Gagasan printing money kembali mencuat kehadapan publik, kali ini dilontarkan kembali oleh Dewan Anggaran (Danggar) DPR yang mengusulkan kepada pemerintah agar BI selaku bank sentral Indonesia melakukan printing money sebesar 400-600T guna menyelamatkan perekonomian Indonesia dari dampak COVID-19. Akan tetapi, belum saja dibicarakan secara lebih mendalam bersama pihak BI gagasan tersebut langsung ditolak mentah-mentah oleh Perry Warjiyo selaku Gubernur BI.
"Sekarang kita mendengar ada sejumlah pendangan, untuk mengatasi COVID-19 ini BI cetak uang saja kemudian dikucurkan ke masyarakat, tidak usah khawatir. Ini mohon ya, pandangan-pandangan seperti itu tidak sejalan dengan praktik moneter yang lazim. Mohon maaf, supaya masyarakat tidak tambah bingung" Ungkap Perry Warjiyo Rabu (6/5/2020). Ternyata beliau memiliki alasan tersendiri dibalik penolakan atas gagasan DPR tersebut.
Sebelum kita membahas lebih lanjut masalah printing money, akan lebih baik jika terlebih dahulu sedikit memahami tentang konsep MMT (Modern Monetary Theory) yang dicetuskan oleh Warren Mosler dan bahkan konsep ini digadang-gadang sebagai bentuk New Economic Model. MMT inilah yang kemudian menjadi dasar dilakukannya kebijakan printing money.
Lalu apa itu MMT, MMT atau Modern Monetary Theory merupakan suatu konsep ekonomi yang memandang bahwa pemerintah dengan sistem uang fiat dapat mencetak uang sebanyak-banyaknya sebesar yang diperlukanguna mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara, mendorong sektor UMKM, mendistorsi beban utang pemerintah, serta mendorong perluasan lapangan pekerjaan.
Dengan adanya sistem tersebut memungkinkan bagi suatu pemerintah untuk dapat mengontrol mata uang mereka sendiri. Gagasan ini pulalah yang menjadi dasar bagi suatu negara untuk dapat melakukan printing money.
Ada beberapa negara yang dinilai sukses menjalankan sistem ini, salah satunya yaitu Tiongkok. Tiongkok merupakan negara yang menerapkan kebijakan printing money berbasis proyek, yang mana uang yang dicetak oleh pemerintah tidak dimaksudkan untuk diedarkan secara langsung kepada masyarakat melainkan digunakan untuk mendanai proyek-proyek manufaktur. Hal ini terbukti berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang semula hanya 3% meningkat menjadi sebesar 13% pertahunnya dan bahkan sekarang membuat negara Tiongkok menjadi negara maju dan terdepan dalam bidang manufaktur.
Lalu bagaimana peluangnya jika kebijakan printing money ini diterapkan di Indonesia. Sejumlah ahli ekonom konvensional Indonesia seperti Menkeu Sri Mulyani, Rizal Ramli dan yang lainnya secara tegas menetang gagasan adanya kebijakan untuk melakukan printing money dikala pandemi. Kebijakan printing money dinilai tidak bisa digunakan sebagi solusi jangka pendek dan malah justru akan memperkeruh dan membahayakan perekonomian Indonesia.
Bukan hanya itu kebijakan printing money juga dapat berpotensi mengulang kembali kejadian BLBI di tahun1998 dan krisis ekonomi di negara Zimbabwe yang diakibatkan karena tingginya tingkat inflasi negara. Ya tentu kita juga tahu sendiri bahwa dampak nyata dijalankannya kebijakan printing money adalah negara harus bersiap menghadapi gejolak inflasi tentu hal ini yang mejadi kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah Indonesia.
Bagi negara Indonesia dengan tingginya tingkat inflasi negara bisa menjadi boomerang yang dapat menghancurkan perekonomian Indonesia. Pasalnya,jika printing money dilakukan secara besar-besaran akan membuat peredaran rupiah menjadi tidak terkendali yang nantinya berakibat pada meningkatnya daya konsumsi masyarakat dan membuat kuantitas barang yang ada dipasaran menjadi berkurang.
Hal tersebut dapat memicu terjadinya kenaikan yang sangat tajam terhadap harga barang pasar sekaligus menyebabkan nilai tukar rupiah menjadi turun serta meningkatkan tingkat suku bunga bank. Jika hal tersebut terjadi secara berkepanjangan bukan tidak mungkin bagi Indonesia akan kembali mengalami krisis ekonomi.