Mohon tunggu...
Dara Ginanti
Dara Ginanti Mohon Tunggu... Jurnalis - Sampoerna University - The University of Arizona

A Beginner in Writing

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Cahaya Cinta Pesantren: Novel yang Memberikan Cahaya, Menebarkan Cinta, Namun Tidak Hanya di Pesantren

26 Februari 2018   20:00 Diperbarui: 20 Maret 2018   13:41 13626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin beberapa orang sudah tidak asing lagi mendengar kata "Cahaya Cinta Pesantren". Novel pertama karya Ira Madan bergenre teenlit ini laris di pasaran dan telah diangkat ke layar kaca pada bulan Desember 2016 lalu oleh Raymond Handaya. Tak tanggung - tanggung, artis muda terkenal nan profesional dipilih untuk memerankan film remaja produksi Fullframe Pictures ini seperti Yuki Kato, Vebby Palwinta, Febby Blink, Sivia Blink, Rizky Febian, dan Fachri Muhammad. Berikut adalah rangkuman analisis novel Cahaya Cinta Pesantren yang meliputi unsur intrinsik dan ekstrinsik.

Tema dari novel ini adalah persahabatan. Kisah yang menceritakan kehidupan empat remaja putri di dunia pesantren ini menggabungkan beberapa aspek sosial seperti pendidikan, drama, cinta, dan agama. Adegan - adegan konflik tidak terduga sampai manisnya cinta tergambarkan dengan sangat rapi layaknya kehidupan normal yang dapat membuat pembacanya tersenyum - senyum baper bahkan tertawa terpingkal - pingkal. Beberapa peristiwa mengharukan juga disajikan secara renyah sehingga pembaca ikut tenggelam dalam keterharuan cerita penulis. Berikut adalah bukti tema persahabatan yang dikutip dari novel Cahaya Cinta Pesantren.

Icut tersenyum sembari menghapus air mata yang tersisa di ujung matanya. Aisyah tertawa terkekeh melihat tingkah kami. Ia merngkul Icut lalu mulai memberikan kami sebuah petuah, "Allah Mahabesar dan Maha Mendengar apa pun yang kita inginkan sekarang, kita harus mencapainya dengan doa, ikhtiar, dan usaha, insya Allah kita bisa!" nasihat Aisyah selalu terkesan manis dan keibuan sehingga membuat suasana menjadi hangat. (halaman 66)

Unsur intrinsik berikutnya adalah alur atau plot. Secara keseluruhan novel ini memiliki alur maju atau alur progresif. Pernyataan ini dapat dibuktikan dari urutan peristiwa dalam novel yang latar waktunya tergambarkan maju. Berikut adalah cuplikan singkatnya.

Enam bulan telah berlalu, waktu yang seolah berlalu secara diam - diam sehingga membuat diriku tidak menyadari telah melewatinya. Tanpa terasa masa - masa menjadi pengurus asrama akan usai. (Halaman 151)

Setelah membedah tema dan alur, unsur intrinsik berikutnya yang sama penting adalah tokoh atau penokohan. Tokoh cerita ialah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif. Di dalam novel ini Ira Madan menggambarkan watak tokoh - tokohnya melalui beberapa cara diantaranya melalui percakapan tokoh, perilaku tokoh, pikiran tokoh, maupun menyebutkan secara langsung. Berikut adalah penokohan novel Cahaya Cinta Pesantren beserta bukti dan kutipan - kutipannya secara tertulis.


MarShila Silalahi (Shila)

Marshila Silalahi, gadis asal Medan yang biasa dipanggil Shila ini adalah tokoh utama dalam novel. Shila dikategorikan sebagai tokoh protagonis dengan watak yang cerdas, tegas, teguh pendirian, supel, kreatif, lucu, namun nakal dan bandel. Kita dapat menyimpulkan hal ini dari beberapa bukti yang terdapat di dalam novel, diantaranya:

"Terkadang aku berpikir tentang alasan didirikannya sebuah pesantren. Apakah memang pesantren ada hanya untuk anak - anak 'nakal' sepertiku. Walau sebenarnya, aku sama sekali tidak merasa menjadi anak yang nakal. Bagiku, aku hanya memliki sikap kenakalan yang berbeda tipis dengan kreativitas." (Halaman 17)

"... Namanya MarShila Silalahi. Prestasinya luar biasa. Shila selalu menjadi juara di kelasnya. Selain itu, dia juga sudah khatam Alquran. Namun, ada masalah yang sedikit membuat saya gelisah. Masalahnya anak kami ini agak sedikit nakal, akal - akalannya juga banyak. Jadi, saya takut jika nanti dia dengan sengaja berusaha menggagalkan kelulusannya. ..." (halaman 16)

"... Namanya MarShila Silalahi. Prestasinya luar biasa. Shila selalu menjadi juara di kelasnya. Selain itu, dia juga sudah khatam Alquran. Namun, ada masalah yang sedikit membuat saya gelisah. Masalahnya anak kami ini agak sedikit nakal, akal - akalannya juga banyak. Jadi, saya takut jika nanti dia dengan sengaja berusaha menggagalkan kelulusannya. ..." (halaman 16)

Watak tokoh digambarkan dengan baik oleh penulis hampir melalui semua cara yaitu perilaku, percakapan, isi pikiran, lingkungan kehidupan tokoh, maupun dari pernyataan tokoh lain. Tokoh yang pada akhir cerita tidak terduga nasibnya ini diceritakan jalan hidupnya semenjak remaja hingga dewasa. Dari perjalanannya sampai akhir ajal, perkembangan watak Shila sangat menarik untuk diulas.


Sherli Amanda (Manda)

Wanita berkacamata pelatih kepraamukaan ini tergolong dalam tokoh protagonis dengan karakter polos, lugu, pemalu, cengeng, manja, pesimis, dan penakut. Hal ini dapat terbukti dari perilaku tokoh yang digambarkan dengan sangat sempurna oleh penulis di dalam buku, berikut beberapa cuplikannya:

"Sherli Amanda," Jawabnya dengan sisa isak tangis menyambut tangan icut (Halaman 25)

Sungguh hari tenang yang begitu menyejukkan karena senyuman Manda kala itu membuat hati kami terharu. Betapa tidak, ia selalu ciut dalam belajar, ia lebih sering menangis karena susah memahami pelajaran. (Halaman 39)

Tokoh Manda seringkali digambarkan menangis oleh Ira Madan. Sifatnya yang cengeng, pemalu, pesimis, dan penakut juga dirangkum menjadi satu dalam sambungan cuplikan novel diatas. Manda polos menjadi salah satu sahabat terdekat Shila dimana tokohnya menjadi sorotan karena keunikan wataknya yang kekanak - kanakan namun baik hati dan toleran.


Cut Faradhilah (Icut)

Icut adalah wanita muslim asal Aceh dengan perawakan ramping nan manis, logatnya yang khas terdengar lembut dan mudah dikenali layaknya seorang puteri raja. Icut memiliki watak tegas, kuat, sopan, dewasa, pantang menyerah, dan ambisius. Sahabat Shila ini menjadi orang yang sangat dipercayai oleh sahabat -- sahabatnya, namun di tengah cerita tokoh ini menjadi sangat ambisius dan berkhianat. Walaupun begitu, pada akhirnya Icut kembali menjadi dirinya yang baik dan bersahabat oleh karenanya Icut masih dapat dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Berikut adalah beberapa bukti dari cuplikan novel CCP:

"Harta wakaf tidak boleh diklaim sebagai harta keluarga meski sekadar membanggakannya di depan orang lain," lanjut Icut menuruti jalan pikirannya. (halaman 99)

"... Jadi, seharusnya ia paham dan mengundurkan diri meskipun dipilih karena ia tahu orang yang sebelumnya diutus adalah aku dan memang seharusnya aku atau salah seorang dari kami. Sebab, yang mejabat sebagai bagian informasi dan komunikasi itu adalah kami!" bela Icut mendekati hanum. (Halaman 154)

Cuplikan pertama menggambarkan watak tegas Icut dan kedewasaannya dalam mengambil keputusan. Sifat sopan dan kuat juga tergambar melalui percakapan di halaman 99 tersebut. Jika kita bandingkan dengan cuplikan kedua di halaman 154, tokoh Icut tentulah berbanding lurus. Pada dialog tersebut Icut digambarkan sebagai sosok yang ambisius dan egois. Namun, dibalik konflik yang disebabkan oleh Icut ini, ia kembali menjadi sosok yang baik di akhir cerita.


Aisyah

Sahabat Shila yang satu ini memiliki watak kocak, bijaksana, dan perhatian. Hal ini dapat dibuktikan dari percakapannya dengan tokoh lain dan cara berperilakunya yang kehati -- hatian. Aisyah selalu menjadi penyemangat dan pemanis cerita, candaan -- candaan juga banyak datang dari tokoh ini. Cuplikan novel dibawah menjadi bukti watak tokoh Aisyah sebagai tokoh tritagonis:

"... Jika tidak, habislah kalian dihukum berjalan jongkok dari depan masjid ke taman depan asrama anak baru," repet Aisyah ketika melihat kami masih terduduk manis di atas sajadah. (Halaman 124)

"Wah, ternyata kerja keras Manda tidak sia - sia, ya!" puji Aisyah ke Manda. (Halaman 148)

Aisyah adalah santri yang aktif dan bersemangat. Cuplikan pertama menggambarkan tokohnya yang lucu sedangkan cuplikan kedua membuktikan bahwa Aisyah adalah tokoh yang perhatian dan penyemangat.


Rifqie Al-Farisi

Usdadz muda alumni ponpesberwajah tampan ini menjadi idaman setiap santri putri di Pondok Pesantren Al-Amanah. Mumtazatau nilai istimewa tertinggi dia dapatkan semenjak menempuh pendidikan di pesantren. Karakter dari Rifqie sendiri adalah tegas, pandai, sederhana, pengertian, pekerja keras, serta setia. Berikut adalah cuplikan novel yang menggambarkan kepribadian ustadz Rifqie:

"Nah, ini kawanmu paham," jawab ustadz Rifqie sekejap menatapku dan dalam sekejap itu pula aku menjadi batu es yang membeku.

"Ada lagi?" (Halaman 212)

"Kamu pasti sembuh, Sayang. Adik tidak perlu takut. Aku tidak akan menikah dengan orang lain, aku sangat mencintaimu, Shila! Aku gak mungkin bisa mengkhianati cinta kita. ..." (Halaman 273)

Dari cuplikan percakapan yang pertama kita dapat menyimpulkan bahwa ustadz Rifqie adalah sosok yang tegas dan pekerja keras. Disebutkan pula dalam novel secara lagsung bahwa ustadz Rifqie adalah lulusan terbaik di angkatannya pada saat kelulusan. Selain itu kutipan kedua membuktikan bahwa tokoh ini memiliki sifat yang setia dan pengertian terhadap istrinya. Tokoh ini menjadi bintang utama laki - laki di dalam novel.


Abu Bakar

Laki - laki dengan perawakan kocak ini memiliki sifat romantis, bodoh, pecundang, namun lucu. Abu yang dalam cerita novel telah jauh cinta pada Shila sejak pandangan pertama memberikan bumbu - bumbu manis serta gambaran cinta segitiga yang sempurna antara Shila dan ustadz Rifqie. Berikut adalah cuplikannya:

... Betapa kagetnya aku ketika menyadari bahwa dua orang itu memakai papan nama cokelat, tapi aku hanya menggeleng mengetahui Abu meminta bantuan adik kelas yang empat tahun di bawah kami. Aku memperhatikan papan nama Abu yang tergantung di kantong kemeja. Syukurlah itu berwarna kuning. Jadi, aku tidak mungkin salah orang. Aku memalingkan muka sekejap, lalu tertawa kecil. Tidak salah jika beberapa teman Abu menjulukinya Wong Cemen. (Halaman 176)

Menurutku, Abu Bakar adalah sosok santri yang sangat tampan. Meski prestasi belajarnya amat memprihatinkan, ia tetaplah sahabat seperjuanganku. Aku bisa saja berpura - pura tidak pernah membaca tumpukan surat cintanya kepadaku asalkan ia dapat bersikap biasa - biasa saja. (Halaman 103)

Kutipan pertama menjadi bukti bahwa Abu adalah sosok yang cemen dan kurang keberanian terutama dalam menghadapi wanita idamannya. Meskipun begitu, Abu sebenarnya merupakan sosok yang romantis dan kocak. Semua itu dibuktikan di kutipan novel kedua pada halaman 103. Meskipun bodoh Abu merupakan tokoh yang tampan.


Hj. Savrida Tarigan (Mamak Shila)

Mamak Shila tergolong dalam tokoh protagonis dengan sifat yang keibuan, cerewet, pemikir panjang, namun lucu dan pemarah. Hal ini digambarkan oleh penulis melalui perilaku tokoh. Berikut adalah beberapa bukti watak Hj. Savrida Tarigan sebagai ibu Shila:

Cerewet mamak selalu saja kumat saat aku merajuk jika tidak diizinkan keluar. (Halaman 7)

"Shila, itu Nak Rifqie sudah datang menjemput. Kalau ada apa - apa, telepon Mamak saja biar Mamak yang datang. Jangan terlalu capek. Ingat! Sekarang kandunganmu sudah masuk bulan keempat," tegur mamak. (Halaman 252)

Tokoh Mamak sebagai seorang keturunan Medan yang keras digambarkan dengan baik oleh Ira Madan. Mengingat latar belakang penulis yang juga merupakan keturunan Medan sangat membuat gaya kepenulisan Cahaya Cinta Pesantren ini hidup dan nampak nyata. Sifat Mamak yang cerewet namun keibuan dibuktikan dari cuplikan novel diatas.


H. Abdullah Silalahi (Ayah Shila)

Ayah Shila digambarkan sebagai sosok pekerja keras, penyayang, dan pengertian. Tokoh teladan Shila ini menjadi panutan anak -- anaknya sejak kecil. Berikut adalah bukti watak tokoh Ayah Shila:

... Namun, ayah sangat mengerti aku karena jika sudah begitu dia akan membiarkanku bermain hujan di halaman rumah.... (Halaman 7)

 "Kita di rumah sakit. Shila perlu istirahat yang cukup untuk sementara ini. Jadi, jangan terlalu banyak berpikir ya, Nak!" ujar ayah membelai lembut rambutku. (Halaman 140)

Kedua kutipan diatas menggambarkan sifat tokoh ayah Shila yang sangat dikagumi oleh keluarga besarnya. Bahkan ketika sosoknya sudah tak bernyawa lagi, ayah Shila masih dikenang sebagai tokoh panutan. H. Abdullah Silalahi dengan sifatnya yang kebapakan telah memberikan rasa kekeluargaan yang kental pada novel CCP ini.


Muhammad Faris Audah (Anak Shila)

Faris adalah anak Shila bersama ustadz Rifqie yang saat itu duduk di kelas 4 sekolah dasar. Tokoh ini merupakan sosok pemimpi yang memiliki cita - cita tinggi. Farid adalah anak yang gigih dan berkemauan tinggi serta sangat patuh kepda orang tua. Berikut adalah cuplikan yang membuktikan wataknya sebagai pribadi yang baik dan protagonis:

"... Bunda juga sering cerita kalau ummi Faris orangnya baik banget, pintar banget, cantik banget. Faris mau jadi orang sukses dunia akhirat agar nanti kelak dapat bertemu ummi di surga...." (Halaman 287)

"Faris lagi menulis email buat ummi di laptop baru Faris, siapa tahu teknologi laptop ini canggih dan punya magic sehingga email Faris bisa sampai ke komputer ummi di surga," jelas Farid polos. (Halaman 288)

Email dari sosok ceria buah hati Shila ini menjadi penutup manis novel Cahaya Cinta Pesantren. Meski hanya digambarkan di akhir secara singkat, pembaca tentunya bisa menebak bagaimana nantinya sosok Faris akan tumbuh dewasa.

Setelah mengulas tentang tokoh - tokoh di novel CCP, unsur intrinsik berikutnya yang akan kita bahas adalah tentang latar. Latar ialah penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannya dalam prosa fiksi. Latar sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar suasana. Mari kita ulas satu persatu!

Latar yang pertama adalah latar tempat, latar ini mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Dalam novel Cahaya Cinta Pesantren, latar tempatnya berada di Pondok Pesantren Al-Amanah Medan dan Tokyo Jepang. Berikut adalah potongan novel yang membuktikan latar tersebut:

Disinilah aku sekarang, berdiri di tengah - tengah Rayon Pondok Pesantren Al - Amanah. Kutarik napas panjang saat memasuki kamar yang akan kutempati di minggu karantina calon pelajar baru. (Halaman 21)

Langit menjulang lebar di hadapan indra penglihatan. Terlihat kusam diselimuti awan hitam dan di antaranya diselipkan pancaran sinar halilintar. Menggelegar siangnya Kota Medan. (Halaman 1)

Brrr.... Tubuhku masih saja terusik hawa dingin meski telah dibalut jaket tertebal milikku. "Welcome to Japan!" kata seorang wanita paruh baya yang menatapi kami sejak tadi. Aku tersenyum menanggapinya.... (Halaman 181)

 Suatu malam di tengah kota yang bernama Tokyo ... (Halaman 189)

 Jelasnya panjang lebar dan aku kembali menyandarkan punggungku di sandaran bangku bus dan kembali menikmati panorama Kota Tokyo yang luar biasa. (Halaman 184)

Latar yang kedua adalah latar waktu, latar ini berhubungan dengan masalah 'kapan' terjadinya peristiwa - peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu novel CCP ada pada pagi hari, siang hari, dan malam hari. Dalam kutipan diatas juga telah disebutkan beberapa bukti latar waktu seperti saat "... siangnya Kota Medan..."di halaman 1 dan "suatu malam di tengah kota Tokyo ..." di halaman 189.

Lantas bagaimana dengan latar suasana? Latar suasana berhubungan dengan keadaan saat cerita fiksi sedang berlangsung. Jika kita cermati lagi kutipan diatas, kita sudah dapat menemukan bukti latar suasana dalam novel, yaitu suasana indah luar biasa, suasana dingin, dan mendung. Latar suasana lain yang digambarkan penulis di novel ini adalah suasana sedih, bahagia, dan marah. Berikut adalah bukti dari latar suasana tersebut:

"Senyuman sempurna," batinku berkata. Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya, tapi jujur, hatiku senang melihat wajah yang parasnya seperti itu saat tersenyum. Hanya sebatas senang dan sedikit penasaran siapa sebenarnya dia. Dan ini pertama kalinya aku begitu ingin tahu tentang sosok orang asing. (Halaman 28)

"Ustadz! Saya tidak mengerti, kenapa saya disuruh dengan cara begini? Jelas - jelas Ustadz minta tolong. Kenapa harus menyuruh saya dengan menyentak? Lalu, apa Ustadz tidak tahu jika berat kardus gemuk yang isinya buuk mahal ini sangat berat untuk ukuran wanita? Dan sekarang saya dimarahi pula!" Keluhku menatapnya geram penuh amarah yang meluap - luap. (Halaman 237)

"Shila ...!" jeritan Akhi Rifqie menyentak seluruh sanubari setiap insan yang sejak tadi menunggu Shila kembali di sisi mereka meski harus kecewa diselimuti duka. Baru kali ini Akhi Rifqie menangis sebegitu jadinya. Jika tidak ditenangkan, mungkin bisa menangis secara histeris. (Halaman 285)

Cupikan 1 membuktikan suasana bahagia yang dihadirkan selama di ponpes,sedangkan kutipan kedua menggambarkan suasana marah yang meluap - luap dari seorang Shila. Kutipan di halaman 285 menjadi bukti suasana sedih yang digambarkan pada saat - saat meninggalnya si tokoh utama sebagai ending. Dari semua latar yang telah disebutkan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa novel ini mengambil latar sosial budaya pesantren sebagai dasarnya. Budaya Medan yang keras serta pondasi religi yang kental menjadi kelangkapan latar sosial novel Cahaya Cinta Pesantren karya Ira Madan ini.

Novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama sebagai teknik penyampaian gagasan dan ceritanya. Hal ini dibuktikan dari cara Ira Madan mengemukakan cerita melalui sebutan kata "Aku". Berikut ini adalah kutipannya:

Enam bulan telah berlalu, waktu yang seolah berlalu secara diam - diam sehingga membuat diriku tidak menyadari telah melewatinya. Tanpa terasa masa - masa menjadi pengurus asrama akan usai.

Dengan latar belakang kepesantrenannya, Ira Madan berhasil menyampaikan cerita secara baik. Melalui pemilihan sudut pandang yang tepat. Bahasa ringan dan pemilihan kata yang dikemas unik menjadi keunggulan tersendiri novel terbitan Tinta Medina ini. Selain unsur intrinsik yang telah disebutkan di atas, unsur berikutnya yang akan dibahas ialah unsur ekstrinsik yang meliputi latar belakang

Ira Madanisa terlahir di Kota Medan, kota bandar terbesar di Sumatera. Master jebolan jurusan operasi riset dari Universitas Sumatera Utara (USU) ini adalah seorang guru matematika di Pondok Pesantren Ar - Raudhatul Hasanah Medan. Menulis, traveling, kuliner dan menemukan hal baru merupakan hoby Ira. Bahkan menulis merupakan hoby yang telah ia geluti sejak masih duduk di bangku SD. Baginya menulis sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya sehari-hari

Pengalaman selama di Pesantren wanita asal Karo yang terlahir pada 27 Mei 1987 ini tentu sangat mempengaruhi setiap karya tulisnya, termasuk novel Cahaya Cinta Pesantren. Ira Madan sangat mengerti bagaimana cara membuat pembaca tersenyum - senyum bahkan tertawa saat membaca novel ini. Rasa kebersamaan dan solidaritas para santri di novel ini terkuatkan karena latar belakang penulis yang merupakan alumnus pondok pesantren.

Secara realnaskah ini ditulis oleh tangan Sang Alumnus ponpes yang baru mencoba berbaur di kehidupan luar pondok selama kurang lebih satu setengah tahun. Jadi, ingatan akan kebersamaan di pondok juga kebiasaan yang pernah dirasakan di sana masih sanga kental di benak.

Novel yang dikemas dalam satu gaya tulisan dan cara penceritaan mantan santriwati ini sangat kental dengan perilaku - perilaku sosialnya yang digambarkan dengan menarik. Tak luput juga penulis menyisipkan beberapa kebiasaan masyarakat sekitar lingkungannya yang berciri khas. Berikut adalah kutipan yang mengkuatkan pernyataan tersebut:

'Ramadhan Fair' begitu mereka menyebutnya. Sudah menjadi kebijakan Wali Kota Medan untuk mengadakan bazar akbar di setiap bulan Ramadhan. Perpotongan jalan antara Jalan Sisingamangaraja dan Jalan Brigjen Katamso disulap menjadi pusat jajanan yang ramai dan meriah. Tempat yang selalu enjadi tujuan terfavorit di Kota Medan pada saat bulan Ramadhan. (Halaman 2)

Selain budaya - budaya Medan dan kepesantrenan, unsur - unsur sejarah juga turut disisipkan oleh penulis sehingga dapat menambah pengetahuan pembacanya. Pada halaman 3 contohnya, disana Ira menuliskan sejarah Medan-Deli dengan sangat baik. Kiranya para santri, alumni, dan siapa saja yang pernah merasakan kehidupan menyantri walau sesaat di pondok pesantren mana pun di seluruh penjuru Indonesia, dapat merasakan kembali atmosfer bumi santri di novel Cahaya Cinta Pesantren. Sebab, kebersamaan yang luar biasa dan sistem pendidikan yang membanggakan juga ada di sebuah lembaga bernama pesantren. Novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh siapa saja bahkan bagi yang belum pernah merasakan dunia pesantren sekalipun. Cahaya Cinta Pesantren, novel yang memberikan cahaya, menebarkan cinta, namun tidak hanya di pesantren.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun