Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jika Menghadapi Dua Hal Sulit

11 Oktober 2020   16:27 Diperbarui: 11 Oktober 2020   16:31 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu pagi ini masih terasa dingin. Hujan yang tercurah kemarin sore masih menyisakan bau tanah basah. Dingin yang masih terasa menggigit membuat ingin memanjakan diri dengan cara bersantai. Seperti biasa, sambil ditemani secangkir kopi, selalu memotivasi diri untuk menghasilkan sebuah tulisan.  Akan tetapi, terbawa keinginan bersantai atau sedang banyak pikiran, pagi ini tak satu pun ide yang melintas untuk ditulis.

Beberapa judul buku pun sudah saya bolak-balik  sekadar menemukan ide untuk ditindaklanjuti. Akan tetapi tidak juga menemukan judul, paragraf, maupun kalimat yang memotivasi. Akhirnya, sebuah buku yang telah usang, terbitan tahun 90-an, berada di sudut, seolah melambai untuk diambil. Ya, okelah daripada sejak tadi gelisah didera sekian masalah, lebih baik dilarikan dengan membaca buku, barangkali kegalauan segera berlalu.

Dari sekian subjudul, ada judul yang menarik untuk dibaca. Judulnya "Mengambil Keputusan Tersulit". Wah...menarik, bukan? Untuk pengambilan keputusan biasanya selalu sulit, memerlukan waktu cukup lama untuk menentukannya. Judul tersebut malah menentukan keputusan tersulit, dari yang sulit-sulitkah? Sesulit apakah? Bagaimana pula cara memutuskannya?

Dalam buku tersebut dikisahkan tentang pengalaman beberapa orang yang telah sanggup mengambil keputusan dari dua masalah yang sama-sama sulit. 

Contoh pertama, dialami oleh dua orang wanita berumur 80-an tahun. Sekian lama berpikir tentang tempat tinggal di hari tua, tatkala disodori pilihan tinggal di apartemen atau panti jompo? Keduanya memutuskan pilihan berbeda dengan alasan yang telah dipertimbangkan masak-masak.

Wanita lansia A, memutuskan tinggal di apartemen. Ia berusaha mengabaikan fakta umum bahwa kesehatan manusia berumur 80-an tahun sudah menurun. Ia tetap memutuskan tinggal di apartemen dengan cara mencoba menjalani kehidupan yang tidak akan banyak menyulitkan tubuhnya misalnya mengatur pola makan dan pola pikir. 

Ia lebih terfokus kepada lingkungan sekitar apartemen yang menyenangkan karena ada pusat perbelanjaan, ada sarana berolahraga jalan kaki sampai jogging beserta kolam renang. Pemandangan di sekitarnya pun menyenangkannya. 

Akan halnya keamanan, jika ada masalah sewaktu-waktu, tentu ia bisa menghubungi petugas sekuriti selain keamanan para penghuni pun terdeteksi CCTV 24 jam.  Keputusan yang dipilihnya membuatnya tetap sehat dan mandiri enam tahun kemudian.

Wanita lansia B lebih memilih tinggal di panti jompo dengan alasan banyak yang membantunya jika mengalami kesulitan sehubungan dengan kesehatannya. Pilihannya pun menuruti kehendaknya. Ia menjadi loyo, selalu memerlukan bantuan orang lain dalam mengatasi masalah kesehatannya. 

Selain tidak sanggup makan sendiri sehingga harus disuapi, ia pun selalu membutuhkan kehadiran orang lain di dekatnya. Bahkan ia pun harus digotong saat turun maupun naik ke tempat tidur, ke kamar mandi, apalagi untuk perjalanan ke sana kemari. Ia merasa tidak bahagia dengan kehidupannya yang serba dilayani dan bergantung kepada orang lain itu, namun ia telanjur menerapkan pola pikir kebergantungan kepada orang lain dalam hidupnya. Ia telanjur memprogram angan untuk dilayani pada hari tuanya.

Contoh berikutnya adalah masalah yang dialami seorang anak tunggal. Ibunya, begitu ayahnya meninggal, ingin tinggal bersamanya. Sebagai anak  ia pun merasa tidak tega membiarkan ibunya hidup sendirian di rumahnya. 

Akan tetapi, anak-anaknya masih dalam masa memerlukan arahan yang jelas. Selain ibunya seringkali tidak tega melihatnya bersikap keras kepada cucu-cucunya, yang sering berakibat anaknya membangkang aturan ibunya, suaminya pun terkesan tidak nyaman jika ibu mertuanya tinggal bersama mereka.

Akhirnya, dengan ketegaran dan kebijakan yang dimilikinya, ia pun mengatakan tidak, walaupun setelah itu ia dihantui kecemasan. Akan tetapi, ibunya sehat-sehat saja dan baik-baik saja di rumah induknya. Ia terlihat sering bergaul dengan ibu-ibu yang senasib dengannya tanpa lagi membayangkan menua di rumah anaknya. Akhirnya, tak lama kemudian ibunya pun menikah lagi.

Contoh lainnya adalah manakala seseorang mengeluh kepada temannya tentang pilihan bepergian, ke New England atau Pennsylvania untuk menikmati pemandangan indah musim gugur? 

Ia semula marah mendengar jawaban temannya agar memilih keduanya. Akan tetapi, dengan tenang dan tersenyum temannya tersebut menunjukkan sebuah peta. Peta tersebut menunjukkan adanya kemungkinan perjalanan dari New York  City menuju New England, kemudian kembali melalui Pennsylvania. Di sepanjang perjalanan mereka dapat menikmati keindahan dedaunan musim gugur.

Sejak saat itu,si penanya membiasakan diri menggunakan frase tersebut jika sedang kebingungan memilih dua hal yang sama-sama sulit, misalnya haruskah berlibur ke desa pada akhir pekan ataukah memenuhi undangan jamuan makan pada hari Minggu di kota? 

Jika ragu namun sama-sama menarik, ia pun mencoba memutar otak untuk melakukan keduanya. Ia pun memutuskan berlibur ke desa kemudian pulang awal sehingga masih dapat memenuhi undangan jamuan makan siang harinya.

Keputusan tersebut menyiratkan saran bahwa lebih baik memutuskan mengambil kedua peluang yang ada. Keputusan mengambil keduanya daripada hanya memilih satu, namun menyesal karena kehilangan lainnya padahal keduanya sama-sama menarik, bukan? Jadi, keputusan memilih keduanya dilandasi daya tarik keduanya yang tidak mungkin ditinggalkan.

Mungkinkah dalam hidup ini tidak ada pilihan? Sangat jarang bahkan mustahil manusia tidak memiliki pilihan-pilihan. Jika pikiran terasa buntu untuk memutuskan, ada saran agar menggali lubang lagi di tempat lain, lalu meninjau masalah dari sudut pandang berbeda. Bagaimanapun, kita tidak dapat menggunakan pola pilihan orang lain untuk keputusan kita, bukan? 

Sama halnya dengan orang lain yang juga tidak bisa menggunakan pola keputusan kita. Oleh karena itu, jangan membiarkan orang lain membuat pilihan untuk kita, karena kitalah yang menjalani lengkap dengan segala derita dan keindahannya.

Kita harus berpikir untuk diri sendiri ke depannya bagaimana?  Serta tetap berusaha menjadi diri sendiri. Manakala suatu keputusan terasakan tidak dapat berjalan dengan baik dan lancar, maka memutuskan mengambil tindakan, akan memberikan peluang untuk mendapatkan hasil lebih banyak lagi. Lain halnya jika kita berdiam diri tanpa tindakan apapun. Hal itu sama dengan meningkatkan kemungkinan kebingungan tatkala kelak kita dihadapkan dengan beberapa pilihan. Yang kita lakukan kemudian, bisa jadi  kita malah terjebak hanyut mengikuti arus.

Bagaimana jika dihadapkan pada kemungkinan berisiko? Biasanya teori yang digunakan adalah membayangkan risiko terburuk. Hal yang dialami seseorang tatkala memutuskan resign dari pekerjaannya kemudian mencoba berusaha mandiri. Ia pun membayangkan kemungkinan terburuk usahanya tersebut gagal total. 

Apa yang akan dilakukannya? Ia tentu akan mencoba bekerja apa saja demi mendapat uang di perusahaan orang lain, walaupun ia tidak suka bekerja untuk orang lain. Pengalaman bekerja untuk orang lain yang kedua kali, akan membuatnya semakin berusaha untuk mengumpulkan uang serta membangun usaha mandiri sekali lagi, berbekal pengalamaan kegagalan sebelumnya.

Sebagai penutup, ada pesan menarik. Bayangkanlah Anda sedang dalam perjalanan panjang menuju akhir hidup Anda. Bila saat itu tiba, ucapan manakah yang akan Anda pilih,"Saya menyesal telah melakukannya karena gagal." Atau,"Seandainya dulu saya berusaha mencobanya, berhasil atau gagalkah?" 

Tentu lebih puas telah mencoba dan membuktikan rasa penasaran yang membuncah kemudian menyadari telah gagal daripada tidak pernah mencoba sama sekali. Tentu rasa penasaran tersebut akan mengganggu langkah, bukan? Jadi, lebih baik mencoba dan gagal walaupun malu daripada tidak sama sekali. Karena dari kegagalan pun ada yang dapat diceritakan daripada tidak ada cerita karena belum pernah mencoba berupaya, bukan?

Bahan Bacaan

Hutabarat, LS. 1996. Sukses dan Prestasi. Jakarta Mitra Utama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun