Mohon tunggu...
Sunandar
Sunandar Mohon Tunggu... Petani - Hanya Petani yang menulis

Saya petani, lahir dari pasangan petani. belajar mengabdi dengan pertanian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Petani Negeri Sipil (PeNS), Mengapa Tidak?

22 Mei 2019   13:09 Diperbarui: 22 Mei 2019   13:31 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Konsep PeNS | dokpri

Subtema     : Regenerasi Petani

 

"...Orang Bilang Tanah Kita Tanah Surga,

Tongkat Kayu dan Batu Jadi Tanaman..." 

   Petikan lirik lagu yang dibawakan oleh Koes Ploes Bersaudara diatas menyiratkan kesuburan tanah pertanian kita. Namun ada sebuah kata berkaitan dengan pertanian yang sudah lama disandang Indonesia untuk dipertanyakan, yaitu agraris. Bagaimana tidak dalam sepuluh tahun jumlah rumah tangga petani Indonesia mengalami penurunan dari 31,7 juta jiwa pada 2003 menjadi 26,13 juta jiwa pada tahun 2013 (Kompas, 17/10/2014). Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat terjadi penurunan 1,1% pertahun. Dengan demikian hanya sebagian kecil penduduk Indonesia yang bekerja di bidang pertanian.

   Penurunan juga terjadi di usia penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2004 ada 40,61 juta orang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian dari total penduduk Indonesia. Namun pada 2013, jumlah penduduk usia produktif yang bekerja di sektor pertanian menyusut menjadi 39,96 juta orang (BPS, 2013).

   Ada beberapa faktor penyebab penurunan jumlah petani. Salah satunya adalah tidak sebanding biaya produksi dengan total pendapatan petani ketika panen (Ismanto, 2012). Penderitaan petani yang paling parah terjadi pada tanaman yang sering mengalami puso (Kartaspoetra dan Sumarno, 2013). Kerugian akibat puso ini bisa sampai 100 %. Jika sudah demikian, harapan untung dari pertanian sudah tidak ada dan air mata menjadi penghias keseharian mereka (Kompas, 20/2/2016). Di Sidoarjo, Jawa Timur misalnya, tanaman padi puso karena banjir ketika musim penghujan dan kekeringan ketika musim kemarau hampir setiap tahun. Berbagai upaya petani sudah dilakukan dan belum membuahkan hasil sehingga mereka sangat memerlukan bantuan dari pemerintah. Hal serupa juga terjadi di Sumatera Selatan karena banjir bandang yang menyerang lahan petani mengakibatkan gagal panen, di Riau tanaman padi seluas 4.000 hektar juga puso karena banjir (Kompas, 20/2/2016).

   Kita lihat dari luas lahan yang tidak optimal juga cukup besar. Tahun 2012 luas sawah produktif 8.132.345, 91 hektar, lahan tegal dengan luas 11.949.727,00 hektar, lahan ladang 5.260.081, 00 hektar, dan lahan sementara yang tidak diusahakan seluas 14.252.383, 00 hektar (Kemtan, 2013). Berdasarkan data tersebut, maka luas lahan pertanian yang tidak diusahakan lebih luas dibandingkan dengan lahan persawahan yang produktif. Artinya minat masyarakat Indonesia terhadap sektor pertanian semakin menurun. Permasalahan lain adalah tingginya tingkat kemiskinan Indonesia yaitu 28 juta per Maret 2013 yang sebagian besar berada di pedesaan yaitu 17, 7 (Litbang Kemtan, 2013). Padahal sebagian besar penduduk desa bekerja sebagai petani (BPS, 2013), Namun sumbangan pertanian terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) hanya 14, 10% (BPS, 2019).

   Di Eropa kegiatan pertanian dilakukan dengan bantuan mesin, bahkan di beberapa wilayah semua pekerjaan pertanian dikerjakan dengan mesin. Hal ini (mekanisasi) sudah berlangsung lama sejak revolusi pertanian diterapkan di Eropa. Alasan sederhana dikarenakan luas wilayah pertanian yang cukup besar dan alasan urgensinya karena masyarakat mau menerima inovasi dengan dasar penghematan tenaga kerja untuk input produksi (Chapko, 2014). Apabila konsep ini diterapkan di Indonesia, maka kita harus meyakinkan masyarakat bahwa dengan teknologi permasalahan pertanian dapat diselesaikan.  Di Thailand, system pertanian Good Agricultural Practices (GAP) diterapkan sebagai langkah untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Penelitian Pongvinyoo et. al. 2014 menyebutkan bahwa petani belum siap menerapkan GAP karena tidak ada controlling dari petugas penyuluh pertanian dan pemuda tidak dilibatkan dalam perkemabngan GAP, akibatnya transfer informasi menjadi terhambat dan hasil GAP tidak terlihat.

   Sebenarnya masalah tersebut dapat teratasi dengan memanfaatkan inovasi dari mahasiswa/ ilmuwan pertanian. Setiap tahun tidak kurang dari 500 inovasi yang tercipta dari tangan mahasiswa, bahkan apabila digabungkan dengan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) terdapat 900 inovasi di bidang pertanian. Namun sayang, sampai saat ini masih kurang dari 40 inovasi yang dimanfaatkan (Kompas, 17/2/2016). Hal inilah yang mengakibatkan lulusan Perguruan Tinggi kurang termanfaatkan dan mengganggur setelah wisuda, padahal mereka memiliki  inovasi yang sebenarnya sangat berguna bagi dunia pertanian. Di Jawa Timur sendiri, terdapat 100 inovasi mahasiswa di bidang pertanian pertahun namun hanya 20 yang dapat termanfaatkan, salah satunya adalah pemberantas hama ulat daun dengan pestisida alami (Jawa Pos, 22/2/2016).

   Fakta bahwa generasi muda tidak tertarik pada pertanian bisa kita lihat di kota dengan wisata buatan dan sumber pendapatan dari pertanian yaitu Kota Batu Jawa Timur. Dinas Pertanian Kota Batu menyatakan hanya 1 % generasi muda Kota Batu yang tertarik untuk menjadi petani, padahal 70 % orang tua mereka bekerja sebagai petani (Harian Surya, 15/1/2016). Hal ini disebabkan generasi muda kita tidak di kenalkan pertanian sejak dini dalam lingkup sekolah (Balingtan, 2014). Alasan lain karena akses dalam bertani juga kurang dan pemerintah belum memberi ruang khusus untuk pemuda berkarya di bidang pertanian (Tempo.co, 25/04/2017) sehingga terkesan bidang pertanian itu tidak menarik (Kompas, 10/1/2018).

   Dari permasalahan dan data diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas dan kesejahteraan petani kita masih sangat kurang termasuk minat generasi muda terhadap pertanian. Solusinya adalah kembali pada pertanian. Dimana pertanian dioptimalkan kembali sedini mungkin, yang mencakup berbagai kegiatan kepada petani saat ini dan petani muda/ calon petani serta generasi muda agar lebih tertark kepada pertanian. Oleh karena itu saya menggagas mengenai kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan kesejahteraan petani dalam sebuah program terpadu yaitu Petani Negeri Sipil (PeNS).

   Alasan mengapa petani harus disejahterakan dengan PeNS adalah pertama, petani merupakan pahlawan pangan Indonesia (Basrawida dan Juwariyah, 2010). Kedua, petani kita selama bertahun-tahun selalu mengalami kerugian yang cukup besar dalam bertani (Farhani, 2009). Ketiga, kurang tepat sasaran kebijakan pemerintah dalam menyejahterakan petani (Surjadi, 2008). Keempat, target swasembada pangan pemerintah pada 2017. Dengan pemberdayaan petani pembangunan pedesaan akan mudah dilakukan karena sebagian besar penduduk desa bekerja dibidang pertanian (Arsyad, 2011).

Konsep PeNS seperti bagan dibawah ini :

PeNS efektif berjalan dalam dua fungsi. Petani untuk saat ini yaitu kebijakan yang harus segera dilakukan apabila PeNS diterapkan dan sarjana/ ilmuwan pertanian untuk lebih jauh yaitu mereka yang berhasil mengembangkan ilmu pertanian dan dapat meningkatkan mutu dan hasil pertanian.

Pihak-Pihak Terkait dan Perannya dalam Implementasikan PeNS

  PeNS merupakan langkah strategis untuk mewujudkan Indonesia sejahtera yang dimulai dari petani. Pihak terkait dan uraian perannya sebagai berikut:

  1.  Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dengan membuat aturan khusus tentang PeNS yang diwujudkan dalam PP atau Kepres untuk selanjutnya diteruskan dan dilaksanakan oleh setiap provinsi dan kabupaten/ kota. 
  2.  Kementrian dan Dinas Pertanian dengan bertanggung jawab utama mewakili pemerintah yang dimaksudkan membuat rencana jangka panjang, menengah dan pendek program PeNS sekaligus penyiapan anggaran untuk PeNS. Anggaran ini disesuaikan berdasar potensi tiap daerah. Kebijakan tersebut bertujuan untuk memetakan potensi pangan unggulan masing-masing daerah. Selain penyedia  anggaran fungsi selanjutnya adalah mensosialisasikan PeNS. 
  3. Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Pemberdayaan Aparatur Sipil Negara. Kemendagri berfugsi sebagai pencatat keberhasilan program PeNS dari waktu kewaktu. Kementerian Pemberdayaan APSR lebih difokuskan pengawasan kinerja petani/ilmuwan yang tercatat sebagai PeNS. 
  4. Petani, Mahasiswa/ Ilmuwan Pertanian dan Akademisi. Petani dan mahasiswa/ ilmuwan pertanian merupakan stake holder program PeNS. Langkah implementasi PeNS seperti bagan dibawah ini :

Gambar 2. Bagan Tahapan PeNS | dokpri
Gambar 2. Bagan Tahapan PeNS | dokpri

   Tahap pengimplementasian PeNS terbagi menjadi tiga. Pertama, sosialisasi oleh pemerintah. Sosialisasi kepada petani melalui penyuluh pertanian. Penyuluh  memberikan pemahaman mengenai PeNS kepada petani secara umum dan pendataan petani serta potensi pangan lokal daerah tersebut. Untuk sarjana pertanian, sosialisasi dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi yang memiliki fakultas pertanian. Kedua, Petani. Batas usia dari 17-50 tahun dan merupakan petani menengah kebawah. Syarat utama untuk petani adalah bertani komoditas unggulan berdasarkan ciri khas daerahnya dengan target hasil yang ditentukan bersama pemerintah. Apabila hasil panen melebihi target maka hasil tersebut merupakan hak petani. PeNS pada petani lebih dimaksudkan agar pemerintah lebih menyerap produk pertanian dalam negeri dan hasil panen petani dapat terjual lebih tinggi. Audit untuk petani setiap dua tahun sekali berdasarkan target yang ditentukan. 

Ketiga, sarjana/ ilmuwan pertanian yang memiliki inovasi pengembangan pertanian mendaftar kepada dinas pertanian. Syarat yang harus dipenuhi antara lain memiliki inovasi pertanian yang dapat diterapkan pada komoditas tertentu dan dibuktikan dengan sertifikasi. Untuk inovasi yang bersifat lokal sangat ditekankan (putra daerah) karena lebih memahami daerah asalnya. Apabila diterima sebagai PeNS, sarjana pertanian disebut inovator yang memilki kewajiban meneliti dan mengembangkan pertanian di daerah tersebut yang diwujudkan dengan kartu tanda PeNS yang diaudit setiap satu tahun sekali berdasar penerapan inovasi dan pengembangannya.

    Selanjutnya dengan memanfaatkan kartu tani yang sudah digarap pemerintah, petani yang terdaftar dalam PeNS akan memiliki Nomor Induk Anggota (NIA) PeNS yang terintegrasi PeNS. Kartu ini memiliki barkode yang didalamnya berisi semua data masing-masing individu/ kelompok. Termasuk jenis tanaman yang diusahakan, varietas, luasan lahan yang diusahakan, jenis petani (petani/buruh tani) dan kebutuhan pertanian seperti pupuk, pestisida, benih dan bantuan pembinaan. Dalam hal perkembangan PeNS kartu ini berfungsi semacam ATM. 

Oleh karena itu, dalam kesempatam lain perlu dibuat mesin ATM khusus petani untuk menunjang PeNS. Dimana mesin ATM tersebut dibedakan berdasar fungsi kebutuhan petani dari benih, pupuk dan pestisida. Tentu hal ini memerlukan sarana dan kebijakan lain namun akan lebih efisien dan tepat dalam pemenuhan kebutuhan petani. Strategi ini akan mudah diterapkan karena generasi muda memang bergerak ke digitalisasi (Media Indonesia, 9/3/2018)

   Sebagai langkah strategis mempersiapkan generasi muda mengenal dan mencintai pertanian melalui PeNS maka perlu dimasukannya pertanian dalam kurikulum pendidikan (jangka panjang). Urgensinya ketika mereka sudah mempelajari pertanian sejak dini maka akan mudah dalam mengaplikasikan pertanian dilingkungan sekitarnya. Termasuk memperbaiki persepsi pertanian dengan memanfaatkan teknologi. Karena sudah saatnya kita berhenti menyepelekan pertanian, Indonesia maju dan jaya melalui pertanian!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun