Mentari menggelinding perlahan meninggalkan siang dengan membawa panasnya yang menyengat. Angin sore mulai menebarkan kesegarannya. Kutengok ayah yang tergolek lemah di kamar. Sudah tiga bulan lebih ayah terkena stroke. Badannya semakin hari semakin kurus. Ayah tidak dapat bangkit dari rebahan jika tidak dibangunkan, demikian pula sebaliknya. Hmm...aku menarik napas panjang sambil memandangi potret ayah di dinding.
Betapa tampan ayahku  semasa muda. Badannya atletis pula. Semakin menua terlebih saat Tuhan seolah mengguyurkan uang kepadanya, bukan sekadar diperciki atau disemprot, tapi diguyur, ayah pun semakin lupa diri.
Kini, julukan lelanange jagat itu sudah tidak lagi menyisakan bekas dalam waktu yang demikian cepat kukira. Belum genap 50 tahun tatkala stroke tiba-tiba menyerangnya tanpa ampun. Kini, ibulah yang merawatnya, karena ibu berstatus sebagai isteri resmi. Sementara itu, wanita-wanita lain yang mengerumuninya untuk beroleh madunya, seolah berhamburan entah ke mana. Mereka tak lagi menampakkan batang hidungnya.
        "Seharusnya ibu memaafkan, agar berkurang penderitaannya,"pintaku pada ibu sore itu saat ibu selesai memandikan ayah.
        "Saya sudah memaafkan,"jawab ibu menghela napas panjang,"Tapi, alam semesta yang sudah tertata rapi ini, maukah memaafkan ulahnya? Ibarat melempar bola kasti ke dinding. Si bola balik terlempar ke arah kita kan?"
        Aku terdiam kemudian teringat fingerprint di sekolah. Setiap pagi, kami selalu meletakkan telunjuk di sebuah mesin absensi yang menempel di dinding dekat pintu masuk pos satpam untuk melakukan fingerprint. Lebih dari sekali aku datang terlambat, kemudian meminta maaf kepada petugas piket maupun guru yang telah berada di dalam kelas. Mereka memang memaafkan, mengizinkan aku masuk kelas untuk mengikuti pelajaran.
Akan tetapi, tidak demikian dengan mesin absensi fingerprint. Ia tak pernah mau tahu aku sudah minta maaf atau tidak. Begitu telunjukku menempel di wajahnya, saat itu pula tercatat jam berapa aku menekan dirinya. Jika melewati pukul 06.30, warna jam sudah berubah merah dan saat diprint out pun tetap menunjukkan bahwa aku terlambat, padahal aku telah meminta maaf kepada guru.
Begitukah perlakuan alam semesta kepada ayahku? Lelaki tampan atletis yang dulu semasa muda dijuluki "play boy, don yuan, casanova, womanizer, sampai Arjuna lelanange jagat"? Sedemikian banyak wanita yang tergoda termasuk ibuku. Tapi, mengapa alam semesta tetap menghukumnya kendati ibuku sudah memaafkannya?
Ibu melirik ulahku sambil menyuapi ayah. Sesekali memapah menata letak duduknya agar dapat merasakan disuapi dengan nyaman. Kukira, ibuku telah melakukannya dengan tulus, tapi mengapa ayah tak kunjung sembuh, bahkan tubuhnya semakin kurus?
"Sebetulnya aku senang ayah lama di rumah, tapi mengapa dalam kondisi sakit? Tidak dapat bicara dan bergerak pula. Coba ayah sehat lalu lama di rumah, betapa senangnya,"keluhku. Ibu menempelkan telunjuk ke bibirnya, cemas ayah menjadi sedih.
"Aku mencintainya. Ia selalu bertanggung jawab memberi nafkah lebih dari cukup untuk kita. Kendati ia memendam marah kepadaku akibat merasa kujebak menikahiku,"cerita ibu tempo hari.