"Kita ini pencinta alam atau penikmat alam sih?" tanyaku kepadanya meluncur begitu saja. Ia anggota baru kelompok pencinta alam yang kuikuti. Mengapa aku begitu peduli? Entahlah, mungkin karena ada yang unik dalam dirinya.Â
Secara fisik pahatan tubuhnya cewek banget, cenderung sensual. Perempuan terpahat seperti itu bagiku semestinya segera menikah, pasti banyak anak. Barangkali semesta memang sengaja memahat fisiknya sedemikian rupa sebagai penarik kumbang jantan untuk membuahinya sebanyak-banyaknya.
Akan tetapi, sepertinya ia memberontak terhadap kodratnya. Selain lagaknya menunjukkan kesan sebagai kutubuku, tas yang sudah berat dengan beberapa baju dan makanan itu terlihat masih diisi dengan beberapa buku, ia pun tampil dengan lagak tomboy. Hem gombrong dan celana panjang yang juga gombrong tetap saja tak dapat menyembunyikan sesuatu yang seharusnya dipamerkan kepada kami, lawan jenisnya.
"Hati-hati, jalanan mendaki. Jaga baik-baik dalam diri, jangan ada yang berjatuhan." Seru fikri terdengar di belakangku. Aku menoleh ke wajahnya, yang sekilas tampak memerah, namun tidak lama. Sepertinya ia sudah kebal terhadap gurauan seperti itu. Maka jawabannya pun santai,
"Kalian hanya penonton. Aku yang harus membawa ini capek juga tahu? Jika memungkinkan, kutitipkan saja pada Kalian. Fikri satu, satunya lagi Kamu yang bawakan. Biar aku merasa bebas dan ringan," jawabnya menoleh ke arahku, yang diiringi derai tawa Fikri.
"Mau. Mau," jawabnya tapi melihat Dona sudah menampilkan ekspresi biasa saja seolah tak pernah terjadi gurauan selintas tadi, kami pun akhirnya diam, bahkan ia menjawab pertanyaanku,
"Setiap orang memang memiliki definisi tersendiri tentang pencinta alam," jawabnya sambil berjalan. Sesekali menyentuh bunga liar tanpa memetiknya, "Secara epistemologi pencinta alam adalah para pencinta lingkungan hidup secara lebih luas, bukan hanya naik gunung. Definisi cinta yang harus dibuktikan dengan perbuatan. Pembuktian tersebut bisa berupa pengorbanan. Dalam konteks mencintai alam, tentu wujud nyata dari pengorbanan tersebut ialah upaya melestarikan lingkungan. Pelestarian lingkungan itu pun meliputi banyak hal, misalnya  menjaga ekosistem, habitat flora dan fauna, tidak membuang sampah sesukanya, menjaga kondisi sungai, melakukan penghijauan juga kan?"
Hmm... jawabannya semakin menunjukkan bahwa ia berkeinginan agar sensualitas tubuhnya bukan untuk dijadikan bahan bercanda "ngeres". Upayanya bergabung dengan kelompok pencinta alam semakin menunjukkan bahwa ia penyuka kemandirian.
"Betul,"jawabku,"Karena itu lingkup aktivitas kaum pencinta alam seharusnya memang tidak hanya mendaki gunung. Namun, para pendaki gunung pun semestinya menunjukkan rasa cintanya kepada alam dengan cara ikut memelihara kelestariannya. Selain itu, kita pun seharusnya peka terhadap isu kontemporer tentang kondisi alam dari pemanasan global, permasalahan sampah, pembakaran hutan, banjir, serta isu yang berkaitan dengan agraria,"jawabku entah tak mau kalah atau sekadar menunjukkan simpati kepadanya atau malah mencoba menarik simpatinya? Entahlah.
Yang pasti, Fikri segera berlalu meninggalkan kami dengan langkah lincah mendahului kemudian melambaikan tangan sebelum menghilang di balik pepohonan, meninggalkan kami berdua yang tengah berbincang mengenai alam dan lingkungan.
"Masih ada saja tumpukan sampah menggunung di gunung, apakah bisa dianggap sebagai bukti bahwa pendaki gunung bukan selalu pencinta alam? Lalu apa dong? Penikmat alam kali ya?"
"Para pendaki gunung semakin banyak. Aku sebagai tim edukasi kelompok kita dalam pencinta alam, memang seharusnya telah memprogram edukasi yang berkaitan dengan urgensi menjaga alam dan melestarikannya. Minimal kegiatan pendakian ini tidak malah menumpuk sampah, berlanjut dengan program reboisasi jika tidak ingin kelak kita akan terlanda kekeringan yang panjang,"jawabnya melanjutkan omonganku.
"Lapisan gunung es glester di kedua kutub bumi, diinformasikan telah meleleh. Tanahnya yang ribuan tahun tertutup salju, kini mulai terlihat. Badan Meteorologi pun menyampaikan bahwa siklus iklim berubah. Kabarnya penopang oksigen terbesar dunia yang berada di Amazona pun mulai rusak. Beberapa  gunung di Indonesia juga pernah terbakar, misalnya Gunung Rinjani, Gunung Raung."
Hujan tiba-tiba turun dengan lebatnya namun tidak lama, jaket kami basah, namun ia tidak menghiraukannya. Bahkan ia berlagak seolah sudah terbiasa dengan situasi seperti itu. Walaupun demikian, tampak ia mengambil cermin kecil dari dalam dompet kemudian mengamati wajahnya.
"Cemas ada yang belepotan?" godaku melirik ulahnya. Ia tetap mengamati wajahnya dari cermin sambil menyahut,
"Sebetulnya aku ingin bertubuh serba tipis seperti Kamu, selain ringan juga aman dari keusilan."jawabnya sambil memasukkan kembali cermin ke dalam tas.
"Jika masih disebut perempuan, bagaimana pun bentuk Kalian, pasti menawan dan rentan terhadap godaan,"jawabku,"Memangnya Kamu risih dengan godaan? Upayamu menutupi tubuh dengan jaket dan celana gombrong ini juga demi meminimalisasi penggoda dan penggemar?" Di luar dugaan ia pun mengiyakan.
"Betul. Digoda-goda dengan gurauan yang mengarah kepada sesuatu yang 'ngeres' jelas tidak nyaman. Banyak penggemar pun tidak menyenangkan karena mereka bisa kecewa jika diabaikan."
Itulah kenangan lima tahun yang lalu. Kala itu ia masih mahasiswa semester awal, sama denganku. Kemudian, lama kami tidak bertemu. Masih terngiang kalimat yang disampaikan ayahnya kepadaku. Usai aku mengantarnya sepulang pendakian.
"Dona anakku satu-satunya. Ibunya meninggal. Ibu sambungnya membawa anak lelaki yang bagiku kurang greget menuju masa depan, tidak seperti Kamu. Parahnya, ia seolah menyukai Dona. Entah karena Dona tampak menarik di matanya atau berharap warisan hartaku yang semuanya memang milik Dona kelak. Aku sungguh tidak rela. Bagaimana jika suatu saat ia memaksa Dona, memerkosanya atau apalah, toh aku sudah sakit-sakitan begini. Aku lebih suka menitipkannya kepadamu."
Hmm...aku tidak segera menjawab karena aku pun belum memahami perasaanku saat itu. Bahwa aku suka berteman dengan Dona memang fakta, tapi apakah aku ingin menikahinya kelak? Itu belum terpikirkan. Walaupun sesekali kecemasan akan nasibnya melintasi otakku. Perjalanan masa depanku masih panjang. Banyak teman wanita melintasi kehidupanku selain Dona. Maka, aku pun melupakannya.
Sesuatu yang tidak mudah. Kenangan kehujanan bersama, kenangan berteduh di warung indomie, kemudian ia membantu penjualnya membuatkan mie kesukaanku yang harus ditambah dengan irisan sawi dan adukan telor disertai irisan cabe dan bawang geprek, sungguh membuatku tidak mudah menepis sosoknya.
Akan tetapi, aku terlalu gengsi untuk segera menemuinya. Aku hanya datang saat ayahnya meninggal. Setelah itu, aku tidak lagi berusaha mencari info tentang dirinya maupun keberadaannya, hingga suatu hari berita mengejutkan pun kuterima. Ia menikah dengan anak ibu sambungnya. Ada apakah? Jangan-jangan ia diperkosa seperti kecemasan ayahnya yang disampaikan kepadaku dulu. Beberapa hari aku termenung antara perasaan bersalah dan kehilangan ditingkah ada getar cinta menyertainya.
Hah...aku mencintainya? Tidak!!! Teriakku dalam hati, kendati dalam perjalanan hidupku, tak selalu dapat kujumpai wanita seunik dirinya. Wanita yang bagiku telah diberi potensi untuk pasrah diam di rumah saja berkembang biak tanpa kekurangan sesuatu apapun, tapi ia berusaha melawan untuk tidak segera seirama dengan kodratnya. Ingin menikmati alam bebas dulu, ingin berusaha bertemu soulmate dulu, sebelum akhirnya ia menyerah kepada kodratnya sebagai wanita.
Namun, betapa malang nasibnya. Ia menikah dengan lelaki yang tidak disukai ayahnya, bahkan ia pun tidak suka, dengan alasan yang tidak jelas pula mengapa ia akhirnya menikah dengannya? Lelaki itu tergiur pada sensualitas tubuhnya atau harta warisannya? Duh...hatiku teriris pilu. Naluri lelakiku mendadak memprotesku tak habis-habis. Mengapa aku tidak melindunginya? Bukankah ia begitu baik kepadaku?
Alam memang tak ingin membiarkan kepedihan berlama-lama mendera batinku. Tiba-tiba pula ia datang pada pernikahan teman sekelasku, yang juga temannya di media sosial. Ia tampak datang sendirian.
"Kamu sendirian?" tanyaku di sela hiruk pikuk suara musik. Maka, pertanyaan pun kuulang dengan menuliskannya di sebuah kertas tisu yang berada di meja. Pertanyaan yang tidak seharusnya kusampaikan karena menjelang memasuki ruang pesta, Fikri yang telah beristeri mengatakan kepadaku bahwa ia baru saja bercerai.
"Masih ingin naik gunung bersamaku?" pertanyaan pun kuganti demikian.
"Tentu dong. Keinginan itu seakan telah ribuan tahun mengendap bahkan telah membatu di hatiku," jawabnya puitis, juga di kertas tisu.
"Bersiaplah. Aku akan mengajakmu menghilang dari masa lalumu yang kelabu."
"Bersama warisanku?" ia membalas dengan tersenyum tanpa memandang kepadaku. Aku pun tersenyum menjawabnya,
"Tentu dong. Kita realistis saja. Masa depan kita masih belum tentu. Bawalah sebagai tabungan persiapan masa paceklik."
Ia pun tertawa. Kemurungan seolah telah menghilang dari wajahnya. Aku seolah melihatnya lagi saat di puncak gunung, saat kami kehujanan, saat kami kepanasan di pantai, juga saat kami berteduh di warung indomie.
"Kita mendaki gunung lagi ya," pintanya. Aku menjawab dengan menggenggam kedua tangannya, berharap semoga kerinduan yang menyesak setelah terpisah sekian lama ini memang cinta, bukan semata kesepian belaka yang segera melenyap begitu dahaga terpuaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H