Ada misteri yang sulit terungkap tatkala memikirkan mengapa aku terlahir di bumi ini, tepatnya di negeri ini, dalam wujud perempuan pula. Ada misteri yang sulit terkuak mengapa manusia berjodoh dengan pasangan yang semula tidak diingini, misalnya ada beberapa pria yang sesumbar,"Walaupun aku lelaki nakal dan liar tapi aku akan memilih wanita baik-baik."
Akan tetapi, betapa akhirnya mereka mengeluh dan merasa tertipu, karena wanita tersebut ternyata berperilaku sama pula dengannya, sebelum akhirnya menyerah terhadap apa yang dinamai suratan. Ada misteri yang sulit tersibak mengapa manusia harus menyerah pada sang maut, betapa pun kaya dan berlimpah harta mereka. Bahkan sejumlah anak-anak yang dipersiapkan untuk menunggui mereka di akhir hayat pun, adakalanya tak seorangpun yang berada di sampingnya tatkala sang maut datang menjemput..
      Aku  segera menutup diary tersebut, ketika pemiliknya datang. Sambil berlagak sebagai tamu yang sopan, aku pun kembali duduk dalam diam. Akan tetapi, isi diary tersebut mampu membuatku merenung akan makna kelahiran, perjodohan, dan kematian. Betulkah takdir tentang lahir, jodoh, dan mati memang mutlak hak Tuhan? Betulkah manusia tidak dapat memilih karena ketiganya berjalan sesuai hukum sebab akibat atau peribahasa "Siapa yang menabur pasti menuai?" Apabila kehadiran anak-anak adalah ujian bagi orangtua, dapatkah dimaknai, kelahiran anak dalam wujud lelaki atau pun perempuan,  bahkan yang cacat dan idiot, memang ujian Tuhan untuk orang tua?
      "Kamu telah menjatuhkan talak tiga kepada isterimu. Sadarkah akibat yang harus Kautanggung?" masih terngiang ucapan ibu mertuaku setahun yang lalu. Aku pun terdiam dalam sesal, tapi apa daya?
      "Aku nggak yakin deh," jawabku.
      "Tapi begitulah yang kurasakan, Mas." jawabnya seolah tak merasa bersalah.
      Ia memang tidak harus merasa bersalah. Sebagai anak tunggal dan calon pewaris harta orang tuanya pula, wajar isu ia pemilih lelaki sangat gencar menggema. Ketika langkah pasti untuk menemuinya sudah mantap kulakukan, ada tambahan info, ia pernah dekat dengan lelaki dari perguruan tinggi terpopuler di negeri ini. Dapatkah ditindaklanjuti dengan mengatakan aku pun lulusan dari PT beken tersebut? Ah, bukan masalah sulit, toh data bisa "disulap".
      Perjalanan pun lancar sesuai rencana. Ia dapat kutaklukkan dengan tanpa kesulitan.
      "Segera nikahi dia, kuras harta orang tuanya," si centil itu kembali mendesakku sambil menghembuskan rokok tepat ke mukaku. Entah mengapa, aku selalu tak berdaya menghadapinya. Ulahnya bagaikan menghipnostisku. Aku laksana kerbau dicocok hidung dalam menjalankan skenarionya. Semua demi memenuhi tuntutannya akan uang yang tidak sedikit.
      Beberapa kali aku mencoba melepaskan diri dari jeratnya, mencoba membersihkan diri dari sebutan "pasangan kumpul kebo" bagi dirinya, tapi aku tak pernah bisa. Ia selalu bisa menemukanku dan aku selalu tak pernah mampu mengelak dari jerat asmaranya, yang memang paling hebat dari sekian wanita-wanitaku yang pernah kugauli.
      "Bener Kamu rela aku menikahinya?" tanyaku sambil menarik rokok dari jemarinya yang lentik. Tapi ia malah menjawab,