Brotowali yang disebut juga cintawali oleh suku Dayak Bahau di Kalimantan Timur adalah tanaman merambat yang banyak ditemui di hutan-hutan tropis di Indonesia.Â
Namun saat ini brotowali sudah banyak dibudidaya oleh masyarakat untuk keperluan pengobatan secara tradisional. Olahan brotowali berupa ekstrak atau air rebusan maupun batang yang sudah dikeringkan disedia oleh penjual jamu tradisional. Pemanfaatan brotowali untuk pengobatan merupakan salah satu kearifan budaya lokal beberapa suku masyarakat di Indonesia.
A. Pengenalan Tanaman Brotowali
Brotowali merupakan tumbuhan menjalar yang memiliki daun berbentuk hati atau jantung berwarna hijau cerah dengan permukaan mengkilat. Tangkai daun brotowali berbentuk bulat dengan panjang rata-rata 10 cm dan berwarna kuning kehijuan.
Batang brotowali dapat mencapai ukuran sebesar ibu jari tangan orang dewasa tetapi rata-rata sebesar jari telunjuk, berwarna hijau terang pada saat muda dan berubah menjadi hijau gelap atau keabu- abuan bahkan kehitaman saat sudah tua.
Batang brotowali banyak memiliki tonjolan-tonjolan kecil yang menyerupai duri tetapi lunak (duri semu) yang awalnya merupakan tempat menempelnya  tangkai daun pada batang, selanjutnya ketika  daun sudah gugur menimbulkan bentuk duri semu tersebut. Akar brotowali adalah akar serabut.
Perbanyakan tanaman brotowali dapat dilakukan dengan mudah menggunakan stek. Tanaman ini cenderung mudah tumbuh dengan subur di daerah yang lembab. Untuk pertumbuhannya tanaman brotowali perlu sedikit naungan (sekitar 30 % - 40 %) dan membutuhkan batang/benda untuk memanjat. Getah tanaman brotowali berwarna bening dan berasa pahit. Makin tua batang brotowali maka getahnya makin terasa pahit.
Klasifikasi tanaman brotowali adalah :
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Ranunculales