Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sepi dan Kesepian, Haruskah Ada?

18 Februari 2024   06:31 Diperbarui: 18 Februari 2024   11:01 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu sedemikian cepat berlalu bersama angka-angka usia yang kian bertambah. Semua orang pasti akan mengalaminya dengan istilah "pensiun". Usia mereka mengharuskan berhenti bekerja di tempat semula. Apakah yang terlintas di hati? Masing-masing orang tentu menyikapi secara berbeda-beda. Ada yang senang karena merasa terbebas dari rutinitas berangkat pagi pulang petang, tanpa sempat berselancar dengan gawai seperti anak-anak muda. Inilah saatnya mencoba kecanggihan teknologi yang belum ada pada zamannya.

Namun, adapula yang menyikapi sebaliknya. Rasa kecewa, kebingungan, cemas berlebihan tiba-tiba seolah menderanya tanpa sebab yang pasti. Hal ini menurut berbagai sumber ada kemungkinan yang bersangkutan tengah mengalami post power syndrome. Gejala tersebut pada umumnya dialami mereka yang merasa kehilangan kekuasaan, jabatan, sampai menurunnya harga diri.

 Kata jabatan bukan melulu kekuasaan maupun pekerjaan, melainkan dapat dimaknai sebagai perasaan kehilangan aktivitas. Aktivitas yang semula padat, banyak kesibukan dan kegiatan, tiba-tiba harus dihentikan padahal masih merasa memiliki kekuatan untuk mengerjakan semua itu. Hal itu masih ditambah dengan hilangnya jabatan, kekuasaan, dan penghasilan.

Sesepi dan segelisah itukah sebetulnya? Tidak adakah kesibukan yang menyenangkan, misalnya ketika rumah yang kita tempati bertahun-tahun seolah hanya kita singgahi sebagai tempat beristirahat sebelum besok pagi ditinggal pergi lagi dari pagi sampai sore bahkan senja, seolah ingin disinggahi lebih lama? Mungkin sudah saatnya ditata ulang, bahkan ingin dibersihkan sambil sekadar menggerakkan badan?

Demikian pula dengan lahan-lahan kosong di sekitar tempat tinggal. Sedemikian banyak yang dapat kita lakukan, dari bertanam di tanah, tabulampot, bahkan memanfaatkan plastik-plastik bekas sebagai media bertanam hidroponik. Kesibukan yang semasa muda bahkan semasa remaja belum pernah kita lakukan, pada masa pensiun semua itu bisa kita kerjakan sebagai penghalau sepi. Jika pada kemudian hari ternyata kesibukan tersebut memberikan hasil lumayan, itu dapat dianggap bonus.

Konon, tidak semua orang mengalami post power syndrome dalam pascapensiun. Gejala tersebut hanya melanda mereka yang semula sangat bangga akan jabatan, senang dihormati, senang mengatur orang lain, menuntut semua keinginannya dipatuhi, selain ingin terkesan "paling" dalam segalanya?

Apapun alasannya, waktu tetaplah akan bergerak maju. Jika semua dapat kita tundukkan dengan keinginan kita untuk dituruti dan dipatuhi, tidak demikian dengan waktu. Ia terus saja melaju tak peduli kita akan marah, kecewa, cemas tampak semakin tua, gelisah tiada tara dengan capaian yang belum seberapa. Sang waktu tetaplah menuruti kewajibannya untuk bergerak maju.

Post power syndrome meskipun bukan termasuk gangguan kejiwaan yang mencemaskan, jika dibiarkan berlarut-larut tentu akan menyebabkan gangguan kesehatan, misalnya darah tinggi bahkan depresi. Adakalanya korban post power syndrome pun tanpa disadari akan menjahili orang lain dalam bentuk ingin mempermalukan berkaitan dengan kondisi kecemasannya akan hasrat untuk dihormati dan dipatuhi yang telah hilang karena kehilangan jabatan dan uang. 

Pada umumnya penderita memang tidak menyadari kondisinya. Gejala yang mengganggu kondisi fisik dapat dirasakan, tapi bagaimana dengan gejala psikis? Ia tentu tidak dapat merasakan, betapa ulahnya semakin menjengkelkan. Adakalanya terkesan usil, jahil, bahkan iri kepada sekitarnya. Gejala yang tidak dapat dibiarkan dan harus segera dicari solusinya. 

Jika gejala sudah merugikan orang lain dan orang-orang sekitar apalagi anak-anak belum tentu dapat menemani akibat kesibukannya demi kemanfaatan ilmunya bagi sesama, maka penderita post power syndrome pun dapat melakukan bebagai kesibukan yang belum pernah dilakukan semasa muda bahkan semasa remaja. Kesibukan positif misalnya berkebun ataupun menekuni hobi yang dulu serasa terbengkelai.

Apabila mengembalikan hasrat untuk dianggap paling cantik, paling hebat, paling  berkuasa dan harus dipatuhi keinginannya dapat dialihkan dengan mencari kesibukan setara misalnya membuka usaha secara mandiri, mungkin  bukan masalah berat bagi penderita post power syndrome. Akan tetapi, andaikan hal itu tidak dapat dimiliki, apa yang harus dilakukan? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun