Rumah duka telah sepi. Semua pelayat termasuk kedua anaknya ikut ke pemakaman. Pintu ruang tamu masih terbuka berteman wangi melati, karpet yang tergelar sampai teras, beberapa gelas plastik air kemasan, serta kue-kue yang menghiasi piring-piring. Selebihnya sepi. Kesunyian yang terasakan menggigit. Keceriaan seakan tercabut paksa kemudian melayang terbawa ke liang lahat, tempat suaminya tengah dimakamkan.
Ia masih tergolek di kursi panjang ruang tamu. Kepalanya masih pening setelah pingsan sesaat menerima kabar duka suaminya tewas dalam kecelakaan.
Ia mencoba bangkit. Sesosok tubuh mendekat, memapahnya untuk duduk, memeluknya dalam ledakan tangis yang membuatnya kembali menangis.
"Kamu masih di sini?"
"Kerabatmu dan anak-anakmu semua ke pemakaman. Aku tidak tega meninggalkanmu sendirian," jawabnya di sela isaknya.
"Kamu begitu perhatian,"jawabnya terharu sambil kembali memeluk teman kerjanya tersebut. Padahal aku sering menyudutkanmu yang keasyikan melajang, kata- kata yang hanya melintas-lintas dalam hati.
"Setiap ada teman yang kehilangan suami, aku selalu menangisi. Semakin muda ia menikah lalu ditinggal suami, aku semakin tak tega. Diam-diam kudoakan semoga mereka tabah," jawabnya di sela linangan air mata yang dipaksakan untuk tidak lagi bertumpah.
"Mengapa?" ia keheranan.
Marty, temannya itu duduk di sebelahnya setelah mengambil air minum untuk mereka berdua.
" Betapa sulit hidup sendirian setelah segala urusan Kalian lakukan berdua dengan suami. Semoga Kamu sanggup."
Ia tertunduk. Selama ini segala urusan di luar memasak dan anak-anak, memang suaminya yang mengerjakan. Bulan lalu saat suaminya diklat di luar kota, petugas PLN memberi informasi bahwa saluran listrik akan diputus jika bulan depan tidak dibayar. Bukan karena tidak ada uang. Hal itu akibat kesibukan suaminya.