Kemacetan lalu lintas telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan perkotaan di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi waktu tempuh dan efisiensi mobilitas, tetapi juga berdampak signifikan pada kondisi psikologis penggunanya. Pertanyaan yang patut diajukan adalah: sejauh mana kemacetan dapat memengaruhi kesehatan mental?
Kemacetan sering kali memicu stres, terutama ketika seseorang berada dalam situasi terburu-buru atau memiliki agenda penting yang harus segera diselesaikan. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour, paparan situasi macet dalam waktu lama dapat meningkatkan hormon kortisol dalam tubuh, yang dikenal sebagai hormon stres. Kondisi ini, jika terus berlanjut, dapat memengaruhi keseimbangan emosional seseorang dan berpotensi menyebabkan gangguan kecemasan.
Selain itu, kemacetan juga dapat menjadi pemicu rasa frustrasi. Perasaan terjebak tanpa solusi sering kali membuat pengendara merasa tidak berdaya. Hal ini diperburuk oleh perilaku pengemudi lain yang tidak disiplin, seperti memotong jalur atau melanggar lampu lalu lintas. Studi yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa situasi seperti ini dapat meningkatkan risiko perilaku agresif, baik secara verbal maupun fisik.
Dampak negatif lainnya adalah kelelahan mental. Bayangkan jika seseorang harus menghadapi perjalanan yang menguras energi selama berjam-jam setiap hari. Rutinitas semacam ini dapat mengurangi kualitas tidur, menurunkan konsentrasi, hingga memicu burnout. Menurut World Health Organization (WHO), stres berkepanjangan akibat situasi seperti kemacetan dapat menjadi salah satu penyebab utama gangguan tidur dan menurunnya kualitas hidup secara keseluruhan.
Namun, tidak semua efek kemacetan bersifat langsung. Beberapa dampaknya bersifat jangka panjang dan lebih sulit terdeteksi. Misalnya, paparan suara bising yang terus-menerus dari klakson dan kendaraan bermotor dapat memengaruhi kesehatan mental secara perlahan. Penelitian yang dipublikasikan di Environmental Health Perspectives menunjukkan bahwa polusi suara dapat meningkatkan risiko depresi, hipertensi, dan gangguan tidur.
Lalu, bagaimana cara mengurangi dampak negatif kemacetan terhadap kesehatan mental? Salah satu solusinya adalah dengan menerapkan manajemen stres yang baik. Misalnya, mendengarkan musik yang menenangkan atau podcast yang inspiratif selama perjalanan. Selain itu, pemerintah juga perlu berperan aktif dalam menyediakan alternatif transportasi yang lebih efisien, seperti transportasi massal yang nyaman dan tepat waktu. Di sisi lain, adopsi teknologi seperti aplikasi navigasi berbasis AI dapat membantu menghindari rute dengan tingkat kemacetan tinggi.
Kemacetan lalu lintas memang tampak sebagai masalah fisik yang sederhana: terlalu banyak kendaraan di jalan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, dampaknya jauh melampaui batas fisik. Kesehatan mental masyarakat menjadi taruhan yang harus diperhatikan dengan serius. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara individu, komunitas, dan pemerintah untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang apakah kemacetan dapat memengaruhi kesehatan mental sebenarnya memiliki jawaban yang jelas: iya. Tantangannya sekarang adalah bagaimana kita dapat memitigasi dampak tersebut agar masyarakat tetap dapat menjalani kehidupan yang sehat dan produktif meskipun berada dalam situasi yang penuh tekanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H