.
Satu masalah adalah bahwa struktur industri media seperti saat ini telah tertanam sangat dalam di masyarakat kita. Kebijakan dapat menjadi salah satu cara untuk merekonstruksi struktur ini, tetapi ini membutuhkan kerjasama antara pemerintahan yang kuat serta institusi publik yang berfungsi dengan baik.
Terakhir, penggunaan sumber daya media, terutama frekuensi. Media penyiaran, khususnya televisi, bergantung pada alokasi frekuensi. Sudah merupakan rahasia umum bahwa frekuensi dapat diperjualbelikan. Melalui merger dan akuisisi dan pembelian saham, frekuensi dapat berpindah tangan dengan mudah.
Menurut UU Perseroan Terbatas (UU PT) No. 40/2007, perubahan kepemilikan saham adalah sah untuk dilakukan, tetapi di dalam bisnis media penyiaran, hal ini seharusnya dapat dikategorikan sebagai praktik yang ilegal. Dalam bisnis penyiaran, transfer kepemilikan saham menghasilkan perubahan dalam pengendalian atau penggunaan frekuensi yang sebenarnya merupakan barang publik dan dilindungi oleh pemerintah.
Bagaimana media sekarang, jurnalisme konvensional gagap dengan situasi ini. Situasi industri media saat ini adalah media tumbuh sebagai institusi yang berbasis keuntungan. Maka dari itu, kepentingan publik sepertinya hanya menjadi ruang kecil saja dalam media. Satu harapan bagi hak warga negara dalam bermedia muncul melalui kebijakan yang berorientasi-publik. Tetapi, kebijakan yang baik tidak selalu terlaksana dengan baik seringkali peraturan pelaksana yang ada berlawanan dengan UU-nya sendiri, menyebabkan pudarnya semangat kebijakan yang berorientasi publik tersebut. Hal ini dapat diamati dari keterhubungan antara UU Penyiaran No. 32/2002 dan Peraturan Pemerintah PP no. 50/2005.
Masih menjadi pertanyaan apakah media mewakili publik? Sejauh ini apakah media sudah mencerminkan kepentingan publik? Ini adalah beberapa pertanyaan sulit yang membombardir perusahaan-perusahaan media swasta. Kebanyakan bisnis media hidup dari profit dan permintaan pasar yang dihasilkan melalui konten. Memuaskan permintaan ini merupakan kewajiban, meskipun hal ini seringkali harus dilakukan dengan cara memproduksi konten dengan rating tinggi walaupun konten tersebut 'kurang berbudaya' dibanding jenis konten lainnya. Acara-acara berita yang sensasional dan sinetron merupakan contoh nyata dari konten yang kurang membudayakan.
Media Indonesia sangat membutuhkan reformasi mendasar, bukan hanya revitalisasi. Jika arah berkenaan yang ada saat ini terus berlanjut, media akan benar-benar berhenti mendidik dan meningkatkan kebudayaan masyarakat, sebaliknya, media akan menurunkannya menjadi budaya masyarakat yang banal, voyeuristik dan berselera rendah. Reformasi media sendiri tidaklah cukup. Warga negara sendiri juga perlu bertindak dengan media ini. Dimulai dengan literasi media, yaitu cara kita sebagai warga negara melihat media. Industri itu juga dipengaruhi oleh dialektika antara kekuatan politik, masyarakat sendiri dan industri sendiri. Kalau tidak ada publik demand terhadap media yang lebih sehat, dewasa dan yang lebih etis, memang sulit untuk mendorong industri media ini menjadi baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H