"Akhirnya uangku juga terhambur tanpa bekas bagi yang lain-lainnya. Benar-benar petualangan yang melelahkan Boy. Aku jadi teringat ucapan papamu, bahwa belajar untuk setia itulah yang terbaik, karena dari situlah kita bisa memahami keindahan cinta. Bisa ngerteni endahing katresnan, kata orang Jawa. Ada kebanggaan saat papamu mengucapkan hal itu Boy, seolah ia telah merasa sempurna sebagai manusia karena telah sanggup mengendalikan hawa nafsu."
"Betul itu Oom. Perang yang paling besar adalah perang melawan hawa nafsu sendiri. Berperang melawan segala keinginan yang ditimbulkan oleh nafsu kita sendiri, Oom."
"Kamu semakin dewasa, Boy. Semoga anakku berbahagia bersamamu." Pak Wira menepuk bahu Boy. Begitukah rasanya memiliki anak perempuan?
Banyak pria mengaku bahwa begitu memiliki anak-anak perempuan, keinginan menduakan isteri bisa terkendali karena kecemasan anaknya akan mengalami derita seperti ibunya. Hal itu membuat mereka memasang kacamata kuda agar bisa setia.
Tapi, aku setia pada isteriku, punya anak maupun tidak, atau misalnya hanya punya anak lelaki saja, aku tetap setia. Semoga tak terlintas menduakannya karena hal itu tak terpikirkan olehku. Papa tak memberikan contoh seperti itu dan tak pernah sekalipun menyakiti hati mama. Bagaimana mungkin aku bisa menyakiti hati isteriku? Matanya masih terpejam berlagak tertidur pulas.
Tania terkesan mencintaiku. Apakah karena selama ini aku pun menunjukkan sikap mencintainya, sehingga ia pun membalasnya dengan sikap yang sama? Boy pun akhirnya terlelap sementara tangan Tania masih mengelus punggungnya.
   *********
Ade menatap langit-langit kamar kosnya. Ia tidak bisa segera terlelap. Saat itu ia sedang kesal kepada isterinya karena tidak dapat menemani kepindahannya ke tempat kosnya. Ia kebetulan harus pindah ke kota itu sehubungan dengan pekerjaannya. Kebetulan ia pun ingin meneruskan kuliah. Maka, ia merasa seakan tergiring untuk sekali mendayung dua tiga pulau akan terlampaui.
Isterinya bukan melarang, tapi saat itu sedang ada rapat yang tidak dapat ditinggalkan. Walaupun  tidak menuntut isterinya menemani, dalam hal ini dirinya yang akan mengalah mencoba pulang seminggu sekali, tapi kelalaiannya untuk tidak mengingat jadwal kepindahannya membuatnya kesal.
Apalagi saat itu ia sedang lapar. Maka, ke kantin kampuslah langkahnya demi menghalau haus yang seolah mengeringkan leher dan perut yang seolah sudah menggerutu minta diisi. Ada beberapa mahasiswi S1 yang berada di situ. Jika menyimak gurauan mereka, sepertinya mereka sudah melaksanakan yudisium, tinggal diwisuda.
"Hmm...alamat nih. Jika tidak segera memperoleh pekerjaan lalu tidak segera menikah pula, tentu harus siap-siap tutup kuping rapat-rapat,"gerutu seorang gadis yang mengenakan hem berwarna biru. Seorang temannya melirik tak acuh, kemudian menyahut,
"Walah, segera menikah pun orang kasak-kusuk, kepoin pekerjaan suami kita kelak. Kerja di mana suaminya? Ow...belum bekerja juga ya? Kok berani-beraninya menikah? Pusing!"
"Gak usahlah dihiraukan. Mereka memang terlahir sebagai penguji kita. Bukan dosen penguji skripsi saja yang bikin kepala nyut-nyutan cemas ditanyai. Orang-orang yang kepoin kita tanya-tanya sudah menikah belum? Suami kerja di mana? Itu juga penguji abadi malah. Hehehe."
"Kalau sudah menikah, masih kepo juga, nanya-nanya kapan punya anak. Giliran punya anak, orangnya itu-itu juga, tentu akan melakukan mom shaming, body shaming. Tapi kalau nggak ada ujian, kapan kita lulus lalu mendapat gelar dewasa?"
"Menjadi tua secara kronologis memang bersifat alami, gak bisa dihentikan itu. Tapi tua secara biologis itu pilihan. Mau makan sesukanya, mau diet, mau operasi plastik dan tanam benang agar tetap muda dan cantik, semua tinggal niat dan duit," sahut seorang gadis yang rambutnya disisir semua ke belakang, kemudian dikuncir semacam ekor kuda. Tampak lucu dan imut,"Menjadi dewasa harus mengalami ujianlah," lanjutnya sambil mengembalikan letak tas agar kembali menempel di punggungnya.
Kejadiannya pun mirip di film-film, tatkala buku gadis tersebut terjatuh, Ade pun secara refleks mengambilkannya. Saat itulah terlihat logo tempat kerjanya yang tertulis kecil di jaket yang dikenakannya. Oleh karena gadis tersebut duduk terpisah dengan teman-temannya dan berada di depannya, ia pun berbasa-basi menawari daftar menu yang berada di depannya.
Entah mengapa, kilasan kekesalan kepada isterinya yang tidak bisa menemaninya dengan alasan tidak bisa minta izin meninggalkan rapat, kembali menggodanya. Kekesalan yang menyulut keisengannya untuk saling berteman dengan gadis tersebut. Tanpa banyak bertanya seolah yakin bahwa Ade masih lajang seperti dirinya, si gadis pun menjadi rajin menghubunginya.
Kebiasaan yang menyenangkannya manakala pulang kerja ada teman ngobrol di media sosial. Ulah yang membuatnya terkejut ketika si gadis tersebut semakin berani menghubunginya setelah ia tidak lagi berada di tempat kos, telah kembali ke kampung halamannya untuk menunggu panggilan dari lamaran-lamaran pekerjaan yang tengah dicarinya.
Ia pun menangkap gelagat yang akan membawanya ke masalah berkepanjangan, kendati senang menikmati wajah imut si gadis. Hal di luar dugaan yang diperolehnya ketika si gadis mendengar pengakuannya bahwa ia telah beristeri. Bukan menghindarinya yang dilakukannya tapi seolah tak peduli.
"Efek perundungan kali ya? Semacam bullying yang dilegalkan kali ya?" jawab Tania sekenanya mendengar cerita Ade,"Kasihan juga lho. Berat bebannya manakala pulang ke kampung halaman tanpa segera memperoleh pekerjaan, belum memiliki calon suami pula, padahal cantik. Duh, aku nggak bisa membayangkan deh resahnya."
"Semua juga resah. Memang hanya dirinya yang merasa dibully dengan pertanyaan-pertanyaan seputar lajangnya?"
"Tapi ia kan cantik."
"Lalu, yang tidak secantik dirinya harus lebih tegar? Seharusnya ia kan bersyukur."
"Gak tahulah. Salahmu, mengapa dulu sok akrab. Kalau kini seolah merasa diteror, rasakan sendiri." jawab Tania sambil menikmati pisang rebus.
Pisang yang dikenal berasal dari Pulau Jawa bagian Timur, Lumajang sampai Banyuwangi, dengan nama pisang agung, memang khas. Bentuknya panjang dan rasanya pulen manis dan gurih.Â
Apalagi yang masak pohon, saat ditanak pasti mengeluarkan cairan semacam madu, yang membuat rasanya semakin manis. Harganya pun manis, setandan kecil sekitar 60 ribuan. Namun, sebiji pisang itu pun jika dipotong-potong bisa menjadi sepiring berisi lima sampai enam potong.
"Kok gitu sih?" protes Adr,"Kamu nggak malah bikin aku tenang, malah menyalahkan aku."
"Aku harus bagaimana?"
"Setidaknya Kamu berada di pihakku. Jangan menyudutkanku."
"Kukira si cewe itu lagi taruhan deh dengan teman-temannya. Makanya, ia mendesak terus. Kamu merasa diteror merasa diharapkan suatu saat pasti berpaling kepadanya. Ulah yang membuatmu kesal sekaligus cemas bakal takluk kan?" goda Tania.
"Bukan begitu. Toh aku punya isteri...
"Tapi ia tak peduli kan? Di lain pihak, ia pamerkan kedekatannya dengan lelaki-lelaki lain, tapi ia pun tak hentinya menggodamu dengan aneka gaya dalam foto yang selalu dikirimkan secara japri kepadamu?"
"Apa maksudnya sih?"
"Heran deh. Kamu suka atau enggak sih?" selidik Tania ketus.
"Kamu kok ikutan isteriku. Marah melulu sambil menghapus-hapus foto cewe itu. ia selalu menganggapku memberi peluang kepadanya untuk memburuku, padahal aku sudah tak peduli.
"Kalau menyimak lagaknya, jelas ia taruhan dengan teman-temannya. Walaupun sedikit, wanita pun memiliki empati. Bukankah sudah Kaukatakan punya isteri? Mengapa ia masih saja menggodamu?"
"Bisa jadi. Ia taruhan dengan teman-temannya," Ade mengangguk-angguk.
"Kamu dianggap bodoh," Tania menggoda sambil tertawa terbahak.
"Mana bisa begitu? Bukankah ia tahu tempat kerjaku banyak wanita cantik. Sudah bekerja malah."
"Tapi ia merasa cantik. Ia memang wanita paling cantik yang Kautraktir di kantin dulu itu. Salah sendiri, mengapa nggak semua saja ditraktir? Jika sudah begini, bisa jadi cewek-cewek itu malah mengumpankan dia untuk menggodamu karena tersinggung," Tania memberondongnya dengan sekian argumentasi yang membuat Ade tersudut.
"Kan saat itu ia sendirian duduk semeja denganku." kilah Ade membela diri
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H