"Ah, rasional ajalah. Kalau cemburu, aku kan bisa membalasmu dengan menjadi simpanan."
Jawaban yang membuat kupingku terasa panas dibakar api cemburu. Aneh, baru kali ini aku merasa cemburu kepada wanita dan wanita itu dirinya pula. Sekian lelaki serasa tak terhitung telah dikencaninya dan aku merasa menjadi korbannya yang kesekian. Ia terbahak saat kusampaikan sejujurnya bahwa aku cemburu
      "Realistis dong. Bukankah Kamu juga playboy kelas kakap? Mengapa harus menuruti emosi untuk cemburu? Galau? Itu kan status cengeng para ABG,"kilahnya sambil bergelayut manja di lenganku, yang membuatku lagi-kagi tak berdaya melepaskan amarahku.
      Aku pun akhirnya menikah dengannya dan resmilah kulepaskan status lajangku sebagai suami seorang putri tunggal keluarga kaya. Si centil pun datang ke pesta dalam ekspresi datar dan tegar seolah tidak merasa kehilangan, membuatku merasa "dibuang". Entah mengapa, di pelaminan aku teringat sekian gadis dan wanita yang telah kuberi harapan palsu. Dalam hiruk pikuk pesta malam itu, hatiku seolah dirajang perasaan bersalah kepada mereka.
      Skenario si centil pun kujalankan. Akan tetapi, istriku bukan wanita yang mudah dibodohi. Ketika kukatakan aku ingin membeli mobil baru, ia tidak antusias untuk memberikan tambahan dana.
      "Jangan-jangan Kamu dimanfaatkan untuk sekedar melepas masa lajangnya, agar ia tidak dicap tak laku," Centil yang kecewa gagal memperoleh dana dariku, mulai memanasiku,"Ancam aja dengan kata cerai" usulnya.
      Ia yang belum mampu menggantikan posisi si centil dalam membakar gairah asmaraku, spontan saja kujatuhi talak tiga. Hal yang berlangsung sedemikian cepat, seolah di luar kesadaranku, ataukah memang ini takdirku? Sebelum kusadari betapa aku mulai mencintainya, mulai tertarik kepada etika dan kesederhanaan serta kelembutan yang ditampilkannya?
      Hatiku semakin terasa hampa dan dilanda sesal yang mendera, manakala si centil untuk kesekian kalinya, jatuh pada pelukan lelaki lain yang kemudian membawanya ke negeri lain. Ia tinggalkan aku sendirian dalam penyesalan mendalam telah menceraikan isteri.
      Dengan segala kelembutan dan kesantunan yang ditampilkan, aku yang semula yakin istriku akan mempertahankan diriku sehingga aku gagal mengucapkan talak tiga, tidak terbukti. Aku terlalu percaya diri dan baru kusadari, bahwa dirinya maupun si centil sama saja, mereka adalah wanita, dan hati wanita ternyata sulit diselami. Lagi-lagi aku merasa dipermainkan oleh dua wanita, si centil dan isteriku.
      Tapi aku suaminya dan aku berhak memintanya kembali menjadi isteriku. Ucapan ibu mertuaku tidak membuatku patah semangat untuk mendapatkannya kembali dirinya. Seorang karyawan kepercayaanku, masih muda, bersedia membantuku pula.
      Untuk kedua kalinya isteriku menikah. Pernikahan kedua yang kuanggap hanya sandiwara karena anak muda yang menikahinya pun tak kalah menarik dariku, tampan dan banyak penggemar pula. Rasa cemburuku memang hanya untuk centil, sehingga aku tidak merasa galau melihat pernikahan mereka.