Hal lain yang dikhawatirkan dengan dilakukannya printing money adalah, tidak mampunya bank sentral untuk menyerap kembali uang yang telah diedarkan kepada masyarakat tentu hal ini menyebabkan defisit APBN negara akan membengkak. Bukan hanya itu, apabila kebijakan printing money tetap dijalankan di tengah kondisi pemeritahan yang masih banyak kemelut dengan KKN akan sangat berbahaya dan merugikan negara secara besar-besaran.
Bagi pendukung teori MMT mungkin tidak mempermasalahkan masalah tingkat inflasi bagi suatu negara. Karena menurut mereka bahwa tingkat inflasi negara dapat dikontrol melalui penarikan uang melalui pungutan pajak oleh negara. Padahal jika didasarkan pada fakta di lapangan pemerintah Indonesia sendiri masih belum mampu memaksimalakan penyerapan dana yang bersumber dari pajak rakyat. Hal itu terlihat dari kontribusi pajak untuk APBN negara yang masih jauh dari harapan.
Adapun kesimpulan yang dapat diambil disini adalah, ketika perekonomian NKRI sedang mengalami keterpurukan akibat dihantam oleh pandemi COVID-19 bukan suatu hal yang tepat bagi pemerintah untuk melakukan kebijakan printing money guna menutup defisit APBN negara.
Perlu dicermati kembali bahwa dampak printing money adalah negara harus siap berperang dengan gejolak inflaysi yang sangat sulit dikendalikan terlebih untuk nilai mata uang rupiah yang nilainya tidak seberapa kuat jika dibanding dengan Dollar AS. Gagasan  printing money nampaknya perlu dikaji lebih mendalam lagi terlebih melihat situasi saat ini yang penuh ketidakpastiaan, serta kurang kredibelnya kinerja pemerintah yang menjabat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI