Waktu menunjukkan pukul 12.30 tatkala ada kejenuhan mengerjakan nilai. Saya pun membuka buku yang terselip di antara buku-buku pelajaran. Buku tersebut berjudul Psikologi Menulis, karya Anas Ahmadi.Â
Untuk sesaat saya bertanya-tanya, darimana saya mendapatkan buku tersebut? Pak Anas Ahmadi, yang saya tahu adalah dosen Unesa, alumnus SMA Negeri 2 Sidoarjo entah tahun berapa. Yang pasti  beliau sudah lulus sebelum saya berpindah mengajar ke sekolah tersebut.
Ternyata buku itu pemberian bu Darwani, senior saya yang kini sudah purnatugas. Pak Anas, mantan murid, memberikan buku tersebut kepada beliau ketika bertemu.Â
Bu Darwani, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, adalah  guru idola beliau. Bu Darwanilah yang memotivasi beliau untuk berani berbicara di muka umum, karena sebelumnya  merasa sebagai murid pemalu  jika harus berbicara di muka umum pula.
Seorang penulis dalam melahirkan karyanya tidak lepas dari psikologi yang dianutnya, secara sadar (conscious) maupun tidak (unconscious), demikian yang tertulis dalam Bab II dalam buku tersebut. Untuk itulah, seorang penulis haruslah memahami dirinya termasuk ke dalam psikologi kepribadian yang mana?
Bukankah Socrates pun pernah mengungkapkan, "kenalilah dirimu' sebelum mengenali orang lain? Â Oleh karena itu, dalam bab II buku tersebut dibahas empat psikologi kepribadian, yaitu 1. Psikologi eksistensial, 2. Psikologi behavioral, 3. Psikologi psikoanalisis, 4. Psikologi humanistis,
Walaupun tidak ada yang mutlak salah maupun mutlak benar dalam psikologi kepribadian, karena itu bab tersebut pun tidak membahas tentang tipe yang benar maupun tipe yang salah. Â
Pembahasan ini untuk memandu mengenali kecenderungan diri sendiri termasuk penulis tipe yang manakah diri kita sebagai penulis? Jika kita sudah mengenali kecenderungan kepribadian kita mengarah ke tipe yang mana, tentu kita akan lebih mudah mengenali kelebihan dan kelemahan kita.Â
Jika kita sudah memahami keterkaitan kita dengan psikologi kepribadian, langkah berikutnya adalah memulai menulis sesuai dengan kecenderungan kita terhadap aliran psikologi tersebut.
Eksistensialisme sebagai psikologi tentu tidak dapat dilepaskan dari Filsafat eksistensialisme. Dalam pandangan filsasat eksistensialisme dikatakan bahwa manusia hendaknya mempertahankan antitesis subjek dan objek. Manusia sebagai subjek tidak menjadi objek pemikiran, tidak dapat menjadi objek penyelidikan dan manipulasi.
Kaum eksistensialis menolak pandangan ilmiah tentang manusia yang dijadikan sebagai titik personal, itulah ide besar yang diusung eksistensialisme selain memandang kebebasan berarti manusia tidak lagi menjadi objek yang dibentuk di bawah pengaruh keniscayaan dan alam sosial. Â Dengan demikian, manusialah pembentuk diri sendiri beserta perbuatannya. Â
Oleh karena itu, manusia bebas mengambil tanggung jawab atas apa saja yang telah diperbuatnya. Ia pun tidak membenarkan dirinya berdasarkan hal-hal di sekitarnya. Dengan kata lain, sesuai dengan pendapat Bagus (dalam Ahmadi, 2015:15) manusia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah. Filsafat ini memiliki konsepsi keakuan yang tinggi.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa esensi dari psikologi eksistensial adalah manusia bergantung kepada diri sendiri. Tatkala sukses, itu karena ia mengingininya. Jika ada orang yang gagal lalu mencari kambing hitam, ia salah besar ditinjau dari perspektif psikologi eksistensial.
Jika eksistensialisme mengedepankan faktor internal, kedirian, keakuan, dan kesubjekan sebagai pembentuk kesuksesan maupun kegagalan, maka behaviorisme beranggapan bahwa faktor penting adalah lingkungan. Pengondisian faktor eksternal adalah faktor utama sebagai penentu psike seseorang.
Oleh karena itu psikologi dalam behaviorisme dalam menulis adalah jika ingin pandai dalam menulis, maka bertemanlah dengan orang-orang yang pandai menulis. Karena melalui merekalah, kita akan terpengaruh untuk lebih mumpuni dalam menulis. Dalam hal ini, lingkunganlah pembentuk kepenulisan Anda, berawal dari titik nol (form zero) menuju pahlawan (to hero) yang piawai menulis.
Kemudian, psikoanalisis sebagai aliran psikologi merupakan --isme yang paling tua di antara  aliran behaviorial, humanistik, maupun holistik. Pada hakikatnya, psikoanalisis merupakan --isme psikologi yang mengarahkan pemahaman, penyembuhan, dan pencegahan penyakit mental dengan metode asosiasi bebas.Â
Psikoanalisis merupakan penentang psikologi tradisional yang selama ini cenderung  berkecimpung pada alam kesadaran (counsciousness), sedangkan dalam pandangan Freud, psikologi sebetulnya lebih mengarah kepada ketidaksadaran (uncounsciousness) karena struktur kepribadian manusia ibarat gunung es.Â
Puncak gunung es yang muncul di permukaan merupakan alam kesadaran, sedangkan bagian bawah es yang terendam di lautan merupakan alam ketidaksadaran.
Psikoanalisis dipelopori Sigmund Freud, seorang dokter yang juga psikolog andal. Teori Freud banyak dikenal dengan struktur kepribadian, seks, mimpi, mekanisme pertahanan ego, oedipus kompleks, eros dam tanathos. Â
Beberapa praktisi mengungkapkan bahwa psikoanalisis memandang manusia dalam konteks pesimistis. Selain psikoanalisis versi Sigmund Freud, Carl G. Jung yang tertarik pada teori Freud, menggunakan dan mengujinya sendiri. akan tetapi, akhirnya Jung membangun aliran sendiri  yang dinamai psikoanalitik.
Keduanya, psikoanalisis dan psikoanalitik memiliki perbedaan esensial yaitu Freud menyatakan bahwa manusia hidup sesungguhnya dilandasi dorongan libidinal/seks, sedangkan dalam psikoanalitik, Jung menyatakan bahwa manusia adalah sosok yang memiliki energi libido namun diarahkan kepada energi kreatif bukan melulu seks. Freud pun pesimis memandang manusia  karena hanya meninjau kausalitas dan seks, sedangkan Jung memandang manusia secara optimis karena teologis dan kausalis.
Penulis dalam aliran psikoanalisis sebetulnya mempresentasikan proyeksi diri dalam tulisan. Tipe melankolis, karyanya cenderung murung, gelap, dan penuh kesengsaraan, walaupun bisa juga dimunculkan kebalikannya sebagai distorsi. Seseorang yang ekstrovert akan mengisahkan tentang dunia keintrovertannya dalam tulisan-tulisannya.Â
Oleh karena itu, satu hal penting dalam psikoanalisis adalah konteks menulisnya dibidang kesastraan  bukan menulis karya ilmiah. Dengan demikian, pembacaan jiwa pengarang lebih mudah diselami daripada pembacaan penulis yang mengarah kepada karya ilmiah.
Psikologi berikutnya adalah humanistik Maslow yang dikembangkan oleh sekelompok ahli psikologi pada awal tahun 1960 dipimpin Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori psikologi yang sangat berpengaruh dalam pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikologi psikoanalisis dan psikologi behaviorisme.
Psikologi humanistik Maslow bukanlah penolakan terhadap karya Freud serta lainnya, melainkan lebih merupakan suatu usaha telaah dari segi yang bermanfaat, bermakna, dan dapat diterapkan bagi kemanusiaan pada kedua psikologi tersebut.Â
Maslow sangat keberatan atas teori Freud yang memusatkan diri pada penyelidikan orang-orang neurotis, psikosis, serta terhadap anggapan bahwa semua bentuk tingkah laku luhur adalah hasil belajar bukan kodrati manusia tatkala dilahirkan di bumi.Â
Oleh karena itu pemikiran Maslow dianggap pemikir ketiga, setelah pemikiran pertama Freud yang meneliti orang neurosis dan psikosis, sedangkan pemikir kedua adalah behaviorisme yang meneliti orang berdasarkan hasil belajar atau lingkungan.
Penulis humanisme, mampu menulis atau tidak karena faktor kolaboratif diri dan pengaruh lingkungan. Kasus pertama, seseorang yang memang memiliki bakat menulis tetapi tidak ditunjang oleh lingkungan yang kondusif dalam bidang tulis-menulis, ia akan sulit menulis. Ia akan kesulitan menyalurkan bakatnya karena tidak ada media untuk menulis maupun orang yang mengarahkannya untuk menulis.Â
Kasus kedua. Seorang anak berbakat menulis, orangtua mendukung, dibelikan buku-buku bacaan, dikursuskan, diikutkan lomba-lomba menulis, dalam perspektif humanisme, kasus kedua lebih sukses karena ditunjang bakat dan lingkungan yang kondusif.
Nah, setelah menyimak keempat psikologi dalam menulis di atas, kita tentu sudah dapat menebak, termasuk dalam tipologi kepribadian manakah diri kita? Kita lebih condong ke arah psikologi eksistensial, psikologi bahavioral, psikologi psikoanalisis, atau psikologi humanistik? Â
Bahan Bacaan
Ahmadi, anas. 2015. Psikologi Menulis. Yogyakarta: Ombak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H