Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Love

Datuk Meringgih, Cinta atau Obsesi?

22 Februari 2024   19:27 Diperbarui: 22 Februari 2024   19:29 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Bahwa novel Siti Nurbaya merupakan novel Angkatan Balai Pustaka yang diterbitkan tahun 1922 karya Marah Rusli, tentu bukan hal rahasia. Bahwa novel tersebut membahas cinta yang diberikan Samsul Bahri dan Datuk Meringgih kepada Sitti Nurbaya, juga bukan hal yang rahasia. Akan tetapi, samakah cinta yang diberikan Datuk Meringgih dengan cinta Samsulbahri kepada Sitti Nurbaya? Bagaimana cinta ala Datuk Meringgih?

Bahwa  Sitti Nurbaya tidak mencintai Datuk Meringgih semua pembaca maupun pendengar tentu sudah tahu. Hal yang juga diperkuat kutipan-kutipan sebagai berikut.

"Aku tahu Nur, bahwa engkau tidak suka kepada Datuk Maringgih," kata ayahku pada malam itu kepadaku. "Pertama umurnya telah tua, kedua karena rupanya tak elok, ketiga karena tabiatnya yang keji" Selanjutnya sang ayah berkata, "Aku tahu hatimu pada Samsu dan hatinya kepadamu. Aku pun tiada lain, melainkan itulah yang aku cita-citakan dan kuharapkan siang dan malam, yakni akan melihat engkau duduk bersama-sama dengan Samsu kelak, karena ialah jodohmu yang sebanding dengan engkau...Nurbaya, sekali-kali aku tiada berniat, hendak memaksa engkau....(Rusli, 1922:137)

 Cuplikan di atas memperlihatkan penderitaan ayah Siti Nurbaya, Baginda Sulaiman, saat meminta kesediaan anaknya untuk membantu keluarga mereka keluar dari cengkraman jahat Datuk Maringgih. Namun, akhirnya Nur bersedia menikah karena tidak tahan melihat sang ayah digiring oleh petugas Belanda. Hal itu bisa terlihat dari sebait cuplikan ini,

"...Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku, lalu berteriak, "Jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku menjadi istri Datuk Maringgih!"..." (Rusli, 1922:139)

Pernikahan atas dasar berkorban kepada orangtua, dalam hal Sitti Nurbaya ia berkorban karena ayahnya berutang kepada Datuk Maringgih. Dalam tradisi patriarki, pengorbanan seorang anak perempuan untuk menikah tidak melulu karena ayahnya terlilit utang. Rasa malu memiliki anak yang telah cukup umur untuk dinikahkan pun dapat dianggap sebagai pengorbanan anak kepada orangtua, dan hal ini bukan masalah asing karena seringkali dijalani kaum perempuan dari masa ke masa.

 Adakalanya mereka dapat bertahan sampai tua kendati merasa menderita dan harus membantu mencari nafkah pula. Adapula yang berusaha melepaskan diri seperti yang dilakukan Sitti Nurbaya setelah mengatakan bahwa utang ayahnya kepada Datuk Maringgih dianggap lunas setelah ayahnya meninggal dunia. 

Datuk Meringgih tidak membiarkan Sitti Nurbaya terlepas begitu saja. Mengapa? Bukankah ia memiliki banyak isteri? Secara psikologis pun, seseorang yang merasa tidak lagi dicintai, tentu rasa cintanya menghilang, bukan malah memaksa seperti Datuk Maringgih. Cinta apakah yang dimiliki Datuk Meringgih? Cinta atau Obsesi?

Obsesi, menurut KBBI daring adalah gangguan jiwa berupa  pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan". Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM 5) yang dikutip dari Pinkan (2018), ilmu acuan psikologi dan psikiatri, di dalamnya terdapat gangguan  obsesif-kompulsif, ditandai dengan pikiran, bayangan, dan dorongan melakukan suatu tindakan sehingga menimbulkan kecemasan, misalnya berkeinginan mengelilingi rumahnya sebelum bepergian. Keinginan yang mencemaskan jika tidak dipenuhi. Oleh karena itu, demi pereda kecemasan mereka pun berkompulsi yaitu melakukan tindakan berulang.

Demikian pula sesuai pendapat Pinkan (2017) kata obsesi dalam masalah ini dianggap sebagai gangguan, meskipun tidak ada "obsesi cinta" dalam dalam DSM 5. Namun, obsesi berkaitan dengan suka dan cinta dapat dianggap satu di antara ciri gangguan kepribadian borderline, erotomania atau delusi tentuang cinta atau gangguan pada attachment.

Dalam hubungan, obsesi dapat diartikan sebagai pikiran terhadap objek cinta. Bayangan dan dorongan yang sulit dihilangkan untuk menjalin hubungan dengan objek cinta. oleh karena itu, seseorang yang terobsesi dengan "objek cinta"nya akan berusaha keras untuk menekan atau menghilangkan bayangan dan dorongan tersebut.

Salah satu cara menghilangkannya ialah dengan mengejar dan berusaha mendekati sang "objek cinta". Dengan mengejar maka orang tersebut menjadi sedikit lega sesaat. Tapi tidak menghilangkan obsesinya. Sehingga ia akan melakukan perilaku mengejar tersebut secara berulang-ulang karena tidak bisa menerima penolakan.

Hal yang serupa pun dilakukan Datuk Meringgih terhadap Sitti Nurbaya, bukan? Ia yang kaya raya dan banyak isteri, begitu melihat remaja belia anak rekan bisnisnya,'Baginda Sulaiman', spontan mencoba melamarnya. Tatkala pinangan tersebut ditolak, tekatnya tak surut, malah mencari upaya mendapatkan Sitti Nurbaya dengan cara menghancurkan bisnis ayahnya, agar kemauannya terpenuhi. Benar-benar hasrat yang tak dapat menerima penolakan.

Apakah upaya Datuk dapat dianggap mirip dengan pengorbanan cinta? Bukankah saat seseorang jatuh cinta, ia terus menerus memikirkan kekasihnya, dan akan berjuang untuk bertemu? Saat jatuh cinta, memang ada fase kita sering memikirkannya serta terus ingin berdua. Fase yang sangat wajar dan telah dicontohkan dalam film. Sangat mirip dengan terobsesi, bukan?

Akan tetapi, antara obsesi dengan cinta tetap berbeda. Hubungan sehat yang dilandasi cinta bukan saja dipenuhi hasrat ingin bertemu, tetapi juga diwarnai kedekatan emosional dengan yang dicintai. Saat jatuh cinta, seseorang mulai nyaman berbagi, menunjukkan rasa kasih sayang dan mendukung kekasihnya. Hasilnya, ia makin memahami diri sang kekasih.

Sedemikian memahami, sehingga manakala suatu saat nanti si kekasih tak bisa menemani karena satu dan lain hal yang juga penting baginya, cinta akan membebaskan pasangannya, bahkan mendukung si pasangan untuk meraih mimpi, kendati harus berpisah demi kebahagiaan pasangan.

Akan halnya obsesi, ia jelas-jelas tidak bisa menerima penolakan. Bagi orang yang terobsesi dengan objek cintanya, penolakan sangat menyakitkan karena ia cenderung menggantungkan dirinya ke si objek cinta.

Orang yang terobsesi akan selalu berupaya melakukan usaha mendekati objek cinta, untuk kepentingannya sendiri, agar merasa lega, entah demi kebanggaan karena yang diburu sosok bergengsi, kebergantungan secara ekonomi karena yang diincar bermasa depan cerah, maupun telanjur malu karena sudah menyebar undangan.

Penderita obsesif tidak peduli, apakah si objek cinta suka atau tidak, nyaman atau tidak. Bahkan, tak segan melanggar privasi si objek cinta, dengan cara stalking atau membuka telepon genggam tanpa sepengetahuan pemilik. Bukankah perilaku Datuk Meringgih pun demikian? Entah kebanggaan dapat meraih daun muda anak sahabatnya ataukah penasaran yang tak terhingga, yang pasti Datuk tidak memerlukan bertanya kepada Sitti, cintakah? Maukah? Sitti Nurbaya harus menuruti, apa pun caranya. Titik.

Orang yang terobsesi juga cenderung jatuh cinta dengan "bayangan si objek cinta" yang ia buat di benaknya sendiri. Bukan jatuh cinta dengan diri si kekasih sesungguhnya. Sehingga, jika suatu hari si objek cinta berperilaku berbeda dengan bayangan, maka ia bisa sangat kecewa.

Datuk kecewa mendapati Sitti masih berhubungan dengan Samsul Bahri bahkan menyusulnya ke Jakarta atas permintaan Samsul. Ia pun menyuruh seseorang untuk membuntuti Sitti Nurbaya untuk mencelakainya dengan cara menceburkannya ke laut. 

Namun, Sitti belum saatnya mati dan masih berkesempatan bertemu dengan Samsul di Jakarta kendati sekejap, karena polisi Belanda segera menangkapnya atas laporan Datuk Meringgih bahwa isterinya melarikan diri ke Jakarta sambil mencuri hartanya.

Cinta yang sehat menerima pasangan apa adanya, memberi peluang kepada pasangan menjadi diri sendiri, sambil merajut kisah berdua. Cinta yang sehat juga menghormati keputusan si kekasih. 

Kalau akhirnya si kekasih memutuskan hubungan, orang dengan cinta yang sehat akan bersedih, patah hati, tapi pada akhirnya belajar menerima, asalkan orang yang ia cintai bahagia dengan jalan hidup yang dipilihnya kendati akhirnya yang dinikahi bukan dirinya. 

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun