Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Pagi Bersama Cantika

7 Maret 2024   08:31 Diperbarui: 7 Maret 2024   08:35 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            "69 ke bawah dianggap fungsi intelektualnya rendah. 130 ke atas disebut very superior. Tes tersebut pun tidak dapat dianggap sebagai penentu kecerdasan, karena terfokus kepada aspek kognitif. Pada kenyataannya, kecerdasan seseorang bukan hanya ditentukan pada kemampuan logika dan penalaran. Ada juga orang yang lebih cerdas kreativitasnya, spiritualnya, empatinya, dan  sosialnya.  Untuk kecerdasan tersebut belum dapat diukur menggunakan tes IQ. Lagipula skor tes IQ bisa berubah-ubah bergantung lingkungan, akses pendidikan, juga waktu. Lagipula otak manusia pun telah berevolusi menjadi sedemikian kompleks, sehingga tes IQ bisa saja menjadi tidak relevan. Selain itu, manusia pun bisa memiliki beberapa kecerdasan, kan?"

            "Lagipula, IQ tinggi juga tidak berarti terbebas dari gangguan mental jika kecerdasan emosi dan spiritualnya kurang terasah. Untuk emosi pun belum ada alat ukur yang pasti,"kataku sambil membuka gawai dengan cepat, sebelum ia yang mengatakannya. Aku masih tidak segera beranjak dari perpustakaan padahal sudah jam istirahat, jadwalku untuk melakukan PDKT kepada Deandra.

            "Lalu, cara apa yang akurat untuk meningkatkan kecerdasan spiritual, emosi, dan kognitif?"tanyaku.

            "Mengapa harus ditanyakan sih? Tentu saja dengan pembiasaanlah. Membiasakan diri mengasah empati, mau memahami perasaan orang lain, mengasah rasa kasih sayang, tidak lagi bercita-cita menjadi player...

            "Lho, kok menyindir sih?"tanyaku sambil tersenyum-senyum merasa tersentil.

            "Siapa yang menyindir? Kamu saja yang merasa tersentil. Dasar tengil,"katanya sambil tertawa.

            "Pembiasaan untuk cerdas kognitif, apa saja, selain ngendon di perpustakaan seperti Kamu sepagi ini?"

            "Banyak tentunya. Ada bermain catur, bermain gitar, belajar bahasa asing...

            Bel masuk pun berbunyi. Kami segera beranjak dari perpustakaan menuju kelas masing-masing. Anehnya, aku menuju kelas sambil terbayang-bayang Cantika, terlebih kata tengil yang dilontarkan kepadaku, membuatku penasaran untuk membuktikan bahwa aku tidak begitu.

Dokpri
Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun