Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tatkala Tabebuya Bermekaran

20 Oktober 2020   08:28 Diperbarui: 20 Oktober 2020   08:41 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menuju rumah Hanantyo. Kami sudah berjanji mengerjakan skripsi bersama-sama. Duh, pada akhir perkuliahan begini, aku baru teringat yang disampaikan guru Bahasa Indonesia. Kalian seringkali bersikap sebelah mata terhadap pelajaran saya. Suatu saat akan kena batunya saat menulis skripsi. Saat itulah kalian akan merasa betapa ilmu-ilmu yang lebih  kalian fokuskan seakan terlupakan. Yang kalian ingat kemudian adalah bagaimana cara menulis dengan baik dan benar. Bagaimana  agar skripsi kalian segera terselesaikan tanpa coretan karena kesalahan penulisan.

Hm...betul juga. Betapa banyak yang telah kutulis, kini tinggal menyunting dan aku membutuhkan bantuan Hanantyo untuk itu. Dialah teman sekelompokku yang paling teliti terhadap penulisan ejaan maupun tanda baca. Tentu saja aku ingin skripsiku segera terselesaikan, segera mencari pekerjaan atau membuka lapangan kerja?

Aku jadi teringat Rininta, pacarku yang telah menyelesaikan kuliahnya tahun lalu. Ketekunan pun membawanya segera mendapatkan pekerjaan di negeri orang. Walaupun demikian, ia tetap setia kepadaku. Katanya sih begitu, karena terlalu banyak kenangan yang tak harus berlalu daripada menggantikanku dengan orang baru. Ia tak banyak waktu untuk itu. Jadi lebih baik mereparasi konflik daripada mencari masalah baru. Masalah yang belum tentu tidak menghadirkan konflik yang lebih seru, sementara kesibukan pun tak mau tahu akan hal itu.

Kulihat beberapa kerusakan dampak demo penolakan UU Cipta Kerja Omnibus Law telah dibenahi. Pagar Gedung Negara Grahadi yang sempat dijebol massa juga sudah diperbaiki.  

Kerusakan di Taman Apsari yang bunga-bunga dan tanaman-tanamannya seolah bekas diinjak-injak juga sudah dibersihkan petugas, bahkan tampak sudah diganti dengan tanaman baru. Bola-bola hiasan di trotoar yang sepertinya terbakar atau dibakar, juga sudah diganti dengan yang baru. Petugas tampak mengangkuti tiang-tiang lampu yang patah. Aduh, ada informasi bahwa suasana saat itu mencekam seperti sedang melihat film perang. Semoga tidak terulang lagi ya.

Tentu saja. Aku pun berharap demikian. Saat itu, akhir November tahun lalu aku mengantar Rininta ke bandara, mengawali tugas barunya. Ada kepedihan yang menggurat karena harus berpisah, harus menjalani LDR, Long Distance Relationship, setelah sekian lama selalu belajar bersama. Aku sengaja mengajaknya berkeliling kota sehari sebelumnya. Kami melewati Jalan Ahmad Yani, HR Muhammad, dan Mayjen Sungkono untuk menikmati keindahan bunga tabebuya yang tengah bermekaran. Pemandangan yang indah tidak kalah dengan gambar perkotaan di Jepang.

Ia tampak menikmati kebersamaan terakhir kami dengan mengajakku makan tahu campur. Tahu campur adalah kuliner khas Jawa Timur  terbuat dari potongan daging berlemak sebagai campuran kuah panas, rasa rawon tanpa kluwek, yang disiramkan ke atas sambal petis, irisan selada, tahu, mie, dan taoge seduh. Sebelum dihidangkan, di atasnya ditaburi kerupuk kanji. 

Dalam berwisata kuliner, kami banyak persamaan selera. Akan tetapi, kami juga banyak perbedaan. Perbedaannya itu misalnya, ia selalu menerima beasiswa dan selalu berusaha mempersingkat waktu kuliahnya, sedangkan aku berusaha menjalani hidup apa adanya, tidak memaksa meniru dirinya jika malah tersiksa. Ia bisa memahami hal itu, asalkan waktuku bukan untuk bermalasan, katanya.

Di warung tahu campur itulah, terlihat Hermalita masuk pula. ia tengah berjalan sendiri. seringkali kulihat ia sendirian. Saat itu ia mengenakan rok terusan  mini berwarna hitam, bersepatu boots krem bertali, backpack sewarna dengan sepatunya menempel di punggungnya. Wajahnya yang cubby itu dihiasi poni berjuntaian, bibirnya berpoles lipstik warna pink. Aku meliriknya sekilas, Rininta menyikut lenganku.

"Masa gitu aja cemburu? Ia kan sekilas mirip Kamu,"ujarku saat terciduk tengah melirik ke arah Hermalita, bahkan mataku mengikutinya sampai ia duduk.

"Bukan. Aku merasakan ia sedang galau,"katanya sambil menyuapkan potongan tahu terakhir ke bibirnya,"Jika galau sangat terlihat dari sikap dan wajahnya juga tampilannya. Kasihan dia, rentan digoda lelaki iseng jika demikian,"bisik Rininta mengomentari teman seangkatan kami itu. Dari belakang, rok mininya itu memang menampakkan punggungnya setelah backpack diletakkan di kursi sebelahnya. Punggung yang hanya tertutupi oleh tali-tali yang dikaitkan seirama dengan sepatunya."

"Bird,"panggilku kepada Rininta yang tengah menuju kasir. Ia pun menoleh dan kembali ke arahku,"Biar kali ini aku yang membayar,"bisikku sambil memegang pergelangan tangannya.

"Walah, pasti uang bapakmu. Enggak ah, ini uang beasiswaku masih ada,"jawabnya sambil menepis tanganku,

"Bukan. Aku tengah merintis wisata kuliner, berbentuk roti isi, yang kukerjakan bersama Hanantyo dan kawan-kawan sekelompokku. Laris manis, sampai akhirnya kami bekerja sama dengan gofood untuk itu." ia pun terkejut, lalu tersenyum lebar sambil mencubiti pipiku.

"Wah...jika usaha lancar, Kamu bisa menyusulku nih ke negeri orang. Kamu temani aku, sambil mengendalikan bisnismu yang di sini."

"Stt..dilihat orang. Malu kan?" bisikku yang membuat Hermalita menoleh, kemudian malah bergabung di tempat duduk kami sambil memindahkan es jus apokad yang telah disuguhkan kepadanya.

"Manggil pacar kok bed sih? Memangnya kasur?"godanya. Kami pun tertawa mendengar gurauannya.

"Bird,"ralatku,"Ia kan bagaikan burung. Berkicau terus. Satu paragraf omongannya bisa saja sumbernya tujuh buku. Aku kan bisa diam sambel merem mendengarkan kicaunya. Lumayan nggak baca, nanti tinggal pinjam daftar pustakanya saja,"jawabku tertawa memandang Rininta yang memonyongkan mulutnya mendengar ucapanku.

"Pantesan lengket terus. Hati-hati Kamu dimanfaatkan, Rin,"goda Lita sambil meletakkan backpacknya di kursi sebelahku.

"Jika tega, biar sajalah,"jawabnya,"Kesetiaan itu justru teruji saat berjauhan,"lanjutnya lagi sambil menikmati jus lemonnya.

Seminggu sudah hari-hariku sepi tanpa kicauan Rininta. Aku kembali memasuki warung tahu campur. Di luar dugaan, kulihat Hermalita pun berada di situ. Gaya busananya tetap seperti kemarin, namun kali ini sebelah lengannya hilang. Gaunnya menampakkan bahu terbuka sebelah.

"Itu gaun lengannya  bisakah diangkat biar bahumu tertutup?  Bikin aku ingin menyentuh bahu mulusmu, lho,"godaku sambil mendekatinya, duduk di depannya. Aku bukannya berniat tidak setia, namun makan sambil menatap cewek cantik yang duduk di depanku, apakah suatu kesalahan?

"Aku lagi sedih,Ted,"keluhnya seusai makan. Kami duduk di taman kampus di bawah pohon flamboyan yang cukup meneduhkan siang itu.

"Mengapa sedih?"

"Pacarku cuekin aku,"ekspresinya murung.

"Ah, gampang itu. Jika dicuekin lelaki, cuekin balik dong,"jawabku sambil sekali lagi memintanya menarik kain lengan yang melorot sebelah jika perkuliahan dimulai sejam lagi. Ia pun menuruti saranku.

"Jadi aku harus cuekin balik? Gimana kalau aku jadi terkesan tegas dan mandiri?" tanyanya polos. Duh, aku menggaruk kepala yang tidak gatal,"Lalu ia malah menjauh?"

"Hermalita Saskia Ayunda,"sengaja kusebut nama lengkapnya,

"Jika kamu tegas dan terkesan independent lalu ia menjauh, berarti ia tidak layak untuk Kamu. Dengan menampilkan diri sebagai sosok berharga, itu menunjukkan bahwa tidak semua bisa mendekati Kamu, kan?  Dirimu bukan untuk diobral karena Kamu bukan barang.  Tunjukkan bahwa Kamu hanya pantas didekati lelaki spesial yang bisa menghargai kemandirian dan ketegasanmu. Jangan berlagak  manja yang memang lucu sesaat. Tapi jika terus-menerus menunjukkan kemanjaan dan kebergantungan, ia malah bosan kan? 

Tiga minggu kemudian, ia bercerita dengan wajah berbinar-binar, bahwa ia telah sanggup mengabaikan pacarnya, bahkan saat si pacar datang, ia berani tegas memutusnya. Aku terkejut. Kepalaku mendadak terserang angin puting beliung.

"Lho, putus? Kamu masih cinta?"

"Sebetulnya masih,"jawabnya ragu. Wajah imutnya semakin tampak polos saat mengisap sedotan es jusnya.

"Lita,"tegas suaraku,"Mengapa putus jika Kamu masih cinta?"

Ia menatapku dengan tatap mata polos.

"Aku menuruti saran Kamu,"ujarnya lirih tanpa menatapku,"Kan kini Kamu jauh dari Rininta."

Hm...Tabebuya yang bermekaran sepanjang jalan mengingatkanku kepada Rininta yang kini berada di negeri Sakura. Setiba di rumah, aku segera mengirimkan fotoku yang tengah makan berdua dengan Hermalita. Kukatakan sejujurnya bahwa ia telah gagal paham mengenai kedekatan kami. Seperti biasa, ia menanggapi dengan omelan beruntun, lalu mengakhiri ucapannya dengan,

"Katakan kita tidak putus walaupun berjauhan. Aku tidak melarang kalian berteman asalkan ia tidak berniat merebutmu dariku,"katanya melaui video call,"Ia mengirimkan foto Kalian berdua ini kepadaku lebih dulu. Apa maksudnya? Memintaku mengalah? Mengapa ia senekat itu?Bukankah sejak awal ia telah tahu tentang kita? itu yang membuat kepalaku serasa meledak. Tega nian dia.""

Tabebuya yang bermekaran kembali terbayang diselingi senyum Rininta. Aku pun tiba di rumah Hanantyo. Betapa inginku skripsi segera terselesaikan kemudian menyusulnya.                                   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun