Boy pun menuruti saran ibunya. Selain itu, ia pun mendadak lapar karena baginya maupun bagi sebagian anak-anak walaupun sudah beranjak dewasa, masakan mama tetaplah paling enak dan sulit tergantikan. Setelah mandi,  ia pun makan dengan lahap. Sayur lodeh kacang panjang dan rebung ditemani goreng ikan tongkol serta tahu dan tempe, membuatnya teringat masa kecil di rumah orangtuanya.  Untuk sesaat, kekesalan di hatinya serasa lenyap.
        "Tania pulang kuliah jam berapa?" ibunya yang sudah kembali dari masjid menanyainya.
        "Biasanya jam sembilan," jawabnya sambil kembali membuka-buka buku yang dibawanya.
        Bisa-bisanya membuat baper seorang gadis. Itu ulah orang kurang kerjaan mungkin, gerutunya dalam hati, kendati ia belum mengenal Ade dan gadis yang baper pada keramahan Ade.
        "Tani berniat menolong saja mungkin, agar masalah tidak menjadi rumit,"ibunya menjawab keluhannya sambil menatap sekilas wajah anak lelakinya yang tampak kuyu.
        Boy memang tidak terbiasa meluangkan waktunya untuk iseng. Sedemikian tertata waktunya, sampai-sampai tidak sempat membuka media sosial kecuali pada jam-jam tertentu, bahkan akhirnya untuk memperoleh jodoh pun ibunya dan pak Wira yang turun tangan mendekatkannya dengan Tania.
        "Jangan berkomentar seperti itu sebelum mengenal keduanya,"jawab ibunya menengahi.
        "Tapi siapa yang beberapa kali mengirim foto kebersamaan mereka di kantin kampus?" gerutu Boy yang segera dijawab ibunya,
        "Anggap saja orang iseng. Orang yang tidak suka pada Ade, pada Tania, dan pada keduanya." ibunya menjawab sambil beranjak menuju ruang makan begitu melihat ayah Boy sepulang dari masjid langsung menuju meja makan.
        "Memang Boy ada masalah apa dengan Tania?" tanya ayahnya sambil mengambil sendok dan garpu.
        "Sedang kesal pada isterinya. Ada informasi yang menjengkelkan, seperti yang diceritakan kemarin."