Subtema   : Regenerasi Petani
Â
"...Orang Bilang Tanah Kita Tanah Surga,
Tongkat Kayu dan Batu Jadi Tanaman..."Â
  Petikan lirik lagu yang dibawakan oleh Koes Ploes Bersaudara diatas menyiratkan kesuburan tanah pertanian kita. Namun ada sebuah kata berkaitan dengan pertanian yang sudah lama disandang Indonesia untuk dipertanyakan, yaitu agraris. Bagaimana tidak dalam sepuluh tahun jumlah rumah tangga petani Indonesia mengalami penurunan dari 31,7 juta jiwa pada 2003 menjadi 26,13 juta jiwa pada tahun 2013 (Kompas, 17/10/2014). Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat terjadi penurunan 1,1% pertahun. Dengan demikian hanya sebagian kecil penduduk Indonesia yang bekerja di bidang pertanian.
  Penurunan juga terjadi di usia penduduk yang bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2004 ada 40,61 juta orang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian dari total penduduk Indonesia. Namun pada 2013, jumlah penduduk usia produktif yang bekerja di sektor pertanian menyusut menjadi 39,96 juta orang (BPS, 2013).
  Ada beberapa faktor penyebab penurunan jumlah petani. Salah satunya adalah tidak sebanding biaya produksi dengan total pendapatan petani ketika panen (Ismanto, 2012). Penderitaan petani yang paling parah terjadi pada tanaman yang sering mengalami puso (Kartaspoetra dan Sumarno, 2013). Kerugian akibat puso ini bisa sampai 100 %. Jika sudah demikian, harapan untung dari pertanian sudah tidak ada dan air mata menjadi penghias keseharian mereka (Kompas, 20/2/2016). Di Sidoarjo, Jawa Timur misalnya, tanaman padi puso karena banjir ketika musim penghujan dan kekeringan ketika musim kemarau hampir setiap tahun. Berbagai upaya petani sudah dilakukan dan belum membuahkan hasil sehingga mereka sangat memerlukan bantuan dari pemerintah. Hal serupa juga terjadi di Sumatera Selatan karena banjir bandang yang menyerang lahan petani mengakibatkan gagal panen, di Riau tanaman padi seluas 4.000 hektar juga puso karena banjir (Kompas, 20/2/2016).
  Kita lihat dari luas lahan yang tidak optimal juga cukup besar. Tahun 2012 luas sawah produktif 8.132.345, 91 hektar, lahan tegal dengan luas 11.949.727,00 hektar, lahan ladang 5.260.081, 00 hektar, dan lahan sementara yang tidak diusahakan seluas 14.252.383, 00 hektar (Kemtan, 2013). Berdasarkan data tersebut, maka luas lahan pertanian yang tidak diusahakan lebih luas dibandingkan dengan lahan persawahan yang produktif. Artinya minat masyarakat Indonesia terhadap sektor pertanian semakin menurun. Permasalahan lain adalah tingginya tingkat kemiskinan Indonesia yaitu 28 juta per Maret 2013 yang sebagian besar berada di pedesaan yaitu 17, 7 (Litbang Kemtan, 2013). Padahal sebagian besar penduduk desa bekerja sebagai petani (BPS, 2013), Namun sumbangan pertanian terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) hanya 14, 10% (BPS, 2019).
  Di Eropa kegiatan pertanian dilakukan dengan bantuan mesin, bahkan di beberapa wilayah semua pekerjaan pertanian dikerjakan dengan mesin. Hal ini (mekanisasi) sudah berlangsung lama sejak revolusi pertanian diterapkan di Eropa. Alasan sederhana dikarenakan luas wilayah pertanian yang cukup besar dan alasan urgensinya karena masyarakat mau menerima inovasi dengan dasar penghematan tenaga kerja untuk input produksi (Chapko, 2014). Apabila konsep ini diterapkan di Indonesia, maka kita harus meyakinkan masyarakat bahwa dengan teknologi permasalahan pertanian dapat diselesaikan.  Di Thailand, system pertanian Good Agricultural Practices (GAP) diterapkan sebagai langkah untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Penelitian Pongvinyoo et. al. 2014 menyebutkan bahwa petani belum siap menerapkan GAP karena tidak ada controlling dari petugas penyuluh pertanian dan pemuda tidak dilibatkan dalam perkemabngan GAP, akibatnya transfer informasi menjadi terhambat dan hasil GAP tidak terlihat.
  Sebenarnya masalah tersebut dapat teratasi dengan memanfaatkan inovasi dari mahasiswa/ ilmuwan pertanian. Setiap tahun tidak kurang dari 500 inovasi yang tercipta dari tangan mahasiswa, bahkan apabila digabungkan dengan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) terdapat 900 inovasi di bidang pertanian. Namun sayang, sampai saat ini masih kurang dari 40 inovasi yang dimanfaatkan (Kompas, 17/2/2016). Hal inilah yang mengakibatkan lulusan Perguruan Tinggi kurang termanfaatkan dan mengganggur setelah wisuda, padahal mereka memiliki  inovasi yang sebenarnya sangat berguna bagi dunia pertanian. Di Jawa Timur sendiri, terdapat 100 inovasi mahasiswa di bidang pertanian pertahun namun hanya 20 yang dapat termanfaatkan, salah satunya adalah pemberantas hama ulat daun dengan pestisida alami (Jawa Pos, 22/2/2016).
  Fakta bahwa generasi muda tidak tertarik pada pertanian bisa kita lihat di kota dengan wisata buatan dan sumber pendapatan dari pertanian yaitu Kota Batu Jawa Timur. Dinas Pertanian Kota Batu menyatakan hanya 1 % generasi muda Kota Batu yang tertarik untuk menjadi petani, padahal 70 % orang tua mereka bekerja sebagai petani (Harian Surya, 15/1/2016). Hal ini disebabkan generasi muda kita tidak di kenalkan pertanian sejak dini dalam lingkup sekolah (Balingtan, 2014). Alasan lain karena akses dalam bertani juga kurang dan pemerintah belum memberi ruang khusus untuk pemuda berkarya di bidang pertanian (Tempo.co, 25/04/2017) sehingga terkesan bidang pertanian itu tidak menarik (Kompas, 10/1/2018).